Pernikahan
Oleh : Diah
Lelaki dengan setelan rok pendek, baju ketat, dan bibir merah itu melenggok pelan, melangkah mundur. Kedua tangannya bergerak gemulai melayang ke atas, lalu jari-jemarinya saling menumbuk.
“Cantiknya, Sista! Alis buatan eike memang selalu cetar!” Dia berseru senang.
Aku menahan diri agar tidak tersenyum. Membayangkan beberapa menit nanti wajahku akan dipenuhi makeup tebal yang elegan. Kulitku akan dilapisi foundation tebal, ditambah conciler, ditambah lagi blush on, glitter, lalu mataku akan dibuat begitu indah dengan bulu mata tebal dan soft lens, diberi eyeshadow, hidungku akan dibuat terlihat mancung, bibirku akan diubah bentuknya menjadi lebih tipis dan kecil.
Namun, aku tidak bisa berbahagia. Tepatnya, keadaan menahanku agar tetap murung walaupun aku ingin bahagia. Aku harus mengikuti Ayah dan Ibu yang sekarang sedang berwajah duka. Murung, mendung, gelisah. Tidak pantas mengucapkan selamat pada mereka berdua. Tidak boleh juga merangkul penuh haru karena anak semata wayangnya kini akan menikah.
Hiruk pikuk di dapur tidak mendapat perhatian mereka sedikit pun. Para tetangga yang rewang, mempersiapkan acara pernikahan dibiarkan berjalan sendiri. Bunga-bunga yang disusun di ruang tamu hingga memenuhi halaman depan tak menghadirkan keceriaan sama sekali. Sudah banyak yang membujuk, berusaha membuat mereka mengerti, tetapi tak mengubah apa pun.
Helmi, calon menantu pilihan mereka penyebabnya. Lelaki itu tak terima dijodohkan dengan aku dan memilih bunuh diri satu minggu sebelum acara pernikahan. Satu minggu lalu tubuhnya ditemukan tak bernyawa di kamarnya sendiri. Sayatan di pergelangan tangan dan leher menjadi bukti bahwa lelaki itu telah menghabisi diri. Semua setuju dan mengira bahwa dia bunuh diri karena tidak mau menikahiku.
Aku sibuk sekali memaki dia di dalam hati setelah mendengar beritanya. Ayah dan Ibu merasa terpukul, menangis seolah-olah ditinggal anak yang sangat mereka kasihi. Padahal mereka juga tidak menyukai Helmi. Dia pemalas yang tidak pernah bekerja dengan benar setelah lulus SMA. Diminta kuliah pun otaknya tidak mampu berpikir lebih jauh lagi soal pelajaran. Namun Ayah terpaksa melakukan perjodohan ini demi memenuhi utang janjinya pada ayah Helmi. Janji yang mereka buat selagi sama-sama jadi pendatang baru di desa ini. Sebelum aku dan Helmi lahir dulu.
Kami teman sekolah dari TK hingga lulus SMA, tidak pernah duduk di kelas yang sama. Aku dikenal sebagai perempuan rajin, pintar, dan penurut, sementara Helmi bodoh dan pemalas. Alasan satu-satunya dia tidak kabur saat dijodohkan adalah karena dia tidak punya uang dan pekerjaan. Dia takut hidup di luar sana. Lebih baik hidup denganku sementara waktu, lalu kami bercerai beberapa waktu kemudian, daripada hidup di luar tanpa uang dan pekerjaan. Tapi kebodohan mungkin sudah merasuk hingga tulang sumsumnya dan membawa Helmi pada bunuh diri. Atau mungkin Helmi menyukai seorang gadis lain dan merasa tidak mampu hidup tanpa gadis lain itu.
Aku tidak mau sibuk menerka-nerka. Aku segera menuliskan pesan pada seorang melalui ponsel, lalu mengirimnya.
Helmi bunuh diri, datanglah ke rumah dan gantikan dia.
Balasan muncul sangat cepat berupa satu kalimat persetujuan yang kudiamkan tanpa balasan. Tak berselang lama muncul satu pesan lagi.
Kita tunda dulu saja. Besok setelah Helmi dimakamkan, aku datang ke rumahmu.
Iya. Aku membalasnya.
Aku segera menyembunyikan ponsel dan bergabung dengan Ayah dan Ibu, ikut bersedih. Aku pancing diriku agar mengeluarkan air mata. Kubayangkan bahwa ini adalah Meka, kekasihku. Kubayangkan Meka yang mati sebelum hari pernikahan kami.
Keesokan harinya setelah Helmi dimakamkan, ketika Ayah dan Ibu baru saja duduk, Meka mengetuk pintu rumah kami, mengucapkan salam. Dia menggunakan celana bahan hitam, baju koko hitam, dan peci hitam, sisa pakaian dari makan Helmi. Ayah dan Ibu mempersilakannya masuk dan Meka duduk di kursi depan mereka. Suara Meka pelan dan ragu sekali, ketika mengatakan ingin menggantikan Helmi untuk menikahiku, suaranya berubah bergetar. Aku menguping pembicaraan dari kamar, menempelkan telinga ke tembok agar tidak kecolongan sedikit pun pembicaraan mereka.
Awalnya Ayah dan Ibu menolak Meka, tetapi tak butuh usaha keras sampai Meka berhasil membuat mereka menerima tawarannya. Meka bukan lelaki yang pandai bicara, tetapi keadaan membuat Ayah dan Ibu mudah terpojok. Calon pengantin laki-laki meninggal seminggu sebelum pernikahan dilaksanakan membuat mereka tidak menemukan solusi lain selain menerima lamaran Meka. Hatiku berdendang senang, tetapi wajahku harus pura-pura bersedih. Tidak ada yang tahu bahwa aku telah merajut kasih dengan Meka sejak setahun terakhir, saat aku kembali ke desa setelah menyelasikan kuliah di kota. Dia lelaki yang cocok denganku, pekerja keras dan pintar. Setiap harinya berangkat ke kebun sayuran, siangnya menjual sayuran hingga sore, malamnya diam di rumah.
Dia begitu menarik perhatianku. Kenapa ada lelaki di desa ini yang hanya bekerja dan diam di rumah? Aku yang lebih dulu menyapanya berpura-pura ingin melakukan penelitian pada sayur yang dia tanam. Aku semakin memuja Meka saat mengikutinya ke kebun, menyaksikan tangannya yang telaten dan matanya yang awas pada hama tanaman. Selanjutnya kami sering bertukar pesan hingga Meka mengatakan ingin menikahiku. Namun hari itu aku sudah tahu bahwa jodohku adalah Helmi.
“Kamu mencintai Helmi?”
“Aku mencintai orang lain.”
“Bukan Helmi?”
Aku menggeleng yakin, menatap wajahnya yang berkeringat. Di gubuk yang ada di tengah ladangnya ini kami sering menghabiskan waktu.
“Siapa yang kamu cintai? Teman kampusmu? Kenalanmu di kota?”
Pipiku memerah mendengar pertanyaannya. Aku menunduk, memainkan jemari di atas paha, lalu menggeleng lagi.
“Aku orangnya?”
Tiada yang bisa menggambarkan bagaimana jatuh cintaku padanya. Aku tak mampu menjawab ataupun menatapnya, hanya mengangguk dan terus menatap buah-buah tomat di hadapan kami.
“Aku akan menikahimu.”
“Aku akan menikah dengan Helmi.”
“Bercerailah nanti. Lalu kita menikah.”
Aku tak keberatan saat menyetujui. Aku resmi membuat kesepakatan dengan Meka bahwa setelah ini kami adalah sepasang kekasih. Helmi membuat jalan kami menjadi jauh lebih mudah. Tanpa perlu bercerai, aku akan menikah dengan Meka.
Jeritan dari halaman rumah membuatku kebingungan. Bulu mata baru saja dipasangkan oleh lelaki berpakaian rok itu. Dia sampai ikut memekik kaget, menarik bulu matanya yang sudah hampir menempel di kelompak mataku.
Namaku disebut-sebut di luar, Ayah dan Ibu sudah lebih dulu keluar. Aku segera menyusul dengan tergesa-gesa. Di depan rangkaian bunga dekat meja pelaksanaan ijab, para tetangga yang rewang berkerumun. Aku diberi jalan hingga berdiri di samping lelaki yang tengah terkapar. Seorang teman Meka yang katanya akan menemani Meka datang ke rumahku pagi ini. Napasnya berkejaran, keringatnya tak bisa dihentikan.
“Meka dibunuh. Bapak Helmi sudah bunuh Meka. Bapak Helmi yang ingin menikahimu.” (*)
Lampung, 25 Oktober 2020
Diah, seorang perempuan penikmat rasa.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata