Perkawinan Dini
Oleh : Siti Nuraliah
Bukan sekali-dua kali, aku melihat anak ini diantarkan pulang oleh kekasihnya. Gadis manis, yang masih memakai seragam biru-putih terlihat lebih dewasa dibandingkan teman-temannya yang lain.
“Pulang sore lagi, Pit?” aku menyapanya, saat dia baru saja melambaikan tangan pada laki-laki yang tidak berseragam sekolah yang baru saja mengantarkannya.
“Eh, iya, Mbak! Ada eskul,” jawabnya sambil merapikan bajunya yang sedikit berantakan.
“Mari, Mbak! Saya pulang dulu!” Dia sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu berjalan menuju gang kecil, rumahnya tepat di belakang rumahku, sekitar 20 meter.
Ibunya seorang penjahit, Bu Marni namanya. Tapi aku selalu memanggilnya dengan panggilan Bu Emar. Jahitannya rapi, jadi tidak heran bila banyak pelanggan yang ketagihan menjahit kain pada ibunya Pipit.
Satu minggu yang lalu pun, aku ke rumahnya mengantar kain brokat untuk dibuatkan gamis.
“Jadi, bawahnya agak dibuat longgar saja, ya, Bu!” Aku memberi tahu Bu Emar bentuk dan ukuran yang diinginkan. Dari raut wajahnya, Bu Emar tipe perempuan yang tidak banyak bicara. Dia hanya sesekali menimpali ucapanku dan sesekali senyum, mungkin karena sudah lelah. Kulirik di sudut ruangannya, ada gulungan kain dan setumpuk seragam yang sudah jadi. Entah itu seragam apa, aku hanya melihat dari warna dan coraknya yang sama.
“Bu Emar, boleh saya temani sebentar? Saya bosan di rumah gak ada teman ngobrol, suami saya pulangnya malam.”
“Boleh, boleh. Tapi saya sambil jahit, ya?!” jawabnya.
“Pipit itu anak Bu Emar satu-satunya, ya?” aku bertanya bukan sekadar basa-basi. Tapi lebih ingin membuka pembahasan tentang anak itu.
“Dia anak bungsu, saya punya anak dua. Yang satu sudah berkeluarga. Setelah suami saya meninggal, Pipit saya ajak merantau ke sini.” Bu Emar menjawab sambil tangannya dengan cepat menggunting benang-benang di kain yang baru saja selesai dia jahit.
“Ooh, jadi Bu Emar juga bukan asli orang sini?”Aku ikut membantu melipat-lipat baju yang setengah jadi untuk dilanjutkan dijahit esok harinya.
“Iya, waktu Bu Sri pindah ke sini, saya sudah sekitar tiga tahunan di sini,” jawabnya sambil tetap fokus ke jarum mesin.
“Mmm … sebelumnya maaf, Bu Emar. Sepertinya Pipit itu perlu diperhatikan lebih, ya?” kalimat itu, dengan sangat hati-hati kuucapkan agar Bu Emar tidak tersinggung. Mendengar ucapanku, dia menghentikan gerakan kakinya, lalu menoleh ke arahku.
Dia menghela napas dengan berat. “Sebenarnya saya juga sering sekali bertengkar mulut dengan anak itu. Pipit sedikit bebal kalau saya nasihati, pacaran terus,” tutur Bu Emar, sambil menggelengkan kepala.
“Saya juga sering lihat Pipit pulang diantar laki-laki yang penampilannya saja tidak sedap dipandang. Saya jadi khawatir, pergaulan anak zaman sekarang itu … bikin puyeng!”
Kami berbincang, sampai tidak terasa jarum jam sudah bergeser ke angka tiga. Itu berarti aku sudah satu jam menemani Bu Emar. Ternyata aku salah, Bu Emar bila sudah diakrabi, cukup enak juga jadi teman mengobrol. Dari obrolan ini juga aku baru tahu, Pipit ternyata baru duduk di kelas dua SMP.
***
Dua orang berseragam dinas berwarna khaki memarkirkan motor matiknya di depan rumahku. Mereka menanyakan rumahnya Pipit. Yang satu adalah perempuan dan satu lagi laki-laki.
“Assalamualaikum … Bu, maaf mau tanya, rumahnya Pipit sebelah mana, ya?” laki-laki berseragam itu bertanya saat aku sedang menyapu di lantai depan.
“Waalaikumsalam … oohh rumahnya Pipit, ini masuk ke sini, cat rumahnya warna biru,” jawabku, sambil menunjuk ke arah gang.
“Terima kasih, Bu. Kami titip motor sebentar, ya!”
“Ya, silakan!”
Kemudian mereka mengangguk, dan berjalan ke arah yang kutunjuk.
Dua orang berseragam itu ternyata guru sekolahnya Pipit. Aku tahu ketika aku kembali lagi ke rumah Bu Emar untuk mengambil gamis yang sudah selesai dijahit.
“Bu Sri, saya mau minta pendapat, boleh?”
Aku melihat wajah Bu Emar tidak seperti biasa, ada guratan beban yang minta dimuntahkan.
“Ternyata Pipit selama ini sudah bohongi saya.” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Bohongi Bu Emar? Maksudnya bagaimana?” Aku mengerutkan kening. Meski sudah mencium gelagat tidak beres dari anak itu.
“Pipit sudah satu bulan tidak masuk sekolah. Padahal dari rumah dia sudah berangkat. Dan ini, surat panggilan untuk saya. Apa saya nikahkan saja, ya, dia?” Bu Emar mengambil amplop putih dari atas meja di sebelahnya, dan menyodorkannya kepadaku. “Baca!” perintahnya.
“Bikin malu saja. Rasanya saya gagal jadi ibu!” Mata Bu Emar memerah.
Mendengar penuturan Bu Emar, aku bisa merasakan apa yang dikhawatirkan dari seorang ibu kepada anaknya.
“Sekarang Pipit-nya di mana?” Kuedarkan pandangan ke seisi rumah ini.
“Ada di kamarnya, dia seharian gak keluar habis saya marahi, saya paksa dia buat suruh pacarnya datang. Saya sudah capek.”
Masa-masa seusia Pipit memang masanya pubertas. Herannya, anak-anak zaman sekarang tidak lagi mengenal namanya “cinta monyet”. Yang kutahu, dulu ketika zamanku—remaja tahun 90-an. Hanya sebatas suka saja sama lawan jenis, yang hanya disenyumi dari jauh saja sudah sangat bahagia. Remaja zaman sekarang, percintaannya sudah “dewasa”.
Aku setuju dengan keputusan Bu Emar, Pipit dinikahkan meski usianya masih jauh di bawah umur, dia menikah sah secara agama. Pipit pun tidak merasa terpaksa, dia terlihat bahagia. Dalam hati aku berkata, “Luar biasa anak zaman sekarang, sudah mau menikah di usia yang masih sangat muda.”
Setelah pernikahan itu, aku tidak lagi melihat Pipit di rumah Bu Emar, dia dibawa ke rumah suaminya. Lima bulan kemudian, aku melihat unggahan foto bayi di salah satu media sosialnya yang sudah ku-follow.
[Alhamdulillah, telah lahir putri pertama kami. Semoga jadi anak yang Salihah.] Sambil dibubuhi stiker hati setelahnya.
Aku tersenyum getir, mengaminkan kata terakhirnya yang kubaca, bagaimanapun bayi itu suci tanpa dosa. Lalu aku bergumam, Banyak sekali yang pernikahannya baru beberapa bulan sudah melahirkan anak, sedangkan aku … bertahun-tahun masih harus sabar lagi.
***
Banjarsari, 12 juni 2020
Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra, kadang suka menulis kadang suka membaca. Penulis amatir yang berusaha selalu memperbaiki tulisannya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata