Persetan dengan Perayaan
Oleh: Santi Je
Terbaik ke-11 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
“Mak, lapar.” Rintihan terdengar dari rumah mungil berdinding bilik. Rintihan yang kesekian kalinya pagi ini dari seorang anak kecil berusia tiga tahun.
“Tunggu Aa pulang, ya. Aa janji pulang nanti bawa makanan untuk kita sarapan,” jawab wanita tua yang disapa Mak Warsih.
Gadis kecil itu bergerak. Suara air yang dituang ke dalam gelas terdengar dari dapur.
“Aduh!” seru si bocah.
“Kenapa, Tini?” tanya Warsih.
“Tumpah, Mak. Mana gak ada lagi airnya, kendi kosong.”
Warsih diam. Sejak matahari baru terbit Tini sudah berulang kali minum. Gadis kecil itu berharap perutnya bisa menahan lapar barang sekejap sampai sang kakak pulang membawa apa pun yang bisa dimakan.
Pagi tadi, Danu anak sulungnya bangun kesiangan, sehingga belum sempat memasak air untuk mengisi kendi dan teko. Anak lelaki berusia dua belas itu bergegas pergi, berpamitan untuk bekerja seperti hari-hari biasa sebagai kuli bangunan.
“Tini mau ke sungai, Mak, ngambil air, haus.”
“Ulah, lesang¹.”
“Tapi kendi sama teko kosong. Kalo Aa pulang entar bawa makanan gak ada buat minum.”
Tini berlari sambil menenteng jeriken, tak mengindahkan seruan emaknya. Tubuh kecilnya berjalan cepat menuju sungai yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumah. Mengabaikan rasa lapar yang mendera, Tini tampak bersemangat menuju satu-satunya sumber air yang diandalkan masyarakat Desa Wanajaya, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Warsih hanya menatap tubuh kecil putrinya menjauh tanpa mampu berbuat apa-apa. Sudah satu tahun kakinya bengkak akibat penyakit Chikungunya. Nama penyakit yang dia dengar dari anak sulungnya, itu pun hanya tebakan setelah Danu bertanya sana-sini di kota sana. Tak pernah sekali pun dia berobat. Ketiadaan biaya dan ongkos untuk ke kota membuat wanita tak bersuami itu pasrah.
Sementara itu, tetangga bukannya tak peduli. Namun, mereka juga rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Desa tempatnya tinggal merupakan salah satu desa di Sukabumi yang kehidupan masyarakatnya terbilang terbelakang. Akses jalan saja hancur. Semua serba sulit. Rumah-rumah di sana rata-rata masih terbuat dari bilik dan kumuh.
Entah kapan tepatnya penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk itu menyerangnya. Sejak Warsih kerap demam, nyeri sendi, dan muntah-muntah, perlahan kakinya membengkak. Sekitar empat bulan kemudian, Warsih total tak bisa berjalan. Dalam keseharian, dia hanya mampu mengesot. Praktis ekonomi keluarga jatuh ke pundak Danu satu-satunya. Suaminya telah berpulang sejak Tini berusia satu tahun.
“Alhamdulillah,” ucap Warsih kala dari kejauhan tubuh kecil Tini terseok dan tertatih berjalan mendekat sambil membawa air dalam jeriken.
“Mak, cepet nyalain tungku, kita masak airnya!” teriak Tini dari kejauhan.
Warsih mengesot menuju dapur. Rumah beralas tanah membuat kakinya memiliki banyak luka gores. Dia ambil kayu bakar, lalu menyalakan tungku.
“Aa belum pulang juga, Mak?” tanya Tini dengan napas patah-patah. Gadis kecil yang dewasa dipaksa keadaan itu menuang separuh isi jeriken ke dalam panci, lalu dijerang di atas tungku.
Sayup kumandang azan Zuhur terdengar. Warsih menatap Tini yang sedang mengipasi air yang baru matang dengan iba. Tak ada keluhan lolos dari bibirnya atas keadaan kehidupan yang serba sulit, tetapi Warsih tahu, Tini kerap menatap teman-temanya yang lahap makan dengan lauk enak.
“Si Aa ke mana, Mak, udah siang,” ucap Tini. Dia teguk satu gelas air yang sudah hangat hingga tandas. Perutnya berbunyi, satu butir pun nasi belum mengisi lambungnya sejak pagi.
“Mungkin masih di jalan,” jawab Warsih. “Tini coba ambil daun singkong di belakang ada gak? Kita rebus sambil nunggu Aa pulang.”
