Pesan Damai
Oleh : Fei Ling
Jakarta, 11 Februari 2020
Nanti sore setelah les piano, jangan langsung pulang. Miss punya hadiah ulang tahun buat kamu.
Aku tersenyum membaca pesan singkat dari Miss Vivi, guru piano yang baik dan cantik itu. Rupanya dia tidak lupa hari ini merupakan hari jadiku.
Namaku Dea, wanita yang menyukai tantangan. Terlebih hal yang belum pernah aku lakukan. Di usiaku yang kedua puluh tujuh tahun tepat hari ini, aku masih betah melajang. Bukan tidak mau menikah, tetapi memang Tuhan masih belum memberiku pasangan.
***
“Apa, Miss?” tanyaku ketika seluruh murid les piano telah pulang. Di ruangan kedap suara ini hanya ada kami berdua.
“Yuk, Dea, ikut aku sebentar!” serunya.
Aku mengekori langkah guru pianoku. Ruang utama rumah Miss Vivi sangat luas. Banyak pigura yang berisikan foto wanita cantik itu tergantung di dinding berwarna putih. Selain itu, piagam kemenangan, plakat, dan piala pun berjejer rapi di lemari kaca yang besar. Di sudut ruangan, tampak sofa warna hijau lumut cantik. Aku pikir dia akan menyuruhku duduk di sana, nyatanya tidak. Dia berjalan lurus memasuki ruangan lain.
Tibalah kami di depan sebuah pintu. Tidak lama, dia langsung membukanya. Sesaat Miss Vivi menoleh ke arahku, seolah-olah aku harus mengikutinya masuk. Kami pun memasuki ruangan yang penuh dengan buku-buku. Bisa jadi tempat ini merupakan ruang baca.
“Kamu lihat sesuatu yang tertutup kain di ujung sana?” tanya Miss Vivi kepadaku.
Aku menggeleng tanda tidak mengetahui apa yang dimaksud.
“Aku menyebutnya kapsul waktu. Papaku dulu seorang ilmuwan yang berhasil membuat alat itu untukku,” cerita Miss Vivi. “Belum sempat aku gunakan, papaku sudah meninggal,” lanjutnya.
“Lalu untuk apa Miss menunjukkan alat ini kepadaku?” tanyaku bingung.
“Kamu, kan, suka tantangan dan kebetulan juga hari ini ulang tahunmu, maka aku menghadiahkan benda itu untukmu,” sahutnya.
“Hah? Hadiah ulang tahunku? Serius, Miss?”
“Iya, serius. Nanti cara kerjanya akan aku jelaskan. Siapkan hatimu terlebih dulu. Mau atau tidak menjalankan misi ini,” ucapnya misterius.
***
Kalkuta, 19 Juni 1997
Aku termenung menatap bangunan itu. Keraguan dan kebimbangan menyelimuti hati, antara ingin masuk ke biara atau kembali ke kapsul yang membawaku ke tempat ini. Masih teringat jelas pesan dari Miss Vivi bahwa aku hanya punya waktu dua belas jam sejak kedatanganku.
Ya, benda itu merupakan kapsul waktu yang akan mengantar siapa pun kembali ke masa lalu sesuai kemauan, bahkan bisa juga menyusuri zaman dinousaurus.
Berawal dari mengagumi kisah Ibu Teresa dari Kalkuta (sejak tahun 2001 berubah menjadi Kolkata), maka hal inilah yang mendasari keinginanku untuk bertemu dengannya.
“Ada yang bisa kami bantu?” Seseorang menyapaku sopan. Aku melihat sorot mata keheranan darinya saat menatapku, entah heran atau bingung. Sepertinya dia adalah salah satu biarawati yang bertugas untuk menyambut tamu yang datang.
“Uuuhm, bolehkah aku bertemu dengan Suster Teresa, Suster?” jawabku.
“Apakah sebelumnya sudah ada janji?” Dia bertanya lagi.
Aku hanya menjawab dengan gelengan. Bagaimana bisa janjian? Aku datang karena kapsul waktu yang membawaku.
“Saya tanyakan ke suster penjaga dulu, ya,” sambungnya.
Selang beberapa lama, suster cantik ini mempersilakanku untuk mengikutinya. Ruangan itu cukup luas untuk ukuran satu kamar, dengan jendela besar di mana-mana. Cocok bagi penghuni kamar yang menginginkan adanya pertukaran udara yang sempurna.
Aku bertemu dengannya! Seorang wanita yang hidupnya dipenuhi oleh rasa belas kasihan terhadap kaum yang menderita. Entah itu oleh kemiskinan, penyakit, atau depresi akibat masalah hidup.
Selama ini aku hanya melihat dari televisi dan membaca buku-buku tentang beliau. Sekarang aku bisa melakukan apa saja, termasuk menanyakan hal-hal yang ada dalam pikiranku.
Ibu Teresa melihatku dari tempat tidurnya, matanya mengisyaratkan keramahan yang luar biasa. Dia berusaha untuk berdiri menyambutku, tetapi spontan aku mencegahnya.
“Suster tiduran saja, ya,” ucapku.
“Kamu siapa? Apa yang bisa aku bantu untukmu?” tanyanya lembut. Bahkan dengan kondisi lemah pun dia masih bertanya apa yang bisa dilakukan untuk orang lain.
Aku menatapnya penuh kekaguman. Sosok itu mengenakan jubah favoritnya yang berwarna putih bersih dengan garis biru meneduhkan. Sorot mata menunjukkan kedamaian dan tidak menampakkan kesakitan sama sekali. Padahal dari biografi yang aku baca, dia baru saja mengalami patah tulang selangka. Tidak hanya itu, ada alat pacu jantung buatan tertanam di tubuhnya.
“Suster, perkenalkan namaku Dey. Aku ingin berbincang dengan Suster. Bolehkah?” tanyaku dengan sopan dan sedikit ada rasa takut apabila dia menolak.
“Sini, duduk dekatku!” ajaknya.
Seketika itu juga hatiku plong karena merasa diterima. Jam di tanganku menunjukkan pukul sembilan pagi waktu setempat, itu berarti aku harus kembali maksimal pukul delapan malam.
Hmm … cukuplah untuk mendengarkan Ibu Teresa bercerita tentang pengalamannya.
“Suster, apa yang Suster rasakan saat ini?” tanyaku.
“Aku hanya merasakan sukacita. Terdengar aneh, ya? Padahal, kamu tahu sendiri kondisiku seperti ini,” jawabnya singkat.
Aku masih diam menatap dan tidak ingin menyela perkataannya.
“Awalnya aku sempat merasa ini tidak adil. Mengapa harus aku yang mengalami kesakitan ini? Namun, pikiran itu tidak berlangsung lama karena sepertinya Tuhan punya cara untuk melanjutkan apa yang dikerjakan-Nya,” sambungnya lagi.
“Maksudnya, Suster?”
“Masih belum paham?” tanyanya lagi kepadaku.
Lagi-lagi aku memilih menggeleng sebagai jawaban mengatakan tidak.
“Begini, apabila aku tetap dalam kondisi sehat, bisa jadi misi baik ini akan terhenti di aku saja. Orang akan berpikir, biar saja Bunda Teresa yang memberikan perhatian bagi kaum yang menderita. Sebaliknya, apabila aku meninggal? Siapa yang mau meneruskan?” tanyanya sambil terkekeh.
“Keinginanku, semua manusia mempunyai cinta kasih terhadap sesamanya. Pertanyaan sederhana untukmu, Nona Manis. Apakah kamu mengenal tetangga sebelah rumahmu?” lanjutnya sebelum aku sempat menjawab pertanyaan sebelumnya.
“Suster benar, tidak semua tetangga bisa saling mengenal, termasuk aku,” jawabku miris. “Tapi, Sus, bagaimana bisa Suster hidup dengan penuh cinta kasih? Apakah Suster tahu bahwa mungkin ada beberapa orang di luaran sana yang bisa saja menghujat Suster?”
Dia terkekeh mendengar runtutan pertanyaanku.
“Tuhan menciptakan manusia dengan cinta kasih masing-masing. Lalu apakah berarti semua manusia kadar kasihnya sama?” tanyanya.
Makin terkagum aku kepada Ibu Teresa. Dia selalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi. Sepertinya diskusi ini akan menarik bagi kami.
Aku menjawab, “Sama, Suster. Pembedanya adalah ada penurunan atau peningkatan pada kadar tersebut. Tapi apa hubungannya dengan pertanyaanku sebelumnya, Sus?”
Setelah meminum air dari gelas pemberian suster penjaga, beliau lanjut berbicara.
“Kamu ingin tahu bagaimana caraku bisa hidup dengan cinta kasih? Dengan tidak menghakimi siapa pun. Cobalah dari dirimu sendiri. Seberapa sering kamu berkata bahwa kamu bodoh, jelek, dan kamu tidak beruntung? Itu artinya kamu sudah menghakimi dirimu sendiri secara tidak langsung, bukan?”
Ternganga aku mendengar jawaban yang menohok itu, tiba-tiba air mataku luruh tanpa bisa tertahan.
“Tuhan tidak menginginkan kita sukses. Dia hanya ingin kita mencoba. Mulai dari sekarang, cintai dirimu. Apabila sudah bisa mencintai diri sendiri, maka bagikan cinta ke mana pun kamu pergi. Jangan biarkan seseorang meninggalkanmu tanpa merasa bahagia. Itu kunci kita bisa hidup dengan cinta kasih,” pungkasnya.
“Eh … siapa yang menghujatku?” Dia mengerling kepadaku.
“Itu ….” Seketika aku menutup mulutku.
“Jangan pernah membicarakan berbagai peristiwa masa depan yang terjadi kepada orang yang kamu temui di masa lalu.”
Pesan dari Miss Vivi sebelum aku memasuki kapsul waktu itu seakan-akan mengingatkan tidak seharusnya aku mengatakan siapa yang menghujat Ibu Teresa.
Hujatan itu terjadi sesudah dia meninggal, bahkan aku juga tidak bisa memberitahukan bahwa tanggal 4 September 2016, Paus di Vatikan menetapkan gelar Santa kepada Ibu Teresa.
“Hahaha. Sudah, sudah, aku juga tidak ingin tahu siapa yang menghujatku,” selanya ketika aku tidak bisa menjawab pertanyaan terakhir itu.
“Aku mengasihi siapa saja, termasuk yang membenciku. Saat kita tidak memiliki kedamaian, itu berarti kita melupakan rasa saling mengasihi. Kedamaian itu berasal dari senyuman, jadi tersenyum dan berdamailah dengan segala kondisi yang ada,” jawabnya panjang lebar.
Banyak hal yang kami diskusikan. Termasuk apa yang menjadi pertimbangan Ibu Teresa ketika merawat bayi-bayi yang kelahirannya tidak diinginkan. Selain itu, dia juga merangkul dan merawat ibu dari bayi tersebut.
“Aku hanya ingin damai melingkupi seluruh bumi dan isinya. Bagiku, aborsi adalah salah satu penghancur kedamaian keluarga selain perceraian,” jawabnya singkat.
“Suster, diskusi ini menarik bagiku. Andai aku punya waktu banyak …,” kataku untuk mengakhiri pembicaraan ini. “Pertanyaan terakhir, ya, Sus. Boleh?” sambungku lagi.
Dia mengangguk.
“Pukul berapa Suster bangun setiap harinya? Apakah Suster senantiasa berpuasa? Pada usia berapa Suster terpanggil hidup selibat dan akhirnya tergerak membantu sesama yang didera kemiskinan?” tanyaku beruntun.
“Kamu menakjubkan sekali!” serunya begitu mendengarkan pertanyaanku.
“Baiklah, akan aku jawab satu per satu. Aku bangun pada pukul lima pagi setiap hari, kemudian berdoa dua hingga tiga jam. Puasa? Iya. Aku mulai terpanggil melayani orang miskin di usia dua belas tahun dan di usia delapan belas tahun, aku memutuskan bergabung di Kesusteran Loreto sebagai misionaris,” katanya. “Ada pertanyaan lagi, Sayang?”
“Tidak, Suster. Diskusi ini sudah cukup menurutku. Aku harus pulang walaupun sebenarnya masih ingin berbincang lebih lama lagi. Terima kasih atas waktu yang Suster sediakan untukku. Sekarang sudah pukul delapan malam, Suster harus beristirahat,” jawabku sembari merapikan selimut yang dia kenakan.
“Maaf, Nona Dey. Sepertinya jam di tangan Nona mengalami kerusakan. Saat ini sudah pukul sembilan kurang tiga menit,” sela suster penjaga Ibu Teresa.
Perkataan suster itu sontak membuatku pucat pasi. Aku bergegas meninggalkan kamar tanpa memedulikan dua orang ruhbanat itu. Mereka pasti keheranan dengan kepergianku yang memelesat tanpa pamit.
Tuhan, jangan biarkan kapsul itu pergi tanpa ada aku di dalamnya. Doa itu aku panjatkan berulang kali dalam hati.
Di mana kapsul itu? Aku tidak bisa menemukannya!
***
“Jangan sampai terlambat untuk kembali ke kapsul ini, ya, Dey. Jika lewat dari satu detik saja, maka kamu tidak akan pernah bisa kembali pulang.”
Pesan terakhir Miss Vivi ketika aku akan memulai perjalanan lintas waktu masa lalu.(*)
Surabaya, 10 Mei 2021
Fei Ling. Seorang wanita pekerja yang hanya ingin menuangkan isi dalam otaknya melalui tulisan.
Editor : Lily