Pertanyaan-Pertanyaan Malinda dan Pernyataan Orang-Orang Tentangnya

Pertanyaan-Pertanyaan Malinda dan Pernyataan Orang-Orang Tentangnya

Ning Kurniati


Malinda populer di kampung. Semua orang mengenal tabiatnya. Kalau kau tidak mengunci rumahmu, maka, jangan heran ketika garammu tinggal setengahnya lagi, atau vetsinmu tiada beserta tempatnya. Kabarnya, ketimbang garam, Malinda lebih menyukai vetsin.

Namun, Malinda bukanlah seorang yang hidupnya sebatang kara. Ia tinggal bersama suaminya, Pak Hakiman. Konon, ia memiliki tiga orang anak. Tetapi, tak satu pun yang tinggal bersamanya. Kau tahu kenapa? Tidak. Aku pun penulis cerita ini tidak tahu.

Yang kutahu bahwa Malinda menempati rumah saudaranya. Saudara yang menurut tetanggaku, kini menyesal karena sempat menaruh kasihan pada Malinda. Bukan, yang benar, ia kasihan pada Pak Hakiman. Koreksi tetanggaku setelah beberapa hari berikutnya. Dan sekarang ia menyesal pernah mengasihaninya, karena Malinda bukan main menjengkelkannya. Dan yang paling menjengkelkan pula, Pak Hakiman tidak pernah menegur Malinda, sekalipun ia mendengar dengan jelas keluhan orang-orang kalau Malinda suka berbuat seenak maunya.

Apakah mungkin karena perbedaan umur mereka yang terlampau jauh? Oh, itu bisa saja. Pak Hakiman delapan belas tahun lebih tua ketimbang Malinda.

Apakah kau mau tahu bagaimana ceritanya mereka menjadi sepasang kekasih? Jangan, lain kali saja, ya. Kelanjutan cerita ini tidak ada hubungannya dengan kisah cinta mereka itu. Apabila aku memaksakan inti cerita ini tidak akan sampai pada kalian. Jadi, mari aku kisahkan saja bagaimana kehidupan Pak Hakiman dan Malinda.

Pak Hakiman, sebagaimana kehidupan laki-laki kampung pada umumnya, ia menggantungkan mata pencahariannya pada hasil alam. Tetapi, karena tak sepetak pun tanah ia miliki, maka bisa dibayangkan bagaimana ia luntang-lantung meminta pada orang-orang ia diberi kesempatan mengolah apa saja yang bisa diolahnya.

Mengumpulkan batok kelapa atau mengumpulkan kayu bakar, itu dua hal yang bisa dikerjakan Pak Hakiman di usianya yang sudah tua. Pagi-pagi, ia akan membawa alat pengelupas batok kelapa. Apa kau berpikir ia akan menuju sebuah tempat? Ya, itu bisa saja bila hari sebelumnya ia mendatangi pemilik batok kelapa yang bersedia batok kelapanya diambil. Begitu juga dengan kayu-kayu bakar yang dikumpulkannya. Ia harus mengantongi izin terlebih dahulu.

Tapi kau tahulah kehidupan orang-orang kampung. Tak semua orang mengiyakan, sebab mereka juga membutuhkan. Pak Hakiman pun sepertinya paham itu, ia tidak heran ketika harus pulang dan menekuri apa pun yang bisa dikerjakannya di kolom rumahnya. Aku pernah menyaksikan ini. Ia memotong kayu yang menurutku tidak perlu lagi. Toh, ukuran kayu itu sudah cukup pas untuk diangkut si pembeli kayu bakar.

Mukanya tampak pasrah dan ia tampak bersungguh-sungguh mengangkat kapak hendak membelah kayu. Mungkin sebagai laki-laki Pak Hakiman tidak mau kelihatan berpangku tangan. Aku prihatin. Aku ingin menegurnya, memberikan sekadar senyuman, tetapi ketika aku hendak bersuara untuk menyapanya, kulihat Malinda dengan sarung yang terlilit di pinggangnya melangkah melewati pintu rumah, hendak menuruni tangga. Aku buru-buru menghindar.

Bukannya aku takut sama Malinda, tapi ada satu hal yang tidak bisa kutahan—begitu juga dengan sebagian orang, aku tidak sabar mendengarnya bicara. Sebab kalau ia sudah mulai bicara, maka sulit menghentikannya. Semua yang tidak dipikirkan orang-orang pada umumnya, itu ada di pikiran Malinda.

Seperti ketika, tiba-tiba di suatu pagi, pagi buta, ia berdiri di depan pintu dengan menggunakan baju tidur dan sarung yang terlilit di pinggang. Orang tuaku sedang bepergian, jadi aku yang menerimanya. Ia mengetuk lagi dan memberi salam ketika melihatku. Tentu aku terperanjat, kenapa orang ini ke rumahku? Bagaimana bisa?

Mengenai ini, ia tentu bisa. Aku saja yang tidak pernah menyangka. Jarak rumahnya yang ada sepuluh rumah dari rumahku, memungkinkannya melenggang dengan gayanya yang menurut orang-orang, seperti seorang pesolek. Tangannya sengaja diayun-ayunkan ke depan ke belakang, pinggul digoyang-goyangkan ke kanan ke kiri. Atau mungkin memang begitu cara jalannya. Entahlah, aku belum pernah memperhatikannya dari belakang. Dan, sekarang aku penasaran tentang itu. Tapi, tidak mungkin aku melihatnya. Kami sedang berhadapan saat ini.

Malinda tersenyum, tampak normal seperti orang-orang biasa. Tidak ada gejala keanehan di mukanya seperti yang kukira. Jadi, dengan senang aku memintanya masuk dan menyilakannya duduk.

“Ada apa? Ada yang bisa kubantu?” tanyaku ketika ia sudah duduk.

Ia tidak menjawab, hanya menggeleng dan tersenyum. Malah ia membuka lilitan sarungnya di pinggang, lalu sarung itu ia tarik menutupi seluruh tubuhnya, menyisakan mukanya. Melihat itu, mendadak aku diterpa rasa takut yang ganjil. Tapi, menit-menit selanjutnya ia tidak bertingkah, hanya matanya yang beredar ke penjuru ruangan tamu.

Aku mengikuti ke mana matanya itu mengarah. Ia melihat ke foto wisudaku. Cenderung menatap lama di sana, lalu beralih ke foto yang lain—foto keluarga, foto kedua kakakku, tetapi hanya sebentar. Matanya itu selalu kembali terpaku di foto wisuda itu, yang mana aku seorang diri.

“Sudah sarjana kau, ya?” tanyanya yang kedengarannya seperti pernyataan.

“Ya,” aku menjawab sambil mengangguk.

“Tidak sekolah lagi?”

“Tidak.”

“Anakku juga tidak. Nanti kau kawin, ya?” tanyanya yang kedengarannya lagi-lagi seperti pernyataan. “Kalau tidak sekolah lagi, kalau sudah ada yang lamar, anak perempuan itu kawin. Uang panaik 50 juta. Kau dijual.” Malinda cekikikan menutup mukanya dengan tangan. Aku melongok. Ia seperti anak gadis yang pemalu. Mungkin maksudnya bercanda, tetapi aku geram. Geram melihatnya, geram mendengar kata-katanya barusan. Ia seolah bukan warga sini. Andai ia tidak jauh lebih tua dariku, aku sudah mengusirnya.

Aku tidak membalas kata-katanya itu. Aku tersadar—ketika melihat ke meja—belum menyajikan apa-apa. Jadi, begitu saja aku meninggalkannya, masuk ke dapur hendak mengambil kue. Dan yang tidak kuduga, ternyata Malinda mengikutiku.

Aku membuka lemari. Ia mendekat berdiri hampir menempel padaku. Matanya terpaku pada isi lemari. Dan, dimulailah pertanyaan-pertanyaan seperti yang diembuskan orang-orang selama ini.

1, di mana stoples itu dibeli? 2, berapa harganya? 3, apa ada yang lebih kecil? 4, apa ada yang lebih besar? 5, kau semua yang punya stoples ini? 6, bagaimana caranya bikin kue itu? 7, bahannya apa saja? Lalu selanjutnya aku merasa ia datang untuk mensensus barang-barang di rumah dan tak lupa menanyakan berapa harganya. Atau kalau aku menjawab dikasih orang, ia akan bertanya lagi, siapa yang kasih? Di akhir perjuangannya untuk mengetahui semua hal itu, ia meminta satu stoples, mungkin dimaksudkan sebagai hadiah hasil sensusnya.

Maka begitu ia menginjakkan kaki di luar pintu, untuk pertama kalinya aku kepergian tamu, aku merasa seperti baru saja mendapat sesuatu yang menyenangkan sekali. Seperti mendapat barang yang tidak mungkin dimiliki, tetapi di suatu hari barang itu dengan mudahnya didapatkan. Aku begitu lega sambil berharap semoga Malinda tidak pernah lagi datang ke rumah. Tidak masalah, apa pun boleh ia minta kalau memang aku punya lebih, asal jangan memberiku pertanyaan-pertanyaan itu. Sungguh, aku tidak sanggup menjawabnya satu per satu.

*

Aku sudah melangkah masuk, tetapi kemudian berhenti. Sebab entah kenapa suara tapak kaki Malinda kembali. Aku terhenyak. Aku teringat garam dan vetsin di dapur. Oh, aku yang salah, seharusnya perihal dua bumbu ini sejak tadi kuberikan. “Oiii, makasih!” teriaknya dari pintu rumah.  Oh, jantungku masih di tempatnya, ‘kan. Aku mengusap  dada.


11 Oktober 2020

Ning Kurniati, penulis pemula.



















Leave a Reply