“Gak mau, ah, gak pake nasi gak enak.”
“Buat Emak aja atuh kalo gitu.”
Tini beranjak. Tak berselang lama, kembali dengan satu boboko² daun singkong.
Warsih kembali menyalakan tungku untuk merebus daun singkong. Perutnya pun luar biasa lapar. Dia menengok ke arah Tini yang tertidur di depan pintu sambil memegangi perut ratanya. Lelah menahan lapar menanti sang kakak pulang.
Baru dua genggam daun singkong masuk mulutnya, suara ribut di luar membuat Warsih lekas membawa tubuhnya ke depan. Tini pun terlonjak kaget, seketika bangun dan melongo melihat banyak orang tiba-tiba sudah berkerumun di depan rumahnya.
“Tah, Mak Warsih, si Danu maling!”
Tubuh anak sulung Warsih tersungkur, dihempas dan didorong begitu saja.
“Henteu, Mak. Danu teu maling³,” ucap Danu merintih.
“Alah, maling mah moal aya nu ngaku!”⁴
Ucapan-ucapan bernada sumpah serapah terlontar dari banyak mulut di depan Warsih dan Tini. Lidah Warsih kelu untuk sekadar bertanya karena melihat muka Danu yang bonyok. Darah menetes dari beberapa luka di tangan dan kaki. Bajunya yang berwarna putih tampak kontras karena terkena warna darah.
“Aa kunaon?”⁵ Tini menangis menatap iba sang kakak.
Tuntas mengeluarkan kata-kata kotor, manusia-manusia yang menyemut membubarkan diri. Danu pun terkulai hilang kesadaran.
Sebisa Warsih, dibantu Tini yang bolak-balik mengambil dedaunan berbau menyengat dari sekitar untuk menyadarkan Danu, akhirnya anak lelaki itu sadar. Sisa air dalam jeriken dipakai Tini untuk membersihkan luka di tubuh sang kakak.
“Danu gak maling, Mak,” ucap Danu lirih.
“Emak percaya, ke wae caritana mun geus cageur,”⁶ jawab Warsih.
“Danu lupa kalo ini tanggal 17 Agustus. Kuli-kuli diliburin. Danu baru sadar pas nyampe kota ada pawai agustusan, ada upacara di alun-alun, sama banyak lomba. Telanjur ke kota, Danu mungut rongsokan dari pagi sampe lohor. Langsung dijual dapet seliter beras, gak kebeli lauknya,” terang Danu sambil menahan ngilu dari luka yang dicuci Tini.
Warsih sekuat tenaga menahan bulir di ujung mata yang hampir jebol. Jika Danu terluka, siapa yang akan mencari nafkah?
“Ngelewatin kebon Pak Toha, Danu dikasi sekeresek singkong. Pas lewat kebon Pak Aji, banyak orang di sana. Tau-tau Danu diteriakin maling.”
“Aa ….” Pecah tangis Tini mendengar cerita Danu.
Kampung mereka memang tak pernah merayakan hari kemerdekaan. Persetan dengan perayaan, setiap hari warga mengais rezeki susah payah hanya demi sesuap nasi. Tak ada yang peduli akan hari, tanggal, bulan, dan tahun. Yang mereka tahu, negara telah merdeka 17 Agustus 1945 silam.
Sampai hari ini, 17 Agustus 2024, pemerintah tetap tak peduli akan kehidupan mereka.
“Jadi beas jeung sampeuna mana, Aa?”⁷ tanya Tini polos yang perutnya kian melilit diremas rasa lapar.
“Awur-awuran teuing ka mana pas Aa ditonjokan.”⁸
Warsih dan Tini pun terisak.
Bekasi, 22 Agustus 2024
Catatan kaki:
- Jangan, licin
- Bakul
- Enggak, Mak. Danu gak maling
- Alah, maling mah gak bakal ada yang ngaku
- Aa kenapa?
- Tar aja ceritanya kalo udah sembuh
- Jadi beras sama singkongnya mana, Aa
- Acak-acakan entah ke mana pas Aa ditonjokin
Komentar juri, Freky:
“Persetan dengan Perayaan”, sebuah cerita yang membuat saya tercekat sejak awal mulai membacanya. Kepiawaian penulis dalam membangun suasana dan menghidupkan tokoh-tokohnya membuat saya larut dalam kisah sedih yang disuguhkan. Sebuah karya yang sayang bila tidak dibaca hingga tuntas.