Pertama yang Berakhir
Oleh: Dinni Alia
“Awanisya Tatera!”
Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi, hariku tak dapat bebas, sebab selalu dikuntit oleh cowok gila kapan pun dan di mana pun aku berada. Seberapa jauh aku melangkah, ia seakan tidak mau lenyap.
“Gue enggak butuh pengikut. Jadi, berhenti ikutin gue, orang gila!” Aku menggeram marah. “Satu lagi, jangan pernah sebut nama lengkap gue!”
Ia terkekeh. “Jangan gitu, dong, Awan Cantik. Lo teman terbaiiiik, deh.”
Aku menatapnya datar. Dengan cepat, aku melangkah menuju kursi panjang yang ada di pinggiran jalan. Lagi-lagi, aku kembali diikuti cowok itu. Huh, sudah kubilang kalau ia selalu menempel padaku layaknya benalu semenjak kejadian empat hari yang lalu.
Hari itu, aku tengah duduk sendirian di bangku taman. Seperti biasa, orang-orang di sekitar taman tak menganggap dan melihat diriku. Sekali mereka melihat, orang itu justru bergidik ketakutan lalu segera berlari menjauhiku. Memang begitu, aku selalu diperlakukan seperti setan.
Aku pun tak pernah peduli sama sekali dengan manusia. Bagiku, mereka makhluk kejam tanpa rasa toleransi. Tak melihat, tidak menganggap, bahkan mereka menjauhiku secara terang-terangan—ya, Tuhan, mereka menyakiti ciptaan-Mu ini!—hingga aku berjanji pada diriku sendiri untuk tak akan berhubungan dengan manusia di bumi ini. Jika hidup butuh orang lain, maka aku akan memilih mati saja.
“Mampus lo, anak culun!”
Ketenanganku diganggu oleh suara bercampur tawa yang memekakkan telinga. Aku menilik sekitar, tak jauh dariku, tampak empat lelaki tengah melakukan perundungan. Tetapi, orang-orang yang melewatinya tampak begitu santai berjalan, tidak acuh pada seorang cowok yang sedang berjongkok sembari menundukkan kepalanya.
“Manusia memang tak punya hati,” desisku pada angin.
Sepatu mengilat yang dikenakan keempat lelaki itu dengan sengaja menginjak kaki cowok itu, yang hanya beralaskan sendal jepit, penuh tekanan. Lalu, tangan bejat mereka memukuli seluruh tubuh yang tak berdosa itu. Ditambah, mereka menjambak rambut lepek itu kuat-kuat hingga tubuh tidak berdaya tersebut ambruk ke tanah, dengan darah yang keluar dari hidungnya.
Uh, mengapa aku hanya melihatnya terus menerus?!
Sialnya, cowok korban perundungan itu tampak hanya pura-pura bagiku. Diam seolah tak berdaya. Tak melawan seakan tak kuasa. Huh, manusia itu tidak ada yang punya perasaan, mereka kejam! Jadi, cowok itu pun pasti sama saja. Aku sendiri dilarang kasihan pada manusia. Persetan dengan rasa peduli. Aku memilih untuk beranjak menuju rumah, daripada harus menonton pertunjukkan munafik seperti itu.
Esoknya, kakiku kembali melangkah ke taman. Tak dapat dipungkiri, secuil hatiku penasaran dengan nasib cowok naif itu. Namun, taman terlihat lengang sekali, tak tampak pula cowok tersebut.
“Sial. Gue diperbodoh oleh manusia.”
Baru saja diriku ingin menjauh, terdengar suara raungan yang menggetarkan hatiku.
“Ampun. Gu … gue enggak bakal ulang lagi, Bos.”
Aku mengernyitkan alis. Di seberang jalan sana … cowok kemarin?! Ya ampun, cowok itu memang benar-benar bodoh atau hanya berpura-pura bersama teman-temannya agar aku berbelas kasih?! Sial. Cowok itu tampak terhuyung-huyung sebab didorong terus-menerus hingga sedikit melewati bahu jalan. Padahal, jalan sedang ramai-ramainya. Belum lagi, banyak motor dan mobil yang lajunya secepat kilat. Manusia memang gila.
Aku berlari nekat menghampiri gerombolannya. Jiwaku sudah tak tahan dengan perlakuan mereka yang hampir saja ingin menghabisi nyawa seseorang di jalanan.
“POLISIII!”
Mereka celingukan, matanya melebar, dan mulutnya komat-kamit tak jelas. Dengan kelabakan, empat manusia itu terbirit-birit kesetanan. Tersisa, cowok berpakaian lusuh dengan wajah yang sangat kusam. Ah, masa bodoh. Aku segera melangkah meninggalkannya.
“Hei. Nama lo siapa?” teriaknya, yang terabaikan olehku.
Tak sampai situ, ia berlari, berusaha menyesuaikan langkahku dengan memberondong pertanyaan, “Siapa nama lo?”
“Awanisya Tatera!” Aku memelotot seraya menutup mulutku.
Ya ampun, ini mulut mengapa dengan entengnya memberi tahu nama pada makhluk menyeramkan bernama manusia? Nama lengkap pula. Ingin mati saja aku.
Makhluk gila itu justru tersenyum lebar. “Gue Langitsyah Ratio. Terima kasih sudah tolongin, Awan!”
Bermula dari kejadian itu, cowok gila bernama Langit itu menjadi senang sekali menganggu ketenangan hidupku.
