Pertanyaan yang Tak Pernah Basi, “Kapan Kawin?”
Oleh : Lutfi Rose
Dalam pranata masyarakat Indonesia memang hal biasa dan dianggap lumrah ketika kita bertanya atau ditanya, “kapan kawin?” Mungkin itu pula yang mendasari ide sang sutradara Ody C Harahap ketika menulis skenario film ini. Judul yang sederhana tapi cukup menarik untuk diulik lebih dalam.
Film yang dirilis di awal tahun 2015 ini juga didukung oleh pemain kawakan seperti Adi Sardi dan pemain yang selalu membuat saya kagum pada setiap aktingnya: Reza Rahardian. Kali ini Babang Ganteng ini beradu akting dengan Adinia Wirasti yang berperan menjadi Dinda, gadis yang dikisahkan sudah memasuki kepala tiga dan belum “kawin”. Ah! Opening yang legit yang membawa saya masuk ke keseharian seorang “perawan tua” namun memiliki kehidupan yang cukup sempurna, karier, keuangan dan sosialita. Kalau saya berada pada posisi si Dinda mungkin saya akan berpikir sama, untuk apa menikah jika segalanya telah saya dapatkan?
Tetapi semua kenyamanan menjadi terusik ketika konflik pranata sosial mulai menuntut haknya. Dialog sang ibu ketika menelepon Dinda. “Nduk, ibarat sirene, kamu ini sudah berbunyi. Sudah waktunya,” begitu kira-kira kalimatnya. Kondisi ini sangat klop dengan kondisi masyarakat Indonesia terutama jawa masih mengedepankan keluarga sebagai tolak ukur sebuah kesempurnaan, orang belum bisa dianggap sukses ketika dia belum menikah dan berkeluarga bahagia. Apakah seperti itu? Semua balik lagi ke diri kita masing-masing.
Setting film yang berada di Jogja menguatkan lanjaran cerita yang masih njawani sekali. Sehingga kita seolah merasa lumrah ketika harus dihadapkan dengan pemikiran orangtua Dinda yang masih mengutamakan bibit, bebet, bobot dalam mencari menantu. Genre drama komedi juga melengkapi kisah cinta yang terasa menyentuh tapi membuat kita tertawa.
Tak perlu risau film ini tetap recomended kok buat para jomblower, tidak berarti dengan kalimat tanya kapan kawin, bakal bikin kalian ter-judge. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari pemikiran seorang lajang di usia matang, karena tergesa menikah dan hanya mengandalkan perasaan juga tak menjamin kebahagiaan. Hal Ini digambarkan pada pernikahan kakak Dinda yang penuh sandiwara. Yakin, deh, memiliki keluarga yang penuh drama itu lebih berat dari pada hidup melajang. Tapi catat! Bukan berarti saya menyarankan kalian betah melajang ya, ntar bisa karatan, susah.
Sebenarnya ketika tokoh utama bertemu di sebuah adegan, saya sudah bisa menebak ke mana arah cerita film ini. Tapi karena akting pemainnya yang ciamik dan sangat menjiwai dalam perannya membuat saya bertahan hingga detik terakhir. Dan benar saja, saya dibuat gregetan, tersipu sekaligus tertawa menikmati alur cerita yang penuh warna.
Menonton film ini saya seakan diajak merenung, menyelami perbedaan pemikiran orangtua dan anak yang sering bertolak belakang. Masing-masing merasa pilihan mereka yang paling benar tanpa mencoba bertukar pikiran sama sekali. Dan inilah pokok masalah sebenarnya.
Oke ,saya gak bakal spoiler, tapi tetap kalian juga akan mampu menebak ke mana akhir kisah dalam film ini. Hanya saja akan sangat disesalkan jika penonton tak mencermati kalimat-kalimat bijak yang diselipkan pada setiap dialog sepanjang film. Banyak terdapat pesan moral yang membuat kita akan lebih menghargai hidup ini. Kalimat yang paling favorit buat saya adalah ketika tokoh Satrio kecewa atas sikap Dinda di detik menjelang ending cerita. Kalimat ini sederhana tapi sangat mengena: “Tanggung jawab dulu buat diri sendiri, baru tanggung jawab buat orang lain!” Maknyes banget, kan?
Ending pun tidak dibuat terlalu klise, jatuh cinta, berontak, menikah, tidak. Dinda masih juga berpikir logis sebelum mengambil keputusan. Benar! Menikah itu bukan sesuatu yang hanya bermodal cinta, tapi juga bermodal dwit.
Well! Satu kata untuk film ini: dalem.
Buruan, yang belum nonton bisa langsung di-download di YouTube, meski film sudah beberapa tahun yang lalu tapi masih sangat up to date untuk kondisi masyarakat saat ini. Dan yang sudah nonton sepertinya juga bakal masih asik nonton lagi, terlebih buat yang sudah menikah kalian bisa bernostalgia dan saling membuka diri pada pasangan. Just remember, apa pun kondisinya, lakukan komunikasi yang baik dengan keluarga.(*)
Lutfi Rose, penyuka warna cokelat yang jatuh cinta pada warna merah muda.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata