Pesan yang Kutunggu

Pesan yang Kutunggu

Pesan yang Kutunggu

Winant Fee

Terbaik 14 Lomba Cerpen Autofiksi

Hari ini tanggal dua puluh lima bulan Juni, dan itu artinya esok hari aku berulang tahun. Sebenarnya tak pernah ada perayaan khusus untukku. Hanya beberapa kali kejutan yang kuterima dari para sahabat beberapa tahun lalu. Namun, setelah lulus sekolah mereka hanya mengirimiku doa lewat pesan ponsel saja. Dan itu, cukup membuatku bahagia. Setidaknya, aku masih diingat oleh mereka. Namun, ada yang berbeda dengan ulang tahunku kali ini. Pasalnya Ari, cowok yang kusukai sejak duduk di bangku SMA itu, sering menghubungi lewat pesan sejak beberapa bulan lalu. Tentu saja hal itu sangat membuatku berharap akan satu hal.

Tahun-tahun lalu, aku tak terlalu memikirkan ketika hari ulang tahun. Paling juga teman-teman yang ingat saja yang akan mengucapkan. Kadang pula ada yang berdalih lupa. Padahal di media sosial tentu ada pemberitahuan jika aku berulang tahun. Namun, kali ini ada yang berbeda. Aku bahkan sudah bertaruh dengan Leni, sahabatku, apakah Ari akan mengucapkan ulang tahun untukku atau tidak. Jika Ari memberi ucapan, aku harus mentraktirnya makan mi ayam Mang Sapto di ujung gang. Ah, rasanya aneh. Aku yang ulang tahun, tapi aku yang dipalaknya. Namun kali ini, aku sungguh ingin dirugikan oleh Leni.

Aku merasa sangat susah memejamkan mata malam ini. Menunggu pukul dua belas malam rasanya amatlah lama. Aku bahkan menebak-nebak siapa yang pertama yang akan mengirimiku ucapan. Apakah itu Ari atau justru yang lain. Atau bahkan Ari tak akan mengirim ucapan itu. Siapa pula aku buatnya? Bukankah di antara kami memang tak ada hubungan yang spesial? Mengingat bahwa aku dan Ari tak sedekat layaknya sepasang kekasih dan mungkin saja, dia tak akan tahu dengan hari ulang tahunku, aku mendadak ingin buang air besar. Perutku mulas dan jantungku berdebar-debar.

Ingatanku kembali kepada beberapa tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku SMA. Ari adalah kakak kelasku. Dia memiliki badan yang cukup atletis dan sorot mata yang, ah, aku tak sanggup mengatakannya. Senyumnya manis, tapi sikapnya lumayan cuek. Aku menyebutnya Si Orang Aneh.

Ya, Ari memang cukup aneh waktu itu. Sewaktu jam istirahat tiba, dia berdiri di jendela kelasku, mengetuk, lalu memberiku kode agar aku keluar. Setelah sampai di luar, dia bertanya padaku.

“Sudah makan belum?”

“Sudah,” jawabku.

“Oh.”

Kemudian dia berbalik badan dan langsung menuju kantin sendirian. Sementara aku yang  ditinggal hanya bisa terpaku menatapnya sambil bicara dalam batin, “Aneh sekali dia.”

Bukan sekali itu dia bertanya padaku apakah aku sudah makan atau belum. Kata temannya dia sangat menyukaiku. Mengetahui hal itu hatiku menjadi berbunga-bunga. Debar jantungku akan semakin terasa jika aku menatap matanya. Ah, sesederhana itu rupanya aku merasa jatuh cinta padanya.

Namun, sampai dua tahun kemudian Ari tak kunjung menyatakan perasaannya padaku. Hal itu membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya yang terjadi dengan hatinya.  Benarkah dia mencintaiku atau hanya main-main saja. Hingga pada akhirnya, kelulusan memisahkan kita.

Aku tak dapat menghubunginya setelah itu. Tak pernah mendapat kabar tentangnya, tapi satu hal yang masih kuingat Ari pernah mengatakan padaku, saat mengantarku pulang sekolah, agar aku tetap menunggunya. Entah menunggu yang seperti apa yang dia maksudkan. Sebagai seorang perempuan gengsi rasanya jika harus bertanya tentang perasaannya kepadaku. Biarlah, aku akan menunggunya.

Detak jam di kamarku berbunyi nyaring. Tak ada lagi kendaraan yang terdengar lewat. Aku menyalakan ponsel lagi, rupanya sudah pukul 23.59 artinya pergantian tanggal hanya hitungan detik saja. Perasaanku yang semakin tak keruan membuatku berpindah-pindah posisi tidur.

Dering nada pesan membuatku segera menatap layar ponsel lagi. Aku lantas duduk ketika melihat nama si pengirim pesan. Ya, betul, Ari mengirimiku pesan. Tanpa menunggu lama, segera kubuka pesan darinya.

“Selamat ulang tahun, kamu. Sehat selalu, ya.”

Senyumku mengembang. Lebar sekali. Tak puas rasanya jika hanya sekali aku membaca pesan itu. Dan setiap kali membacanya, bunga-bunga di hatiku terbang melayang memenuhi rongga dadaku.  Karena amat terharu, aku sampai menempelkan benda pipih itu di dadaku. Memastikan bahwa ini nyata, aku  bukan sedang bermimpi. Kemudian aku lantas membalas pesannya.

“Terima kasih, Ari.”

Ah, rasanya terlalu singkat jawabanku tadi. Seharusnya aku menambahkan emoticon hati agar dia tahu bahwa aku masih menyimpan hati untuknya. Lalu, ponselku berdering lagi.

“Kenapa belum tidur?”

Ah, aku harus jawab apa ini? Kenapa pula aku menjawab pesannya tadi. Tidak, aku tidak akan membalasnya lagi. Bisa mati kutu jika dia tahu aku menunggunya. Aku menaruh ponsel di dadaku. Senyumku terus saja mengembang. Sudah dipastikan aku tak akan bisa tidur sampai pagi.

Ari, apa pun itu, segala tentangmu sungguh membahagiakan untukku.

Lampung, 29 Desember 2024

__

Komentar Juri, Imas Hanifah:

Mengusung tema romansa anak muda, sebenarnya ide ceritanya sudah cukup menarik. Namun, di beberapa bagian memang terasa seperti terburu-buru diceritakan. Karakter-karakternya pun tidak cukup detail, sehingga kesan yang didapat terasa serba setengah-setengah.

Walaupun demikian, cerita ini memiliki nilai tambah di bagian cara penulis menggambarkan perasaan dan reaksi tokoh utama yang terasa jujur dan itulah yang nyatanya sampai ke pembaca. Saya jadi ikut deg-degan menunggu pesan dari Ari. Sebab salah satu alasan itulah, cerita ini layak muncul di deretan 16 besar. Selamat.

Grup FB KCLK