Permainan Takdir
Oleh: Jemynarsyh
Bulan menggantung di langit, bintang bekerlip indah menghias malam. Dari jendela, Melan menatap jalanan yang lengang. Sudah beberapa malam ini rumah sepi. Kedua orangtuanya sedang ke kota menghadiri acara pernikahan saudara.
Melan memang sengaja alpa dari acara keluarga itu. Ia muak dengan pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun. Ikut berkumpul bersama mereka, hanya akan menambah luka di hati. Apalagi kini usianya menginjak tiga puluh tahun. Besar kemungkinan, ia akan mendapat nasihat lebih panjang dari saudara-saudara ibunya itu.
Gadis itu menghela napas, berharap sesak di dadanya berkurang. Membicarakan pernikahan membuatnya teringat pada mantan kekasihnya, Nolan, yang dulu pernah datang meminta restu pada kedua orangtuanya. Namun, sang ibu dengan tegas menolak niat baik itu. Hanya karena pekerjaan Nolan yang karyawan biasa.
Sejak itu, Melan belum juga mendapatkan pengganti. Jangan katakan Melan belum move on. Ia sudah melupakannya. Meski tertatih, ia kubur dalam-dalam kenangan bersama sang pujaan. Melan kembali membuka hati. Hanya saja, tiap kali ada yang meminangnya hanya jawaban ‘tidak’ yang keluar dari bibir mungil itu.
***
Alunan musik mengalun merdu, para tamu undangan hilir mudik mengambil makan dan minum. Kemudian mereka duduk manis menyantap makanan sambil sesekali berbincang.
“Bu Rena,” sapa Pak Londa yang mengenali sosok wanita di depannya itu.
Bu Rena, ibu Melan, tersenyum menanggapi Pak Londa. Tak berselang lama Pak Londa berpindah tempat ke samping Bu Rena.
“Bu, apakah Melan sudah ada calon?” tanya Pak Londa sembari menatap kedua pasangan paruh baya itu—Bu Rena dan suami.
Bu Rena menggeleng. Wajah Pak Londa kian berbinar mengetahui itu. “Begini Bu, saya sedang mencari ‘madu’ untuk istri saya. Jika Ibu tidak keberatan, saya minta izin untuk mengenal Melan lebih dekat lagi.” Pak Londa mengutarakan niatnya.
“Saya bicarakan dulu dengan Melan, ya,” jawab Bu Rena dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Tiga hari sejak pembicaraannya dengan Pak Londa, Bu Rena mulai berupaya menjodohkan anaknya dengan lelaki itu. Ia menganggap Pak Londa cocok untuk mendampingi Melan. Senyum puas terukir dari bibir tebal yang merah merona itu kala membayangkan usahanya akan berhasil.
“Ibu yakin si Melan akan mau?” tanya Pak Pandu, ayah Melan. Ia meragukan usaha Rena.
“Yakin, percaya sama Ibu,” jawab Bu Rena jemawa seraya mengambil secangkir kopi dan menyesapnya.
Sebenarnya, Pak Pandu tidak begitu yakin akan usaha istrinya. Firasatnya sebagai suami mengatakan semua tidak baik-baik saja. Ia tahu betul watak istrinya yang keras kepala itu, sulit menerima penolakan.
“Bu, jangan terlalu memaksa Melan,” titah Pak Pandu, yang hanya dianggap angin lalu oleh Bu Rena.
Melan yang mencuri dengar pembicaraan kedua orangtuanya dari balik pintu kamar, tak kuasa menahan buliran air mata. Ia lelah harus terus patuh terhadap perintah sang ibu, Melan ingin bebas dari tuntutan orang tuanya.
“Melan! Sini kamu,” panggil Bu Rena.
Melan tersentak mendengarnya. Segera ia usap kedua pipinya dan bergegas menghampiri Bu Rena, duduk tepat di hadapan wanita paruh baya itu. Kedua tangannya saling berkait dengan erat. Seakan sedang menyatukan kekuatan.
“Kamu tahu, ‘kan, Pak Londa juragan walet di kampung ini?” tanya Bu Rena yang hanya diangguki oleh Melan.
“Dia sedang mencari istri kedua. Dan kemarin, di acara pernikahan Pak Deli, dia minta izin untuk bisa mengenal kamu lebih dekat lagi,” jelas Bu Rena dengan menatap Melan penuh harap.
“Enggak! Melan enggak mau menikah dengan Pak Londa,” jawab Melan sambil memandang lekat wanita yang telah melahirkannya itu.
Bu Rena menghela napas kasar. Ia menatap sendu anak sulungnya itu. Entah kenapa, sejak keputusannya beberapa tahun lalu, Melan sulit menerima pinangan dari lelaki lain.
Pak Pandu—yang sedari tadi hanya menjadi penonton—beranjak dari kursi, meninggalkan dua wanita beda usia itu. Pertentangan antar dua wanita yang sama-sama mempunyai tempat berharga di hatinya.
“Ibu, aku tahu usiaku tak lagi muda. Aku mengerti perasaan Ibu yang khawatir karena malu atau … entahlah. Maaf, Bu, aku tak bisa menerimanya,” jelas Melan. Ia pun segera pergi meninggalkan ibunya. Melan tak mengerti, kenapa ibunya tega menjodohkannya dengan lelaki tua itu. Menjadi istri muda, membayangkannya saja sudah membuat Melan bergidik ngeri.
***
Bu Rena dan Melan saling diam. Sudah lama mereka tak berbincang seperti dulu. Bu Rena tak lagi menjodohkan Melan. Ia menyerah, sebab semakin ia membujuk Melan hanya akan mencipta jarak di antara ibu dan anak itu.
Bu Rena sedang duduk di teras menatap kosong pada kupu-kupu yang hinggap di bunga lili. Usapan lembut di pundak, membuatnya mendongak. Pak Pandu berdiri di sampingnya. Seulas senyum terukir di wajahnya yang mulai keriput. “Jangan terlalu dipikirkan, nanti sakit,” nasihat Pak Pandu seraya duduk di samping istrinya dan menatap jalanan yang lengang.
“Dia sudah kembali lagi,” ujar Pak Pandu, memecah keheningan.
“Nolan?”
“Menurut Ibu, siapa lagi?”
Bu Rena tersenyum getir mengetahui dugaannya benar.
“Dari cerita orangtuanya, satu tahun yang lalu istrinya meninggal karena pendarahan pasca melahirkan. Andai ia meminta restu untuk Melan, Ibu jangan lagi mempersulitnya.”
“Kenapa Bapak seyakin itu dia akan meminta restu? Bapak ada bertemu dengannya?”
Pak Pandu mengangguk, lantas menoleh pada Bu Rena. Dengan mengulas senyum ia berkata, “Hanya firasat seorang ayah. Jangan halangi jalan mereka lagi, Bu,” perintah Pandu kepada sang istri.
Bu Rena mengangguk, ia meraih lengan suaminya dan digenggamnya erat. “Ibu, keterlaluan, ya, Pak? Selama ini ibu egois sekali,” gumam Bu Rena seraya mempererat genggaman tangannya.
Pak Pandu hanya berdeham. “Malam ini ia akan berkunjung, Bu,” ujarnya.
Bu Rena segera melepas genggaman tangannya. Ia menatap lekat sang suami. “Bapak, sudah beritahu Melan?” tanyanya.
Pak Pandu menggeleng dan berkata, “Biar Melan tahu sendiri.”
***
Hujan baru saja reda, namun sinar bulan belum juga tampak. Tetes air satu-dua masih berjatuhan. Suara azan Isya terdengar dari pengeras suara. Melan sedang bersantai di ruang keluarga, sedangkan kedua orangtuanya melihat TV tak jauh dari tempat ia duduk ketika sayup-sayup terdengar ketukan pintu. Melan segera beranjak dari duduk dan membuka pintu. Setelahnya, ia terpaku pada sosok lelaki di depannya. Meski lama tak berjumpa, Melan masih ingat siapa lelaki dengan senyum lesung pipit itu. Hatinya berdegup kencang, kedua tangannya mengepal mencari kekuatan.
Melan tak tahu takdirnya akan serumit ini, setelah jatuh bangun melupakan. Kini sosok itu kembali hadir di hadapannya. Bibirnya kelu, pandangannya mengabur menatap lelaki yang dulu pergi dengan teganya, menghancurkan harapan yang ia bangun dengan segenap kasih.
Palangkaraya, 2 April 2021
Bionarasi
Jemynarsyh, gadis kelahiran Kalimantan yang sedang belajar merangkai aksara.
Editor: Inu Yana
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata