Pertemuan Paksaan

Pertemuan Paksaan

Pertemuan Paksaan
Oleh: Ray Eurus

Senja sudah lama beranjak, malam mulai merangkak saat aku meninggalkan tempat kerja. Aku memacu langkah agar segera sampai ke rumah. Hari ini, aku benar-benar terlambat. Semoga saja tak ada bayangannya yang mondar-mandir di teras depan karena menungguku pulang. Ah, aku sangat khawatir padanya. Meskipun aku berani bertaruh mengenai kekhawatirannya yang jauh lebih besar jika dibandingkan yang kurasakan.

Aku terus merutuki kejadian di gudang tempatku bekerja tadi. Sungguh sial, karena kecerobohanku saat menarik salah satu boks pesanan pelanggan yang berada di tengah-tengah susunan boks lainnya, membuat runtuh beberapa boks yang berada dalam rak tersebut. Perhitunganku kurang mantap. Wajar saja aku selalu gampang dikalahkan kalau sedang bermain Uno Stacko dengan anak tetangga yang usianya bahkan belum sampai setengah dari usiaku. Aku memang orang yang ceroboh.

Langkahku mulai melambat ketika aku menangkap bayangan dari sesosok makhluk yang datang dari arah berlawanan. Dia berjalan mendekat ke arahku. Salah satu kekhawatiran lain yang aku hindari adalah berjalan seorang diri saat tudung malam mulai diselimutkan, berjumpa dengan mereka yang sudah ditetapkan sebagai penduduk nokturnal.

Kami memiliki kesepakatan dalam menjalani kehidupan di wilayah ini. Saling berinteraksi kapan saja sebenarnya tak masalah, karena kita tak bisa menuntut jika ada kejadian yang tidak terduga. Maksudku, jika dalam waktu produktif kami tiba-tiba mereka butuh ke rumah sakit atau harus membeli obat atau lain sebagainya, maka tak ada larangan untuk mereka muncul di siang hari. Demikian pun sebaliknya.

Aku berjalan tergesa ke seberang jalan sambil menunduk, sengaja untuk menghindari buaya itu. Sebenarnya aku tak terlalu yakin apa benar itu buaya atau bukan, karena kulitnya agak berbeda. Akan tetapi, siapa yang peduli? Aku kurang tertarik.

Belum sempat aku sampai pada trotoar di seberang jalan, tiba-tiba makhluk serupa muncul lebih banyak di sana. Aku jadi bertanya-tanya di dalam hati, Apa mereka pada janjian buat pergi hajatan bareng?

“Ck!” Aku benar-benar kesal karena harus berpapasan dengan salah satu jenis penghuni malam seperti mereka. Sepertinya, aku harus memutar arah saja.

Sebenarnya tak ada masalah jika kami berpapasan. Aku yakin mereka mafhum, jika satu atau dua–bahkan lebih–dari penduduk siang terlihat saat malam. Toh, bukan sesuatu yang mustahil jika ada hal-hal yang terjadi di luar kehendak kami seperti yang aku alami hari ini. Hanya saja aku malas jika harus berpapasan dengan mereka. Itu bisa menghambat kepulanganku. Sebab, setidaknya aku harus mengangguk kepada mereka, sebagai bagian dari tata krama.

Aku sedikit tersentak saat memutar tubuh. Persis di belakangku beberapa makhluk dari ras buaya berjejer seperti memagariku. Aku semakin kaget karena sepertinya perkiraanku keliru. Makhluk-makhluk ini bukan buaya sepenuhnya. Maksudku, dia sebesar buaya dengan postur dan bentuk yang sama, tetapi kulitnya tak bersisik dan tampak gelap. Kulitnya agak kuning langsat dengan tekstur yang sepertinya kenyal. Apa mungkin ini sejenis buaya albino? Entahlah.

“Cepat bawa dia!” Aku tak yakin suara bernada perintah itu berasal dari mana, ditujukan kepada siapa, dan bermaksud apa?

Namun tanpa aku sangka, lidah panjang terjulur cepat ke arahku dan melilit tubuh ini, lalu secepat kilat tubuhku terangkat dan seperti tersedot masuk ke dalam mulut makhluk yang berada di hadapanku tersebut.

“Argh! Apa-apaan ini?” Aku memberontak, mencoba menyelamatkan diri. Ada masalah apa mereka denganku sih? Aku mulai panik.

***

“Hei, cepat bangun! Kamu belum boleh mati sekarang.” Samar kudengar kata-kata itu, sebelum akhirnya aku mencapai kesadaran.

Sedikit-sedikit aku membuka kedua kelopak mata. Pandangan masih sangat kabur saat kesadaranku sudah sepenuhnya terjaga. Sepertinya tadi aku pingsan.

“Di mana aku? Kalian siapa? Mau apa?” Agak sedikit terbatuk saat aku memberondong pertanyaan-pertanyaan itu kepada siapa pun yang bertanggung jawab atas kejadian ini.

Salah satu dari mereka berbicara agak berdesis tepat di telinga kiriku, “Lihat kami baik-baik dan kamu akan segera mendapatkan jawabannya.”

Aku mengerjapkan mata, sesekali memijat pangkal hidung, lalu mengucek-ngucek kedua mata secara bergantian dengan sebelah tangan saja. Aku tak mengenali tempat di mana aku berada, aromanya, bahkan situasi yang aku hadapi saat ini. Sebab, jika saat ini aku sedang diculik, kenapa kedua tangan, kedua kaki, bahkan mulutku bebas?

“Jadi kamu orangnya?” Aku segera mengarahkan tatapan pada sumber suara.

Aku memicing, mencoba mengenali dia yang berbicara barusan, berharap mendapat jawaban jika ternyata aku memang mengenalnya. Sayangnya, nihil.

“Apa maumu? Aku bisa menuntut perlakuan ini,” geramku sedikit pun tak merasa takut dengan perlakuan tak sopan ini.

“Justru kami yang hendak menuntutmu!” timpal suara lain penuh emosi, persis di sebelah penanya sebelumnya. Aku menggeser tatapan kepadanya. Tubuhnya lebih kecil daripada pemilik suara yang bertanya padaku sebelumnya.

Lidah panjangnya terjulur tepat sampai ke hadapan mukaku. Aku bergidik mengingat saat dililit dengan benda itu. Ah, entahlah apa itu benda atau memang salah satu bagian tubuhnya.

“Kau pembunuh!” pekik suara lain yang lebih melengking, lalu diamini oleh banyak suara. Keadaan seketika riuh dengan umpatan di sela-sela bunyi decak yang membuat darahku berdesir.

Apakah mereka sekumpulan cecak raksasa?

Adrenalinku terpompa. Aku terbiasa menghabisi cecak yang ada di sekitarku. Itu sudah seperti sebuah kebiasaan yang harus aku lakukan yang kemudian menjadi kebiasaan yang mengasyikkan. Akan tetapi, bukan cecak dengan ukuran sebesar buaya seperti ini.

“Tolong berhenti! Biarkan aku berbicara dengan tamu kita.”

Apa tadi katanya? Tamu?

Aku menoleh ke asal suara yang mengataiku sebagai tamu itu. Kali ini, aku hanya sedikit memicing memandang ke arahnya, sebagai tanda kurang suka.

“Apa kamu pimpinan mereka? Kenapa?” tuntutku.

“Harusnya kami yang mendapatkan penjelasan darimu. Kenapa kamu selalu membunuhi anak-anak kami?” Dia bertanya dalam nada tenang, penuh wibawa. Berbeda dengan yang lain yang sepertinya ingin menelanku bulat-bulat.

“Aku harus melakukannya. Untuk memberikan rasa aman buat seseorang,” terangku jujur, “dan aku menjadi terbiasa melakukannya, karena khawatir jika orang itu merasa ketakutan. Itu pun kulakukan jika kawananmu berada di rumahku,” lanjutku hati-hati.

“Siapa dia? Kenapa tak kau tenangkan saja dia untuk tak peduli pada keberadaan kaum kami?”

“Lagian, buat apa kalian mencari makan di sekitar rumahku, apalagi di waktu-waktu produktif kami?” Tak sedikit pun aku merasa terancam saat ini. Aku justru berapi-api sejak tahu jenis apa mereka sebenarnya. Meskipun, tak terlalu berharap banyak bisa menang jika harus menghadapi mereka semua. Aku bukan super hero sungguhan. Aku hanya super hero buat ibuku yang fobia pada cecak.

“Apakah dia yang kau maksud adalah dia saat ini menunggumu di rumah?” Sikap tenangnya berubah dingin saat menanyakan orang yang aku maksud.

“Kalian akan berhadapan denganku, jika ada yang berani mendekatinya. Apalagi sampai menyentuhnya sedikit pun!” Aku menggulung lengan baju yang kukenakan sambil menatap tajam ke arah makhluk yang kuyakini sebagai para dedengkot kaum cecak, satu per satu.

“Kenapa kau semarah itu? Tidakkah kau tahu, bagaimana rasanya keluarga mereka yang merasa kehilangan atas perbuatanmu?”

“Itulah alasan yang kulakukan. Keberadaan kalian di sekitar ibuku, sama seperti ancaman besar. Dia bisa sesak napas karena ketakutan.” Aku semakin bergairah hendak mengajak bergelut. Awas saja kalau mereka berani mendekati ibuku.

“Ya sudah … biarkan dia pergi,” ucapnya setelah kami semua dilanda kesunyian cukup lama, kecuali sesekali suara decak khas yang sempat lolos dari salah satu kawanan mereka yang sepertinya mulai gemas dengan keadaan tersebut.

Ini benar-benar di luar dugaan. Dia membiarkan aku pergi, lalu semua kawanan menurut saat diperintahkan untuk bubar begitu saja. Aneh!

“Aku akan berhenti jika anak-anak kalian tak lagi melanggar aturan,” janjiku sebelum berjalan ke arah pintu gerbang yang sepertinya jalan untuk keluar.

“Sial!” rutukku setelah berhasil keluar dari markas mereka.

Aku harus segera sampai rumah, ini sudah hampir tengah malam. Ibu pasti sudah seperti setrikaan di teras depan. Aku khawatir jika dia mengkhawatirkanku lebih besar dibanding kekhawatiranku saat kawanan cecak itu tiba-tiba muncul di hadapannya.

Ah, sialnya lagi aku tak tahu jalan mana yang harus kulalui untuk sampai ke rumah. Ini akan memakan waktu makin lama.[*]

Kota Minyak, 23 Maret 2021

RAY EURUS, penulis yang baru setahun ini mendalami dunia fiksi dan baru awal tahun ini serius mempelajari sastra. Sebelumnya penulis sempat fokus pada karya nonfiksi. Penulis pernah memenangkan juara dua karya tulis ilmiah tingkat kota saat kelas tiga sekolah menengah kejuruan pada belasan tahun silam, serta menjadi penulis lepas artikel-artikel dakwah untuk beberapa buletin di kotanya. Penulis juga sempat menjabat sebagai pimpinan redaksi sebuah buletin dakwah dari salah satu organisasi kala menjadi mahasiswa dulu. Penulis dapat disapa pada akun Facebook: Ray Eurus.

Editor: Rinanda Tesniana

Leave a Reply