Pernikahan Kedua Bapak

Pernikahan Kedua Bapak

Pernikahan Kedua Bapak
Oleh: Eda Erfauzan

Aku masih berjongkok di sisi gundukan tanah bertabur aneka bunga. Satu per satu yang hadir di pemakaman berpamitan. Kurasakan seseorang menyentuh bahuku, Mbak Pur berpamitan. Aku berdiri, ia memelukku, matanya pun sembab. Perempuan yang dinikahi Bapak dua bulan lalu itu menyeret langkahnya menjauh. Aku menatap kepergiannya hingga gerbang makam lalu berbalik lekat pada bilah papan bertulis nama Bapak.

Hari-hari dua bulan lalu seperti mengiringi langkahku meninggalkan makam, berkali kutengok tanah basah bernisan itu hingga pohon kemboja dan tembok pembatas menjadi penghalang.

Masih teringat saat Bapak menutup pintu kamarnya dengan keras dan wajah memerah. Aku meradang saat ia mengutarakan niatnya untuk menikahi Mbak Pur. Entah kenapa pikiran buruk itu langsung memenuhi kepalaku.

Mbak Pur, dulu sering diminta Ibu membantu kami jika ada perhelatan di rumah. Perempuan itu tinggal tak jauh dari rumah kami, suaminya buruh bangunan yang meninggal karena kecelakaan kerja. Terjatuh dari lantai dua sebuah rumah yang sedang dibangun. Saat itu Mbak Pur tengah hamil anak keempat, aku ingat karena Ibu sering memintaku mengantar makanan dan susu. Bahkan Ibulah yang membantu persalinannya karena Ibu seorang bidan.

Setelah dua tahun Ibu meninggal, tiba-tiba saja Bapak ingin menikahi Mbak Pur, janda dengan empat orang anak yang umurnya seperti deret anak tangga. Dan otakku berpikir seperti jalinan cerita sinetron, jangan-jangan Bapak suka Mbak Pur sejak lama, sejak ia masih sering membantu Ibu di rumah. Pikiran yang membuatku bertambah marah, marah karena Bapak ingin menikah lagi juga marah pada diriku karena punya pikiran buruk pada Bapak.

Keinginan yang akhirnya dengan setengah hati kuikhlaskan, saat menyadari Bapak tak perlu pendapatku. Seminggu setelahnya aku hadir di KUA kecamatan, menyaksikan pernikahan Bapak dan mendengar percakapan teman-teman sebayanya yang membuat telingaku serasa digigiti semut merah.

“Nggak nyangka Pak Trisna masih punya keinginan menikah lagi,” suara Pak Pardi.

“Usia enam puluh dengan riwayat asma melawan si Pur usia empat puluhan.”

Suara kekeh para lelaki tua itu bersahutan menimbulkan gatal tapi tak tahu harus bagian mana yang digaruk.

“Wah, selama masih berdiri, mah, tahanlah,” celetuk seseorang.

Suara tawa kembali ramai. Obrolan para lelaki tua yang mungkin saja punya keinginan seperti apa yang dilakukan Bapak tapi tak punya keberanian. Putusku akhirnya, saat kulihat wajah Bapak agak gusar dan Mbak Pur menunduk semakin dalam.

Perempuan yang tampak lebih tua dari umurnya itu terlihat gugup. Ah, baru kusadari penampilannya tak jauh berbeda dengan saat ia keliling menjajakan pecel. Harusnya ini jadi hari istimewanya, sebersit rasa bersalah hinggap. Harusnya aku sedikit memberi perhatian, membelikannya baju yang lebih pantas, sebuah gamis dan kerudung yang membuatnya terlihat lebih rapi, meriasnya agar terlihat berbeda. Bagaimanapun ia akan menjadi ibu sambungku.

Dua hari setelah pernikahan itu, Bapak ke rumah dan memintaku tetap melakukan rutinitas yang kujalani sepeninggal Ibu. Mengantarkan sarapan, makan siang, malam serta mencuci dan menyetrika pakaiannya sementara kebersihan rumah ada asisten rumah tangga yang pulang setiap hari.

“Lho, istri Bapak?”

Aku sengaja menekan kata istri. Bapak menatap jauh, seperti menerawang sesuatu.

“Dia tinggal  di rumahnya.”

“Bapak nggak ajak Mbak Pur tinggal  di rumah kita?”

“Tiga orang anaknya tak mau ikut dan Bapak tak ingin memisahkan anak-anak itu dari ibunya.”

“Kalau gitu Bapaklah yang tinggal di sana.”

Bapak tersenyum dan menatapku dengan lembut.

“Rumah itu tak memiliki  kamar, hanya tiga ruangan berlantai semen, dapur, kamar mandi dan satu ruangan  untuk banyak aktivitas, tempat anak-anak bermain sekaligus tempat mereka tidur.”

Kalau Bapak tinggal terpisah begini untuk apa menikahi Mbak Pur, kutelan lagi kata-kata yang nyaris terucap. Tak tega dan itu senyum pertama  yang kulihat sejak bantingan pintu di depanku.

Tak ada yang berubah dengan kebiasaanku dan Bapak. Sesekali aku berpapasan  dengan Bapak dan Mbak Pur, kadang dengan tangan kosong, kadang dengan kantong belanjaan. Mbak Pur pun tetap berjualan  pecel, menjajakan sayuran dengan kuah kacang tanah dan gorengan keliling kampung.

Hingga tadi pagi Bapak mengembuskan napas terakhirnya. Dan sekarang  usai prosesi pemakaman, aku berdiri  di depan pintu kamarnya. Merasa Bapak tengah melakukan  sesuatu di dalam sana, juga dorongan untuk mengetuk pintu seperti  yang biasa kulakukan  tiap akan memasuki kamar ini .

Sebenarnya masih enggan untuk masuk ke kamar itu tetapi Pak Wardi, ketua ikatan pensiunan di kantor Bapak, sudah mewanti-wanti untuk segera mengurus uang pensiun Bapak yang nanti akan diterima  Mbak Pur, sementara  ia membantu mengurus uang duka buat kami.

Membuka map berwarna cokelat dengan berbagai dokumen di dalamnya aku tercekat. Pada lembaran-lembaran itu, terbaca tentang undang-undang pensiun. Dadaku mulai sesak. Uang pensiun Bapak otomatis  terhenti jika dia meninggal  tetapi tidak ada seorang istri atau anak di bawah usia dua puluh lima tahun. Tiba-tiba mataku basah. Aku paham. Aku anak tunggal, usiaku sudah di atas 25 tahun, aku bekerja  dan telah menikah. Aku menyandarkan  punggung  pada sandaran kursi, membaca berkas-berkas itu sekali lagi dan terbayang setiap tanggal 2 pada bulan-bulan ke depan Mbak Pur, akan datang ke bank. Sendiri atau bersama anak-anaknya mengambil  uang pensiun Bapak. Tangisku kembali pecah karena itukah dua malam lalu, Ibu dan Bapak tersenyum  dalam mimpiku. (*)

 

Eda Suhaedah/Eda Erfauzan, gemar membaca dan hingga kini masih menyukai  dongeng-dongeng klasik dunia. Mulai menulis di buku harian sejak SMP dan masih terus belajar untuk menghasilkan karya yang baik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata