Pernikahan Bukan Sebuah Solusi

Pernikahan Bukan Sebuah Solusi

Pernikahan Bukan Sebuah Solusi

Oleh    : Nining Kurniati

Tahun ini Melati akan lulus sekolah dasar. Semua orang tahu hal itu. Dan mungkin bagi keluarganya mereka tengah bersiap memilihkan daftar SMP mana yang bagus untuk Melati atau hadiah kelulusan apa yang akan diberikan kepadanya. Tapi itu sebelum Melati membuat mereka kelimpungan. Pada neneknya Melati pamit menemui ibu guru untuk mengumpulkan tugas. Namun sampai hari menjelang sore bahkan malam, Melati tak kunjung kembali. Keluarganya pun mendatangi rumah gurunya dan ia berkata Melati tak pernah ke rumahnya. Giliran teman-temannya yang ditanya mereka mengatakan hal yang sama, tidak tahu. Melati hilang. Lalu kabar itu datang, Melati akan kabur bersama pacarnya ke Kalimantan. Siapa pun akan terperangah. Tidak ada yang beranggapan kalau Melati yang mungkin baru berumur 12 atau 13 tahun memiliki ide seperti itu. Katanya, mau hidup mandiri.

Mendengar kata mandiri, saya takjub. Wow. Adek ini sekadar mengucapkannya atau sudah tahu betul apa makna mandiri itu. Tapi untuk hal kedua itu rasanya belum. Kalaupun benar seseorang ingin mandiri, bukankah hal utama yang dipikirkan adalah mampu menghidupi diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Ini kok mandirinya dengan jalan menikah. Saya sedih dan kasihan.

Menikah seharusnya dilakukan ketika dua orang sama-sama dewasa. Dewasa yang saya maksud bukan tentang umur yang cukup untuk menikah atau telah mencapai kematangan kelamin, tetapi dalam hal mengenai pola pikir dan pandangan. Menikah bukanlah hal yang mudah buktinya, ada kok orang yang tetap memilih lajang sampai usia tertentu dan banyak juga yang telah menikah bertahun-tahun lamanya tetapi pada akhirnya kemudian memilih berpisah.

Dalam perkara apa pun kita seharusnya tidak mudah menarik kesimpulan. Yang terlihat kadang bukan itu yang benar. Sebab yang diperlihatkan bukan semuanya, hanya sebagian. Ada banyak hal di dunia ini yang menarik untuk dilakukan, seperti mencoba makanan tertentu, mengungjungi tempat wisata, membaca berbagai jenis buku, punya teman baru, dan masih banyak hal lain tergantung minat masing-masing ketimbang komitmen pernikahan itu di usia yang muda.

Ketika menikah memang bisa berbagi masalah dengan pasangan. Namun di sisi lain, itu artinya akan ada masalah yang seharusnya bukanlah masalah kamu atau paling tidak belum. Hidup akan jadi ribet, ketika sedang menikmati hari tapi mesti direpoti dengan urusan rumah tangga, seperti memastikan makanan tersedia di meja, memastikan pakaian tercuci, dan memastikan rumah yang bersih.  Belum lagi kalau hamil dan punya anak di usia yang sangat muda.

Setiap hal selalu ada porsinya. Memang ada saatnya bisa menikmati dan membahagiakan yang saya tuliskan di atas itu, tapi ketika umur masihlah dijenjang bermain, sering kumpul bareng teman adalah satu dari daftar banyak hal yang menyenangkan, kok hidup dibikin sulit sih. Masih jelas kan di ingatan kapan hari pertama tahu kalau ada darah yang keluar dari selangkangan setiap bulannya. Perut seperti terlilit dan perih.

Namun bagaimanapun hidup akan terus berjalan, ya sudah baju yang sobek bisa ditambal di sana-sini, gunting yang tidak perlu dan perbaharui bentuknya. Pernikahan yang sangat dini itu harus dicari celahnya agar baik dan tidak merugikan kedua pihak dalam hal pendidikan dan masa depan. Misal, dengan buat perjanjian kapan akan menjalani pernikahan seperti pada umumnya. Mulai dari awal lagi merencanakan kehidupan seperti apa yang ingin di jalani. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi baik asal punya niat dan tindaklanjuti yang sudah diniatkan itu.

(*)

2 Maret 2021

Nining Kurniati, penulis pemula.  

Leave a Reply