Pernikahan Berulang

Pernikahan Berulang

Pernikahan Berulang

Oleh : Siti Nuraliah

 

Hari ini aku mendapat kabar, ibuku hendak menikah lagi. Ini bukan yang kedua atau ketiga kali, seperti beberapa perempuan yang sudah tidak cocok dan tidak bisa menyelamatkan pernikahan, pilihan yang tersisa adalah bercerai. Ibuku memutuskan menikah lagi setelahnya. Ini akan menjadi pernikahannya yang kedua puluh. Sungguh fantastis!

Handphone-ku berdering lagi. Sebuah nama tertera di layar. Emak, panggilanku untuknya. Setelah basa-basi mengucap salam dan bertanya kabar seperti yang dilakukan seorang Ibu kepada anak gadisnya di rantau, beliau langsung mengutarakan maksudnya. Sebetulnya, aku bosan. Tapi, bagi anak yang tidak ingin mendapat dosa, ku-iyakan saja kemauannya.

“Ran, Emak mau minta restu kamu, minggu depan Emak mau nikah lagi!”

“Nikah sama siapa lagi, Mak? Emang udah ada yang lamar lagi? Kan Emak baru aja lepas iddah kemarin abis cerai sama yang mandor kelapa sawit itu.”

“Ada … yang ini sopir bus, mudah-mudahan aja yang terakhir!”

“Mak! Menurut Ranti, Emak gak usah nikah lagi, Ranti malu, Mak. Udah tua. Untung kalo langgeng, coba kalo cerai lagi, gimana?”

“Kamu ini, bukannya mendoakan malah ngatain. Dia baik, lo. Sering ngasih jajan adikmu, kalo mampir ke warung Emak.”

Aku menghela napas panjang. Berusaha menahan kata-kata umpatan yang hampir saja meluncur dengan bebas.

“Ran!” suara di ujung telepon menegurku.

“Eh. I … iya, Mak?”

“Gimana? Kamu restuin Emak, kan?”

Aku tidak kuasa menolak. Di seberang sana, suaranya terdengar semringah. Aku tak habis pikir. Diusia yang sudah tidak muda lagi, Emak masih saja seperti ABG yang baru mengenal cinta.
Seharusnya sudah istikamah, tidak bersuami pun tidak masalah. Jika alasannya ingin ada yang menafkahi, aku masih rutin mengirimkan sebagian gajiku untuk keperluan Emak dan adikku yang masih sekolah. Ditambah lagi, sekarang sudah ada warung nasi kecil-kecilan di depan rumah, dan pelanggannya lumayan banyak. Bila alasannya ingin ada yang bertanggung jawab karena rumah yang atapnya sering bocor, beberapa bulan yang lalu tabunganku sudah terkuras untuk merenovasi rumah. Aku ingin marah, tapi tak bisa, apa beliau tak memikirkan anak perempuannya ini? Usiaku hampir mendekati angka 27.

Ada banyak suami Emak yang belum sempat kutahu wajahnya, karena seringnya Emak menikah saat aku tidak bisa pulang. Usia Emak memang sudah hampir 45, tapi wajahnya masih cantik dan segar sehingga terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Mungkin karena itu juga mantan suami Emak beberapa ada yang usianya lebih muda. Asal bukan suami orang, Emak akan mau-mau saja bila ada lelaki yang datang.

Bahkan Emak pernah juga menikah dengan perjaka, sayangnya Emak selalu tidak pernah peduli dengan asal-usul dan pekerjaan calon suaminya. Yang masih menjadi pertanyaan, Emak menikah hanya bisa bertahan beberapa bulan. Setelahnya, entah Emak atau suaminya yang memulai, mereka akan mengambil jalan masing-masing, bercerai.

“Ya sudah, Ranti setuju, kalau Emak sudah cocok. Tapi janji, jangan cerai lagi!”

Telepon ditutup. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan. Semacam ada tali tak kasat mata yang melilit dadaku, sesak sekali rasanya. Aku juga ingin menikah, tapi berkaca pada pernikahan Emak, aku menjadi takut untuk mencoba membuka hati. Di mataku, semua laki-laki menjadi sama, semuanya kunilai buruk.