“Aw, hari ini gue bawa silet!” bisiknya sangat ceria.
Aku hanya duduk diam. Empat hari bersama dia, semua asumsiku tentang manusia semakin parah. Selain tak menghargai sesama, manusia tak menghargai diri sendiri. Ia dengan ringannya menyayat tangan sendiri, bermain bersama cairan berwarna merah kental itu. Lebih parahnya, Langit suka mengajak diriku dengan sesuka hati. Dasar biadab.
“Aw, lo kenapa sih?! Empat hari gue ikutin lo, tapi enggak pernah digubris!” Langit memejamkan matanya. “Gue kira, lo bisa jadi teman baik karena sama-sama merasa sakit. Lo asik sendiri. Sakit bersama-sama itu lebih menyenangkan, Aw.”
Aku menggeram kesal. Manusia ini benar-benar bermasalah. “Gue bukan teman lo! Pergi, lo. Muak banget gue dekat sama manusia.”
Kulihat mata Langit menatapku nanar. “Awan, di dunia ini manusia diciptakan berdampingan. Gue dan lo sepasang manusia, Awan dan Langit. Jadi, ayo bagi rasa sakit ini bersama-sama!”
Aku mengepalkan tangan kuat. Segera saja, aku beranjak lalu menarik lengan manusia gila di sampingku. Ini sungguh masalah besar. Pertama kali dalam hidupku, aku membiarkan manusia berbicara denganku. Tak bisa didiamkan. Aku harus segera menyelesaikannya.
Kulempar manusia itu ke dalam gedung tua yang sangat gelap. Debu, sarang laba-laba, dan kecoak menjadi penghuni ruangan pengap ini langsung menguar.
Langit, yang terduduk, segera mundur hingga punggungnya menabrak dinding yang rapuh. “Lo ke … nap … kenapa?”
Aku menyeringai lebar. Perlahan, aku melangkahkan kaki mendekatinya. Untung saja, benda di kantung celanaku tak pernah tertinggal.
“Mari kita selesaikan, Langitsyah Ratio,” bisikku tepat di telinganya.
Kupaksa tubuh yang telah gemetaran itu berdiri. Kemudian, aku langsung mengeluarkan belati itu. Langit? Diam saja. Aku tahu sebenarnya ia sangat tolol jika berhadapan dengan orang.
Kuangkat belati yang ada di tangan kananku menuju wajah Langit. Kumainkan belati tersebut hingga seolah menari-nari di pipi mulusnya, tanpa menggoreskannya. Beralih ke dahinya, Langit menarik napas dalam.
“Ja … ngan, AAAAHH!”
Aku tertawa lebar. Langit menangis darah. Pipinya dipenuhi darah yang berasal dari luka berbentuk garis lurus hasil karyaku. Bagus sekali.
“Masalah itu harus diselesaikan. Dan masalah gue itu lo, penguntit naif!” bisikku pelan.
Langit menjerit kesakitan. Aku merobek bibirnya yang merah. Sudah tak tahan, kutancapkan belati tepat di dada kirinya. Ia langsung terjatuh membentur lantai.
“Bangun lo, biadab!” teriakku kesal.
Langit benar-benar ingin bermain denganku. Tanganku mencabut belati dari dadanya, lalu kutancapkan lagi. Darah mulai bercucuran. Kucabut lagi, kemudian kembali ditancapkan. Langit telah mati bersimbah darah.
“SIALAN!”
Aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan gedung tua itu. Masa bodoh dengan wajah dan tanganku yang terkena cipratan darah manusia.
“Masalah, masalah, pembunuh, pembunuh,” suara halus menggerayangi telingaku.
Tuhan, tolong aku! Aku ingin hidup tenang.
Sampai rumah, segera kututup pintu dan menguncinya. Aku segera melangkah cepat menuju kamar mandi, menatap cermin di sana.
“Pembunuh gila!”
“Awan manusia kejam!”
“Lo yang bermasalah!”
“Masalah harus dilenyapkan!”
“LO HARUS LENYAP, HARUS MATI!!!”
Kujambak rambutku kencang, berusaha menutupi telingaku. “ARGH, GUE BUKAN MANUSIA, GUE ENGGAK KEJAM, GUE BUKAN PEMBUNUH! GUE ENGGAK BERMASALAH!”
Wajah di depan cermin itu masih sama. Mata merah melotot, seolah ingin membunuhku. Ia menunjukku dengan sebuah pisau. Pisau yang lama tak kupakai. Namun, entah mengapa, sosok di sana justru mengarahkan pisaunya ke tubuhnya sendiri.
Aku histeris. “AAAAH!”
Aku jatuh terlentang. Mataku terasa berat hingga akhirnya tertutup sempurna. Gelap, tapi tubuh ini menjadi terasa sangat ringan. Aku hanya bisa diam, meratapi apa yang telah terjadi.
Untuk pertama kalinya, aku bisa berhubungan dengan manusia. Ditambah, aku bisa melenyapkan makhluk kejam itu. Pertama kali yang membawaku pada masalah yang lain. Sampai akhirnya, aku terbang mengawang dengan masalahku. Pertama kali yang harus berakhir; berhubungan dengan manusia. (*)
Dinni Dwi Alia Rahma. Gadis berusia 14 tahun yang menetap di antara Karawang-Bekasi. Ia bisa disapa via email: dinnidar@gmail.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata