Pertengkaran Dua Wanita
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Sebuah high heels berwarna hitam dan berujung tumpul terlontar dari genggaman tangan seorang wanita berambut ungu. Melesat kencang seperti dihempaskan oleh puting beliung. Angel mampu berkelit. Rok pendek sempit yang dikenakannya tidak mampu membatasi kelincahan gerak yang ditunjukkannya barusan. Hanya wig berwarna merah menyala yang terlepas dari pengikat rambutnya. Ia menarik napas lega.
Belum sempat Angel menghirup napas kedua kali, tiba-tiba, plak! Ada sesuatu yang membentur bagian kepalanya dengan sangat keras. Angel meraba-raba, memastikan … ada darah yang mengalir dari dahi. Serangan kedua yang dilakukan lawannya sungguh tidak terduga. Begitu cepat, ia tak mampu mengelak sama sekali.
Angel meradang, amarah yang telah lama membuncah di dadanya kini meletus sudah. Sebuah alas kaki yang berbentuk tebal atau wedges, segera dicopot dari kaki kirinya dan dilemparkan dengan sekuat-kuatnya tenaga. Sekuat tenaga yang bahkan belum tentu dimiliki oleh seorang wanita.
Lesatannya melebihi kecepatan dari lontaran lawan sebelumnya. Maya, nama wanita yang berambut ungu itu biasa dipanggil sehari-hari, segera merasakan akibatnya. Ia terhuyung, tersungkur, lalu tak mampu untuk bangkit lagi. Hanya matanya yang masih mampu berkedip untuk mengisyaratkan sesuatu. Maya cuma bisa meringkuk dan mengerang di atas tanah. Ia menderita kesakitan yang sangat ….
***
Tiga hari sebelumnya, di suatu siang yang pengap di dalam sebuah kamar.
“Jeng, itu BH punya gue. Jangan dipake, nggak muat. Bukan ukuran lo. Jangan dipaksa,” begitu kata Angel.
“Ah, pelit amat lo, gue minjem cuma buat sehari doang. Punya gue belom kering. Kan lo tahu hujan dari pagi nggak berhenti-henti,” Maya mencoba membujuk.
“Makanya kalau lo punya duit, beli BH! Bukan miniset. Sok kepedean sih, lo,” Angel mengingatkan.
“Dasar medit. Berisik,” Maya menjawab.
***
Dua hari sebelumnya, sehabis magrib ketika petang mulai menyingsing ….
“Astaga. Itu high heels punya gue baru beli. Nggak muat kalau lo pake. Maksa amat sih, May. Rugi deh gue beli mahal-mahal di mal.” Angel merasa kesal, sekaligus menyesal.
“Pinjem, Jel, kan semalam ada razia. Punya gue ilang. Enggak kasihan ama gue, lo? Besok gue beli.” Maya memasang wajah sedih.
***
Dua jam sebelumnya, sebelum mereka berangkat menuju tempat biasa untuk menggoda lelaki–lelaki hidung belang.
Angel sedang berdandan. Merias wajahnya serupa bidadari di depan kaca. Polesan lipstik warna merah hati membuat paras wajah aslinya menjadi tersamarkan. Sambil memberikan sedikit hiasan shading di pipinya, ia berbicara, “May, entar kalau Mas Arga datang, jangan lo temenin ya, gue lagi kangen dia.”
“Kok gitu, Jeng? Kan dia bebas milih siapa aja. Lagian kalau si Roni dateng ke lo, gue juga nggak pernah marah,” ucap Maya membela diri.
“Please, tolong deh, si Roni kan udah tua! Jelek … eike seneng yang masih berondong.”
“Tapi kan ngasih tipsnya juga gede,” sahut Maya tidak mau kalah.
**
Satu jam sebelumnya, sebelum adegan lempar melempar tadi terjadi.
Malam baru saja memberikan ciuman genitnya kepada senja yang merona. Musik dangdut yang mendayu-dayu syahdu merayu, diperdengarkan keras-keras lewat sebuah alat pengeras suara.
Di sebuah warung pinggir jalan yang berhiaskan cahaya remang-remang, beberapa wanita berpakaian seronok sedang asyik bersenda gurau.
Kehidupan malam sebenarnya baru saja menggeliat. Hujan yang biasanya sering menyiram dengan tiba-tiba, kali ini tak menunjukkan tanda-tandanya, tersaput oleh angin yang menebarkan wangi parfum murahan dari perempuan-perempuan yang berdiri berjajar di sepanjang jalan. Angel dan Maya terlihat di dua titik yang sebenarnya berjauhan. Masing-masing dari mereka berdiri dengan gayanya yang genit, kenes, sebagai upaya untuk menggoda beberapa lelaki bermotor yang sedang melintas.
Hingga akhirnya, semua pangkal keributan dari ini dimulai ….
Seorang lelaki muda tampan, bertubuh atletis keluar dari pintu sebuah taksi daring. Lelaki gagah itu berhenti di bawah satu tiang tinggi yang bersinar sangat terang. Baru saja menjejakkan kakinya dua langkah, Maya buru-buru menggamit lengan lelaki itu dan mengajaknya menuju ke satu tempat tersembunyi, satu sudut yang agak gelap.
“Mas Arga, kok lupa sama Angel. Kan kemarin udah janji mau booking aku.”
Satu sapaan lembut dari belakang, membuat lelaki tampan yang rupanya bernama Arga itu terkesiap. Ia lupa, bahwa hari ini adalah hari seharusnya ia mengencani Angel. Tetapi untuk menolak Maya, ia sungguh merasa tidak enak. Arga bingung untuk mengatakan sesuatu, salah tingkah sendiri.
Angel menatap kecewa, sejenak ia hanya menyimpan kekesalannya dalam hati.
Maya langsung mengajak Arga pergi tanpa menghiraukan tatapan marah temannya. Tangan perempuan itu semakin erat menggayuti pinggang lelaki yang juga idamannya.
“Ayo, Mas. Kita ke sana,” sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Angel. Ini yang menjadi pangkal pemicunya! Kedipan ini dianggap sebuah penghinaan ….
Keributan pun segera pecah, Angel meradang karena Maya tak jua mau mengalah.
Dua laki-laki serupa wanita saling mencaci maki, mengucapkan sumpah serapah, dan meneriakkan nama binatang atau mahluk halus. Tentu saja dengan suara serak dan keras yang sebenar-benarnya. Suara laki-laki yang sedang penuh amarah. Suara asli yang tidak bisa dilembut-lembutkan, atau direndah-rendahkan untuk disamarkan, sebagaimana seorang wanita yang sedang memaki. Telah habis kata-kata, kini tangan halus mulus tapi sedikit berotot yang beraksi ….
Sebagai waria mungkin mereka masih mau berbagi cerita, derita, apa saja, bahkan nyawa sekalipun.
Tetapi tidak untuk berbagi pria! (*)
Karna Jaya Tarigan. Seorang penulis pemula. Terdampar di laman Facebook: sebuah dunia baru untuk berkarya. Tinggal di Kota Bekasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata