Perspektif
Oleh: Ning Kurniati
“Apa yang terlihat belum tentu pada kenyataannya. Bisa jadi ia berbeda, hanya saja kita tidak melihat dari sisi yang tepat.”
Kamu pernah begitu mengaguminya hingga tidak ada lagi celah buruk yang tampak, padahal kamu paham betul bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Detik yang bergulir tidak ada yang tidak membawa rasa bahagia. Semua indah di pelupuk matamu: candaannya, perlakuannya.
“Hei, Hena.” Seorang teman menyapamu.
Kamu lantas berbalik, menatap matanya dan seketika itu senyummu terkembang. Dia sahabatmu, Arina. Seorang teman yang semalam memintamu untuk datang ke sebuah masjid. Katanya, seorang dai akan membawa materi terkait hubungan muda-mudi. Kamu pun mengiyakan.
Hijabnya bergerak-gerak karena semilir angin. Arina menatapmu dengan senyum yang tak kalah semringahnya dibanding dirimu. Pakaiannya telah berubah yang dulunya sering dengan celana ketat kini diubah dengan rok yang menjuntai sampai ke mata kaki. Baju yang dikenakannya pun kini tidak lagi yang melekat di kulit, tetapi longgar. Kentara sekali dari lengan yang tidak pas dengan lengan tangan temanmu. Dan hijab yang menjulur menutupi tangannya.
“Hai, Arin,” sapamu balik.
Arina lantas mengulurkan tangannya. Kamu yang tidak biasa bersalaman ketika bertemu dengan seseorang pun menjadi kaku membalasnya. Akan tetapi, perlahan tanganmu terulur juga, menjabatnya.
“Sudah lama menunggu, ya?” tanyanya.
“Hmm, tidak juga.”
Padahal pada kenyataannya, kamu sudah berada di pelataran masjid itu sejak lima belas menit yang lalu. Hanya saja kamu terlampau nyaman dengan suasananya yang adem. Jadi, waktu berlalu cepat. Kamu tidak seperti biasanya yang selalu emosi bila seseorang tidak tepat waktu. Katamu, bagaimana Indonesia bisa maju, bila masalah waktu kalangan mudanya selalu gagal dalam mengatur.
“Maaf, ya, aku terlambat. Ban motorku tadi bocor. Jadi, mesti ditambal dulu,” ucap Arina pelas.
“Tidak apa-apa.”
Dia lantas mengajakmu menuju meja registrasi. Beberapa menit di sana, kamu merasa sedikit asing. Itu pertama kalinya, kamu dihadapkan dengan orang yang terlampau ramah. Senyumnya tidak ala kadarnya seperti yang sudah-sudah kamu temui.
Sesampai dalam ruangan, rupanya sudah banyak muda-mudi sepertimu yang tengah tenang menonton video dari layar yang disediakan. Perhatianmu pun juga ikut teralihkan seperti yang lain. Kamu bergeming di posisi dudukmu.
[Kenapa muslimah mesti berpendidikan ialah karena dia adalah madrasatul ula bagi anak-anaknya.
Saudariku yang kucintai karena Allah, sebagai muslimah sudah semestinya kita menuntut ilmu bukan dengan tujuan gelar, melainkan karena tujuan akhiratmu. Alasan apa yang akan kamu kemukakan kelak, ketika ditanya oleh Rabb-mu: untuk apa masa mudamu kamu habiskan, di mana kamu menghabiskannya? Jawaban apa, ya, ukhty, yang akan kamu sampaikan?]
Embun yang tadinya di pelupuk mata kini mulai berjatuhan berubah menjadi tetes-tetes air. Kalimat-kalimat itu sukses meluluhlantahkan rasamu, tabir pembenaran yang kau agung-agungkan selama ini. Belum juga materi disampaikan, itu hanya tayangan pengantar saja, kamu sudah teramat kalah. Kalah dengan kebenaran yang harusnya sudah lama berada di benakmu. Namun, datangnya baru hari ini.
***
Warna-warna jingga telah muncul di ufuk barat. Di jalanan bunyi klakson di antara para pengendara saling memekik antara satu dan yang lain. Waktu magrib hampir tiba dan kamu masih di jalan berjejal-jejal dengan manusia lainnya. Matamu awas memerhatikan celah untuk satu langkah lebih cepat. Namun, bagaimanapun kamu berusaha, tidak ada lagi jalan lain selain sabar menanti giliran untuk melajukan roda dua yang sedang kamu kendarai.
Napas kamu hela. Dan tanpa sengaja matamu menangkap sosok lelaki yang belakangan mengisi hari-harimu, sedang berboncengan dengan perempuan muda seusiamu. Rambut perempuan itu tergerai indah dengan tangannya yang memegang pinggang si pembonceng. Terlihat mesra. Bahkan terlampau mesra untuk ukuran teman dan kekerabatan.
Bukannya bersedih, senyum justru tersungging di wajahmu. Lalu, seketika tawamu lepas. Sampai-sampai orang di sekitar menoleh, berbalik memerhatikanmu. Sadar akan hal tersebut kamu justru memilih tidak menghiraukan. Kamu terus saja tertawa hingga seorang pengendara dari sisi kanan, menepuk lenganmu.
“Mbak?”
Kamu menoleh. Hendak berucap, tetapi sepertinya lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau, dan gerombolan yang di hadapanmu mulai bergerak. Semua lantas fokus ke depan temasuk kamu. Semuanya sekejap menjadi angin lalu. Semuanya. Tidak hanya pengendara barusan, juga celotehan tadi sebelum berpisah dengan Arina dan dia. Kamu pun ambruk.
Bulukumba, 2 Juni 2019
Ning Kurniati, seorang perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah setiap harinya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata