Permohonan untuk Ibu
Oleh : Ning Kurniati
Aling menenggak habis air yang kusediakan. “Sepertinya sudah seminggu kamu tidak minum.”
“Mungkin.”
“Kalau makan, sudah berapa lama kamu tidak makan?”
“Jangan konyol, deh. Sudah!”
“Aku mau cerita.”
“Aku sudah tahu. Kalau kamu datang pasti mau cerita.”
“Ok, tapi ini berbeda dari yang lain. Sangat penting, sangat gawat.”
“Kamu selalu bilang begitu, sangat penting.”
“Tapi tidak sangat gawat.”
“Ya, sudah, bilang saja.”
“Aku takut.”
Begitu selesai mengutarakan tujuannnya, Aling segera menuruni tangga kemudian memakai sandal jepitnya. Seharusnya, seperti biasanya, aku akan mengatakan untuk berhati-hati di jalan dan banyaklah mengingat Allah. Namun tidak sekarang, untuk mengeluarkan satu kata pun, aku tidak bisa.
Pernyataannya barusan sangat berbeda dari selama ini. Sejenak kupikir, itu sekadar bualannnya saja. Akan tetapi, mengingat bagaimana keseriusannya bicara, dia pasti tidak main-main. Apalagi ini terkait orang tua kami masing-masing.
Memang, sudah dari jauh hari aku mendengar kalau ibuku dan ayahnya punya hubungan. Sudah ada kerabatku yang mengatakan itu, tetapi untuk memercayainya sulit sekali. Tidak ada perubahan apa pun pada Ibu. Dia masih sama ketika Ayah masih hidup.
***
Sudah lima hari berlalu dan aku masih belum tahu harus bagaimana. Hubunganku dengan Ibu berjalan seperti biasa. Sekecil pun tidak ada perubahan yang kulakukan.
Tentu Aling menunggu tindakan dariku, bagaimanapun perempuan selingkuhan ayahnya adalah ibuku. Namun, memikirkan aku membicarakan tentang hubungan perselingkuhan itu ke Ibu, aku tidak tahu mesti memulai dari mana.
Tindakan yang salah, yang tidak bermoral, siapa pun bisa melakukannya. Tidak terkecuali Ibu.
Sore hari aku menuruni perbukitan menuju rumah Aling yang ada di pusat Desa. Tempat orang-orang bisa merasakan bagusnya berjalan tanpa kesandung. Dan tempat kayu hanya digunakan untuk menyangga atap rumah, sedangkan badan rumahnya tersusun dari batu bata. Rumah Aling tanpak mewah ketimbang rumahku yang sebagian dindingnya terdiri dari bambu yang disusun sedemikian rupa.
Aku mendekat ke rumah itu. Tampak ibunya Aling sedang membereskan tanaman hiasnya. Ketika dia melihatku, senyumnya seketika terbit dan begitu saja aku merasa bersalah atas apa yang dilakukan oleh ibuku. Perempuan cantik ini, mana mungkin bisa dikalahkan oleh ibuku yang menggunakan gincu pun jarang sekali.
“Aling, ada Linda.”
Aku dipersilakan duduk di teras, di bangku batu yang lagi-lagi tidak ada di rumahku. Setelah menunggu beberapa lamanya, Aling keluar tampak baru bangun tidur. Sejenak ketika dia memandangku, dia tercenung seolah memikirkan untuk apa aku datang.
“Ei,” aku menyapanya duluan.
Dia tersenyum, ekspresinya sudah tampak biasa, atau mungkin memang dibuat begitu, meski sekarang aku yakin, dia tahu pasti kedatanganku ada hubungannya dengan apa yang dibicarakannya beberapa hari yang lalu.
“Sebentar, ya.” Dia kembali masuk dan keluar lagi dengan sestoples kue kering dan enam gelas air minum bermerek Aqua. Dan itu membuatku miris dengan keadaanku ketika Aling yang datang bertamu. Aku cuma menyediakan air dalam gelas kaca putih, yang untuk meminummnya kadang harus menunggu, supaya airnya menjadi bening.
“Jadi?”
“Aku … belum bicara dengan ibuku,” kataku dengan suara rendah, sebab takut kedengaran oleh ibunya Aling.
“Kenapa?”
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Aku tidak tega.”
“Tidak tega apanya? Maksudmu bagaimana?”
“Aku tahu ibuku salah, tapi ….”
“Apa?”
“Kamu tahu kami orang yang … miskin. Mungkin … ibu butuh uang un—“
“Asu! Kamu dan ibumu sama-sama tidak ….”
Aling tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia segera ke dalam rumah. Ketika aku berbalik, tampak ibunya melihatiku. Oh, apa dari tadi dia sudah menonton kami? Lantaran malu, aku menunduk dan meninggalkan rumah itu tanpa pamit.
Aku terus menunduk, mempercepat langkah supaya tidak dapat maghrib di jalan. Bukan karena banyak tanjakan ketimbang jalan yang landai, tetapi karena takut, sendiri berjalan di antara liana.
“Linda,” sebuah suara memanggilku dan karena mengenali suara itu, aku jadi takut untuk berbalik.
“Linda!”
“Ya, Tante.” Aku berbalik dan aku menyesal. Dia … ibunya Aling, berdiri ngos-ngosan tidak jauh berbeda denganku.
“Sebentar,” ucapnya dengan mengansurkan tangan tanda untuk menunggu.
Menunggunya bicara, di kepalaku berkecamuk banyak pikiran. Yang paling kutakutkan adalah dia mendengar pembicaraanku tadi dengan anaknya. Kuharap dia mengerti.
“Tante yang menyuruh Aling ke rumahmu delapan hari yang lalu.” Aku tercekat.
“Ke-na-pa?”
“Sudah lama aku tahu … dan karena suamiku tidak juga meninggalkan ibumu, aku mau ibumu yang meninggalkan suamiku. Kamu anaknya, perempuan pula, pasti ibumu mau mendegarmu, kalau kamu memintanya untuk mundur. Itu salaaah!”
“Aku tidak bisa … tidak bisa, Tante. Kalau Tante mau ibuku mundur, kenapa bukan Tante yang memintanya sendiri?”
“Sudah. Aku pernah menemuinya.”
“Tante,” kataku sambil berlutut di hadapannya, “Ma-af-kan ibuku! Siapa pun di dunia ini pasti tahu hubungan mereka salah. Mereka juga tahu itu, tetapi mereka juga tidak berpisah ‘kan, meski Tante dan kita semua menginginkannya. Jadi … sebagai anak dari ibuku, aku … aku meminta Tante membiarkan hubungan mereka. Menikah sirih pun tidak apa.”
“Sinting!”
Ketika hendak berdiri, kulihat ada Aling berjalan menghampiri kami. Dia menatapku tajam seolah temannya ini sesuatu yang paling menjijikkan.
“Itu sekadar saran dariku. Penyelesaian yang baik, paling tidak, Tante, tidak ada lagi dosa,” kataku sembari berdiri untuk pergi.
(*)
9 Agustus 2020
Ning Kurniati, penulis pemula.