Tantangan Loker Kata 21
Naskah Terbaik ke-10
Permintaan di Mawar 13
Oleh : Rosna Deli
Lorong menuju bangsal rumah sakit itu terasa begitu panjang dan jauh. Begitu hening dan menguarkan aroma alkohol yang begitu menyengat. Daniel berjalan perlahan mencoba menenangkan hatinya yang tak karuan. Anak muda itu baru saja mendapat kabar, bahwa Doni teman satu kosannya ketika kuliah dulu kini tengah dirawat di sini.
Setelah beberapa kali bertanya kepada petugas, akhirnya Daniel berada di depan kamar Mawar nomor 13 sesuai isi dari pesan yang dia terima. Daniel mencoba melihat sesuatu dari jendela kecil buram yang berada di daun pintu. Apakah memang benar Doni berada di sini? Lalu mengapa harus dia yang mesti menjenguk teman lamanya itu?
Daniel menarik napas panjang seketika kenangan akan kebersamaannya bersama Doni terlintas.
Doni yang ceria dan senang membantu teman. Walau sebenarnya Daniel tahu, Doni sering melamun setelah beberapa temannya dikunjungi keluarga mereka. Doni akan mengurung di kamar lalu keluar ketika semua keriuhan di ruang tamu berhenti.
“Ini ada makanan dari ibuku,” tawar teman yang lain jika baru saja dikunjungi.
“Ayo dimakan, Don.”
Doni hanya mengangguk lalu pura-pura melakukan aktivitas yang lain. Daniel memperhatikan itu dan pernah beberapa kali bertanya, mengapa Doni tampak tak mau bergabung jika ada keluarga teman yang datang?
“Ah, aku bukan siapa-siapa, Niel.”
Namun, itu tak lama. Setelah itu, biasanya Doni akan kembali ceria seolah tidak terjadi apa-apa.
Dan, setelah mereka wisuda, Donilah satu-satunya teman kosannya yang langsung diterima bekerja di perkantoran pajak sesuai keinginannya. Namun sayang, Daniel hilang kontak dengan Doni. Dan tiba-tiba kemarin sore sebuah pesan mengatakan bahwa Doni telah dirawat di rumah sakit dan mengharapkan kedatangannya.
“Cari siapa, Pak?”
Daniel seketika membalikkan badan dan melihat seorang perawat tengah berada di dekatnya hendak membuka pintu.
“Ah, itu …. Apakah pasien Doni berada di kamar ini?” tanya Daniel.
“Ooo … Pak Doni. Ada, Pak.” Perawat itu menjawab lalu membukakan pintu kamar.
Daniel mengekorinya sambil matanya tak lepas memandang ke sekeliling ruangan.
“Bapak adalah orang pertama yang menjenguk Pak Doni. Itu kasurnya. Saya mau memeriksa pasien di sebelahnya dulu, ya,” ucap perawat perempuan itu lalu menuju kasur yang lain.
Daniel terhenti. Matanya masih memandangi seorang pasien yang terbaring lemah di sudut kamar. Apakah benar itu Doni?
Daniel kembali berjalan perlahan lalu berdiri tepat di sisi kiri ranjang. Pasien itu sadar lalu menoleh ke arah Daniel.
“Kau datang, Daniel?” ucap Doni dengan suara perlahan.
Daniel mengangguk lalu duduk di kursi di sebelah ranjang.
“Terima kasih, ya. Dari sekian banyak nomor kontak di ponselku, hanya kau yang langsung menjawab pesanku. Bahkan keluargaku saja tak ada yang peduli.” Doni menghela napas seolah beban pikirannya begitu berat.
Setelah meminta izin kepada perawat, Daniel membawa Doni untuk berkeliling di lingkungan rumah sakit dengan kursi roda. Sambil mendorong kursi roda itu, Doni bercerita tentang hari-harinya dan masa lalunya. Bahwa sebenarnya belakangan ini dia merasa lelah dengan beban pikirannya sendiri. Sehingga beberapa waktu yang lalu dia terjatuh sendiri dari sepeda motor lalu dibawa ke rumah sakit. Daniel mendengar tanpa menyanggah sama sekali.
Tak lama setelah mereka berdua berhenti di bawah pohon ketapang untuk beristirahat sejenak, Doni berujar kepada Daniel, “Maukah kau menolongku untuk memperbaiki hidupku yang malang?”
***
Daniel membersihkan matanya yang seolah lengket oleh tahi mata. Dia memandang sekeliling dan membelalakkan.
“Aku ada di mana?” ucapnya dalam hati.
Beberapa pedagang kaki lima berseru kencang tepat di depannya, menawarkan kopi panas, mi gelas seduh, aneka mainan anak, kuaci, sambil berusaha menerobos lorong sempit kereta. Daniel berulang kali menggeser pahanya yang acapkali tersenggol ketika para pedagang itu berjalan.
Suara dengkuran seorang laki-laki tambun terdengar begitu keras. Ia bahkan mengalahkan tawaran-tawaran para pedagang itu. Daniel melirik ke sebelah lalu berteriak ketika seorang pedagang kopi panas tak sengaja menumpahkan air hitam itu ke pahanya.
“Maaf, Mas … Bapak sungguh tak sengaja,” ucapnya berulang kali sambil mengelap paha Deniel dengan serbet.
“Makanya hati-hati,” seru laki-laki tambun yang mengorok tadi, lalu menarik napas panjang.
Daniel mengucapkan “tidak mengapa” lalu mencoba bersikap biasa.
“Kalau aku jadi kau, sudah kuminta ganti rugi,” ucap laki-laki tambun itu lagi setelah pedagang itu berlalu.
Daniel hanya diam lalu kembali tersadar bahwa dia tidak seharusnya berada di sini.
“Kita mau ke mana ini, Pak?” tanya Daniel.
Laki-laki tambun itu membelalakkan mata dan menjawab, “Kau tidak tahu kau mau ke mana? Lalu mengapa kau naik kereta jurusan Jogja ini?”
“Yogyakarta? Aku mau ke Jogja? Ada apa?” Pertanyaan itu menggaung-gaung di kepalanya. Namun, dia belum tahu apa jawabannya.
Kereta malam jurusan Jogja terus melaju perlahan. Daniel masih berusaha menenangkan diri dan mencari tahu apa sebenarnya yang tengah terjadi padanya. Laki-laki tambun tadi kembali mengorok kencang dan membuat Daniel tak bisa tidur. Lorong kereta itu telah sepi, tak ada lagi para pedagang.
Daniel menoleh ke kiri dan melihat seorang anak laki-laki memandang lekat ke arah jendela. Sementara di sebelahnya, seorang bapak tertidur pulas.
Daniel memanggil anak laki-laki itu, tapi sepertinya dia tak mendengar. Tak lama kemudian, Daniel mencondongkan badan lalu menyentuh bahu anak itu.
“Eh, ada apa, Mas?” tanyanya pelan.
Daniel tersenyum lalu memulai pembicaraannya.
“Nama saya Doni, Mas,” jawab anak itu setengah berbisik kepada Daniel.
Daniel tersentak. Seketika ingatannya melompat-lompat, dan berpikir, apakah ini permintaan Doni yang disanggupinya?
**
“Makanya kalau dibilang orangtua didengar. Sudah Bapak bilang, jangan ke sana. Dasar anak nakal.” Bapak Doni berseru tepat ketika Doni baru saja duduk kembali ke bangku kereta.
“Kakimu terluka, kan? Jangan berlari-lari di lorong kereta ini. Pantesan saja ibumu tak betah menjagamu, kalau kelakuanmu seperti ini.”
Doni tertunduk. Sambil mengusap lututnya, dia tak kuasa menahan tangis. Saat Daniel melihat ke arahnya, air mata Doni menetes dan Doni berusaha menghapusnya dengan menggunakan ujung bajunya.
Daniel terdiam, tetapi umpatan bapak Doni tak berhenti. Doni kembali terisak, lalu sebuah pukulan mendarat di bahunya.
“Jangan jadi laki-laki cengeng.”
Daniel berdiri, tak kuasa untuk mendengar umpatan bapak Doni. Namun, laki-laki tambun di sebelahnya menarik lengan Daniel.
“Tak usah urus urusan orang lain, Mas.”
Kereta terus melaju, Daniel berusaha mencuri pandang kepada Doni yang kini tertidur. Tak lama, bapak Doni berdiri dan meninggalkan tempat duduknya. Setelah bapak Doni benar-benar menjauh, Doni membuka matanya lalu menarik napas panjang.
“Kamu takut, ya?” tanya Daniel kembali.
Doni hanya memandang Daniel sekilas lalu kembali menyandarkan punggungnya lebih dalam ke kursi.
***
Satu per satu para penumpang turun dari kereta setelah sampai di stasiun. Daniel menunggu Doni dan bapaknya keluar lalu mengekorinya. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki masa lalu Doni. Dia benar-benar tak ada ide.
Saat melihat perilaku bapak Doni, Daniel teringat akan ayahnya yang juga kerap melakukan hal sama padanya. Dia sering menjadi sasaran kemarahan ayahnya jika tak sesuai keinginan. Namun, entah beruntung atau memang sudah takdirnya, ayah Daniel tak berumur panjang. Sehingga Daniel tak perlu mendapat perlakuan buruk setiap hari, meski setelah itu Daniel kecil harus tinggal bersama neneknya.
“Cepat! Kalau tidak, benar-benar Bapak tinggal kau di sini. Biar tahu bagaimana susahnya nyari uang buat kamu hidup,” bentak bapak Doni kembali.
Doni terdiam. Lalu dengan langkah berat, sambil membawa dua tas besar, dia berusaha menyamakan langkah bapaknya.
“Kau tunggu di sini, Bapak mau ke sana sebentar. Jangan ke mana-mana, paham?” seru bapak Doni, lalu meninggalkan Doni sendirian di depan sebuah warung.
Melihat itu, Daniel segera mendekati Doni yang kini tengah duduk sendirian di bangku depan warung.
“Ke mana bapakmu?” tanya Daniel sambil memberikan sebuah botol minuman.
Doni melirik sebentar lalu kembali menekuri lantai warung.
“Ambil saja, kalau Doni mau jajan biar Mas belikan.”
“Mas akan menjadi teman Doni ketika besar nanti,” ucap Daniel sambil terus memandang Doni.
Doni memandang tak percaya, lalu perlahan mendekatkan botol minuman itu ke arahnya.
“Iya, kita nanti akan jadi teman. Kamu akan menjadi orang sukses nanti,” ucap Daniel lalu kembali menyuguhkan aneka jajanan kepada Doni.
“Kamu akan bekerja di kantor pajak sesuai minat dan kemampuan, banyak teman dan jadi bos pula.” Daniel terus bercerita tentang kejayaan yang akan diraih Doni nanti.
Doni kecil hanya memandang Daniel dengan mulut setengah terbuka.
“Jadi kamu jangan sedih ya,” ucap Daniel sambil mengusap-usap kepala Doni.
Doni menarik napas panjang lalu menghabiskan minuman botol yang diberikan Daniel kepadanya lalu berkata, “Kalau besok aku memang akan menjadi orang berhasil seperti yang Mas katakan, berarti aku sekarang enggak boleh menyerah.”
Daniel tersenyum lalu menganggukkan kepala.
“Kamu juga enggak boleh benci dengan bapak kamu, mungkin dia hanya ingin kamu lebih kuat biar bisa jadi orang sukses.”
Doni memandang Daniel lebih lama, lalu memasukkan semua jajanan yang dibelikan Daniel ke dalam saku celana dan bajunya. Kemudian Doni berdiri, mengangkat kedua tasnya dengan pasti lalu memanggil bapaknya dengan keras.
Tak lama, bapak Doni datang dengan dua buah kantong plastik di tangannya lalu kembali berseru, “Sudah Bapak bilang jangan berteriak, bikin malu saja. Ayo jalan lagi!”
Doni mengikuti langkah bapaknya lalu menoleh ke belakang, melihat Daniel yang masih duduk di depan warung. Daniel melambaikan tangan, sementara Doni membalasnya dengan senyum.[*]
Dumai, 5 Agustus 2025
Rosna Deli adalah seorang perempuan penyuka keramaian.