Bayangkan saja, tiga anaknya lahir dengan Bapak yang berbeda. Masih kuingat jelas, bagaimana repotnya, ketika kakak perempuanku mau menikah, usianya tidak jauh dengan usiaku, dan ia mencari orang untuk menjadi wali nikahnya. Karena kebanyakkan mantan suami Emak, setelah bercerai akan sulit dicari keberadaannya. Sama seperti Bapak, nyaris tidak pernah ada kabar. Terakhir kudengar, kabarnya dia sudah beristri dan punya anak lagi.

Aku memutuskan untuk tidak pulang sejak dua tahun yang lalu. Selama dua tahun itu pula, Emak sudah dua kali menikah, dan ini yang ke tiga kali dalam kurun waktu yang sangat singkat. Selain bosan ditanya kapan menikah, aku juga belum siap menyaksikan jika ada pertengakaran antara Emak dengan suami barunya.

***

Ini sudah bulan keenam sejak pernikahan Emak. Sesekali beliau meneleponku menanyakan kabar. Terakhir, beliau bertanya kapan akan pulang membawa pasangan. Sepertinya Emak mulai sadar, ia tahu apa yang dipikirkan anak perempuannya. Dengan tidak pulang dalam dua tahun ini, beliau paham aku kurang begitu setuju dengan kelakuannya.

Aku tidak tahan mendengar gosip tetangga mengenai pernikahan Emak. Mereka membuat asumsi masing-masing, menuduh Emak terlalu cerewet dan banyak omong, ada juga yang tak berperasaan menyebut Emak dengan mengatakan ‘perempuan yang tak pernah puas di ranjang’.

Terlepas dari pada itu, hubunganku dengan Emak tetap baik-baik saja. Yah! Hanya sekadar baik-baik saja.

Sebenarnya, aku sedang dekat dengan seseorang. Sebagai asisten rumah tangga, aku sering belanja ke pasar untuk membeli kebutuhan pangan. Orang itu adalah pedagang sembako langgananku, ia seorang duda. Kutaksir umurnya kisaran 40 atau lebih, tubuhnya atletis dan garis wajahnya tegas, ditambah dengan kulit sawo matang membuat penampilannya terlihat cukup rupawan.

Kami saling tukar nomor telepon. Tadinya hanya untuk kebutuhan belanja karena ia juga menerima jasa antar barang. Namun, kami menjadi sangat dekat entah bagaimana awalnya, aku tidak begitu ingat. Yang pasti, hatiku terketuk saat laki-laki ini bercerita bagaimana ia bisa berpisah dengan istrinya. Dikhianati karena selingkuh, katanya.

Waktu berputar begitu cepat, hampir mendekati tahun ketiga aku tidak mencium harumnya kampung halaman. Beruntung majikanku sangat baik. Aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, sehingga aku merasa seperti punya keluarga kedua di sini. Hubunganku dengan pemilik toko sembako itu pun semakin serius, aku sudah mantap menerimanya ketika seminggu yang lalu ia dengan sungguh-sungguh menyatakan perasaannya kepadaku. Kutahu namanya, Ardi.

Bukannya aku tidak ingin menikah dengan laki-laki perjaka, namun untuk perempuan dewasa sepertiku, ya, untuk ukuran orang kampung, usiaku tergolong dewasa sudah sulit mencari yang cocok. Kebanyakan sudah beristri, bila pun ada yang masih perjaka, mereka berkarir dan tidak sepadan dengan perempuan berpendidikan rendah sepertiku.

Akhirnya aku memutuskan untuk mengabari Emak sebelum mengajak Bang Ardi pulang kampung. Agar Emak tidak kaget, dan bisa mempersiapkan semuanya. Rencananya kami akan segera mengikatkan tali hubungan dengan ikatan yang halal. Bagiku tak masalah jarak usia kami cukup jauh.

Aku sudah meminta Emak agar mengumpulkan beberapa saudara dekat saja, terutama kakek dan paman. Sehingga ketika kami datang, sudah disambut dengan sambutan hangat kekeluargaan. Aku sudah membayangkan ini akan menjadi momen yang indah.

Aku bersama Bang Ardi sudah di perjalanan pulang. Ia menggenggam tanganku seperti tidak ingin dilepaskan, aku melempar pandangan ke samping kanan, hamparan laut lepas terlihat begitu luas, kemudian mataku terasa berat, aku tertidur.
***
Barang-barang baru saja diturunkan dari bus, Paman sudah menunggu di teras rumah. Aku melepas masker yang menutupi wajah. Rasa haru bisa menghirup kembali udara kampung menyeruak begitu kuat, memunculkan beberapa butir embun dari mataku.

“Akhirnya kamu pulang juga, Ran!” sambut Paman dengan mata yang sudah basah.

Aku menyeret koper, memasuki rumah, Bang Ardi mengekor di belakang, sedikit ragu-ragu. Sepertinya ia gugup, terlihat dari gerakannya yang kaku.

“Duduk, Bang!” pintaku padanya.
Ia menurut.

“Emak mana?” tanyaku kepada paman.

“Di dapur, lagi nyiapin makanan.”

Paman menjawab dengan langsung mengajak Bang Ardi bicara. Aku berjalan menuju dapur.

“Wah, rupanya ini calonnya Ranti.” Kulirik Paman duduk berseberangan dengan Bang Ardi. Yang diajak bicara hanya mengangguk dan menyipitkan mata, sepertinya ia sedang tersenyum.

“Suruh Emakmu ke sini, ada calon mantu, ‘kok masih dianggurin! Paman mau jemput kakekmu dulu,” teriak paman.

Emak sudah muncul di hadapanku sesaat ketika aku memutar badan mendengar teriakan Paman.

“Ranti! Ya Allah, Nak. Alhamdulillah, gimana, sehat, ‘kan?”
Emak memelukku, entah kenapa aku merasakan pelukan Emak kali ini sangat tulus. Tak terasa air mataku menetes.

“Mana calon suamimu?”
Emak langsung menarikku ke ruang tamu.

“Bapak di mana, Mak? Maksudku Bapak baru.”

Emak menghentikan langkahnya. Beliau menghela napas, lalu sekilas melihat ke arahku.
“Sudah cerai lagi,” ucapnya.

Yaa Robbi.

“Ayolah, mana calon suamimu?”

“Itu ….”
Aku menunjuk ke arah Bang Ardi yang duduk membelakangi Emak.

“Aduh, maaf, ya. Calon mantu Emak dianggurin.”

Bang Ardi berdiri menyambut Emak, adikku mengintip malu-malu di pintu kamar. Kusuruh Bang Ardi melepas maskernya dengan isyarat mata. Berbarengan dengan terlepasnya masker di wajah Bang Ardi, Emak mundur dua langkah.

“Kau … Ardi?”

Air muka Bang Ardi berubah. Ia tampak gugup.

“Emak kenal?” tanyaku kaget.
Aku menatap wajah Bang Ardi dan Emak bergantian.

“Susi, jadi Ranti ini anak kamu?” Bang Ardi menatap Emak meminta jawaban.

Aku paham maksud pertanyaan Bang Ardi. Jantungku terasa dihantam ratusan bogem, nyeri sekaligus sesak.

Emak memutar badan, menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kubaca.

“Ran, dia ini mantan suami Emak yang dulu pernah Emak ceritakan cuma seminggu itu.”

Saking sesaknya napasku, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku mematung.

“Maafin Emak, Ran ….”
Emak menangis tersedu-sedu. Tubuhku membeku. Kulihat paman dan kakek tergesa-gesa memasuki rumah lewat pintu belakang.

Kulirik Bang Ardi juga tertunduk lesu, tubuhnya gemetar. Tiba-tiba kepalaku sakit sekali. Aku terhuyung ke belakang, lalu semuanya gelap.


Banjarsari, 16 Mei 2020.


Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis, kadang suka membaca. Penulis amatir yang berusaha selalu memperbaiki tulisannya.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Sumber gambar: Pinterest.com

Leave a Reply