Persoalan Kamu
Diah Estu Asih
Malam kian larut, tetapi mataku masih bersemangat untuk menatap langit yang kali ini gelap. Di beranda rumah ini, kita pernah menghabiskan malam-malam panjang. Ampas kopi dan kaleng berisi roti kering menjadi saksi bagaimana kita berbahagia akan momen itu. Janji-janji dan rencana-rencana masa depan kita susun apik, begitu apik sampai aku tidak menemukan celah bahwa kita akan berakhir pada perpisahan.
Enam tahun berlalu tetapi aku masih teringat padamu. Kamu berhasil melupakan aku sementara aku masih terjebak pada perasaan ini. Kupikir, setelah kamu menikah dan aku juga menikah, hidupku akan kembali normal. Aku tidak yakin mencintai istriku karena tak ada hari tanpa teringat kepadamu.
Sementara kulihat kamu begitu bahagia dengan dua anak kembar dan suami. Aku tahu setelah menelusuri Instagram dan Twitter milikmu. Melalui media sosial itu kamu membagikan caranya menjadi orang tua yang baik untuk anak. Sejak kita pacaran, aku memang yakin kamu calon ibu yang baik, tetapi aku bukanlah calon ayah yang baik.
“Jangan merokok,” pesanmu kala itu, setelah kita keluar dari kantin.
“Biasakan dari sekarang. Jangan biasakan anakmu dengan rokok.”
“Cuma hari ini,” jawabku, tetap menyulut batang rokok dan menyesap racun dari dalamnya.
Beberapa kali kita bertengkar hanya soal rokok. Kamu bilang, kita membicarakan soal masa depan, pernikahan dan anak, tetapi aku tak peduli pada kesehatan anak dan istri dengan merokok.
Aku tahu telah berjanji banyak kepadamu. Akan berhenti merokok, akan menabung, dan menyelesaikan kuliah secepatnya. Namun janji tak lebih dari kata yang keluar dari mulut. Semuanya menguap, tak pernah kutepati.
Namun, sekali waktu kamu juga tersipu. Aku pintar membuatmu tersipu, bahkan di saat kamu marah pun, terkadang masih muncul semburat merah di kedua pipimu. Itu sesuatu yang cantik sekali.
Hanya dengan kalimat sederhana saja kamu bisa tersipu.
“Marahmu menambah dosis cantikmu.”
“Bulan bahkan akan iri denganmu.”
“Tidak ada cahaya seterang dirimu.”
Cinta itu buta. Kupikir asal kamu mencintaiku, maka aku aman. Aku akan selalu dipilih meski tak punya apa-apa dan masa depan tidak jelas.
Namun, tidak selalu begitu. Kamu lumayan cerdas dalam memilih sehingga kini, suamimu bukanlah aku dan anak-anakmu bukanlah keturunanku.
Rumah ini adalah hasil kita membayar bersama. Kamu menagihnya setiap aku dapat gaji. Setelah kamu berhasil membujukku untuk segera lulus kuliah, kamu juga berhasil membuatku menyisihkan bayaran untuk membeli rumah.
Seharusnya kita tinggal bersama di sini. Namun, ternyata tidak. Kamu pernah datang untuk berpesan kepadaku.
“Rumah ini jadi milikmu. Uangku yang terpakai untuk rumah ini gunakan untuk membahagiakan anak istrimu kelak.”
Dan aku menepati permintaanmu itu. Aku, istri dan anakku tinggal di sini. Aku bekerja keras membahagiakan mereka karena itu perintahmu.
Namun, di suatu waktu tertentu, ada malam di mana aku tidak mampu tertidur di samping istriku. Ada kamu di kepalaku, begitu membayang jelas dengan senyuman manis yang menakjubkan dan aku takut istriku menyadari itu. Dia akan sakit hati sekali. Jika begitu, aku pun artinya tidak membahagiakannya. Aku akan mengingkari permintaanmu.
Rupanya semuanya masih tentang kamu, sampai membahagiakan anak dan istriku pun, masih saja soal kamu.
***
Aku menyesap kopi dengan rasa gelisah. Kamu berdiri di sana seorang diri, tidak membawa payung sementara hari di luar sedang hujan. Jika menunggu suami, mengapa dia tak segera datang? Sudah setengah jam berlalu dan kamu terlihat semakin kedinginan.
Ingin kulepas jaket dan memberikannya kepadamu. Namun, aku tahu kamu tak akan menerimanya. Semakin lama melihatmu sendirian juga membuatku semakin gelisah.
Apa boleh aku ajak kamu ngopi dahulu di meja ini? Aku merasa tidak boleh karena itu akan membangkitkan kenangan-kenangan kita dan aku semakin kesulitan untuk lupa kepadamu.
Kutunggu lima belas menit sampai kopiku betul-betul habis. Kamu masih di sana, sendirian dan kedinginan.
Hatiku bergetar dan langkahku ragu saat keluar dari kafe ini. Sudah lama juga aku tahu kamu kerja di sini, tetapi baru kali ini aku berani berniat menghampirimu. Apakah kamu akan baik-baik saja? Apakah sama buruknya denganku?
Pada jarak tiga meter, aku berhenti melangkah. Bagaimana kalau kamu sama buruknya denganku? Aku pasti tidak bisa melihatmu seburuk ini. Maka kamu harus baik-baik saja, agar aku selalu mengabulkan permintaanmu untuk membahagiakan anak istriku.
Kamu menoleh saat aku sedang bimbang untuk pulang atau menghampirimu.
“Hai?” sapamu dengan nada ragu. Aku tersenyum gugup, lalu melangkah pasti kepadamu.
“Aku harap nggak salah orang. Apa kabar?”
Tentu saja kamu tidak salah orang. Memang aku orangnya. Mungkin karena kemejaku lebih rapi, rambut dan wajahku lebih terurus. Ini karena istriku telaten sekali dalam mengurusku.
“Baik. Kamu bagaimana?”
“Aku juga baik. Kenapa di sini? Atau kerja di sini tapi aku nggak tau?”
Tidak. Aku akhirnya memilih membuka usaha sendiri. Berkat kemahiran istriku dalam mengatur keuangan, usaha itu berhasil.
“Hanya jalan-jalan saja.”
“Oh.”
Selanjutnya kamu diam, dan aku bingung harus membuka obrolan apa.
“Kenapa belum pulang?” tanyaku, berharap tidak salah.
“Masih hujan. Suamiku di luar kota. Ponselku mati. Jadi nanti tunggu hujan agak reda, cari ojek di depan.”
“Mau pinjam ponselku?”
“Bisa?”
“Bisa!” jawabku terlalu semangat, sampai-sampai kamu tertawa mendengarnya.
Kuserahkan ponsel padamu, dan kamu menggunakannya dalam waktu yang singkat, hanya memesan taksi online dan kembali memberikan padaku.
“Bagaimana kabar anak dan istri?” tanyamu setelah itu.
“Baik,” jawabku seadanya.
“Bahagia?”
Aku tidak begitu paham bahagia apa yang kamu maksud. Mungkinkah anak istriku, atau aku? Namun, aku tetap menjawabnya.
“Bahagia.”
“Baguslah. Aku juga bahagia. Suamiku, orang yang pintar menghargai.” Kamu menatapku sembari tersenyum manis. “Aku berusaha mengurusnya dengan baik. Dia bilang tidak perlu repot seperti itu, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuknya.”
“Kamu sangat bahagia?” tanyaku tiba-tiba.
“Wanita bahagia dengan hal-hal sederhana seperti itu.”
Dan sejak itu, aku selalu berpikir, apakah istriku bahagia seperti kamu berbahagia dengan suamimu?
***
Biodata: Diah Estu Asih adalah gadis yang sedang mempelajari cara menulis dan membaca dengan baik. Mahasiswi jurusan Fisika FMIPA di UNS ini mulai mendalami bidang sastra sejak 2017.
Editor: Erlyna