Perjuangan Demi Sebuah Kehidupan

Perjuangan Demi Sebuah Kehidupan

Perjuangan Demi Sebuah Kehidupan    
Oleh: Lutfi Rose

Setiap pagi menjelang, perjuangan dimulai. Rasa mual akan menyerang tiba-tiba, menguras isi perut sampai rasa mulutku berubah pahit. Tenggorokan perih karena gerakan peristaltik yang tak disertai oleh apa pun. Perut kaku, sakit, rasanya seperti usai terkena goncangan dahsyat. Semua ini terjadi sejak empat minggu setelah aku terlambat datang bulan. Dimulai dengan lelah yang kerap kali menyerang tiba-tiba.

“Muntah lagi, Sayang?” tanya suamiku yang keluar dari kamar mandi sebelah.

Aku hanya mengangguk, mengiyakan pertanyaannya. Dia buru-buru memegang bahu, memapahku masuk ke dalam kamar.

“Kamu istirahat, ya. Aku buatkan sarapan,” lanjutnya usai menyiapkan bantal untuk sandaranku.

“Aku gak usah makan, deh. Mual, Mas. Semua yang aku makan balik keluar,” ucapku dengan suara yang hampir tak terdengar.

Pria itu tersenyum, “Tetap harus diisi, Sayang. Nanti kalau mual terus gak ada yang dimuntahkan, bagaimana?” Dia kemudian beranjak berdiri setelah menepuk kepalaku perlahan.

Sejak  ada serangan mual setiap pagi, aku hampir tak pernah ke dapur. Kadang ada rasa bersalah pada suamiku, dia harus menyiapkan sarapan, membeli makan siang, juga membelikan aku bermacam-macam makanan hanya demi ingin sesuap atau dua suap makanan masuk ke perutku.

Sering kali aku merasa sebal dengan kondisiku, menjadi perempuan begitu lemah. Berbeda dengan Bu Susi, tetangga sebelah rumah, yang bisa melakukan segala hal meski dalam kondisi mengandung. Mungkin benar, aku terlalu manja. Andai mereka tahu jerit hatiku, aku juga ingin sehat dan beraktivitas seperti yang lain.

Minggu ke-16, dokter bilang mual itu akan menghilang dengan sendirinya. Acara selamatan tiga bulanan pun sudah dilaksanakan. Ketika seluruh orang telah pamit pulang, aku selonjoran di depan televisi, mencoba mengusir rasa letih yang tiba-tiba menyerang.”Ah! Mas, kenapa aku masih juga mual? Seharusnya Aku sudah sehat, kan? Seperti kata Bu Susi yang hamil besar di sebelah rumah.” Suamiku tertawa mendengarkan ucapanku.

“Ya, mana mungkin secepat itu, Sayang. Mungkin masih menunggu besok atau lusa atau … ya masih harus sedikit demi sedikit mualnya berkurang, makin sehat,” ujar lelaki yang kunikahi setahun lalu.

Baiklah mungkin aku harus menunggu lagi, mungkin memang tak secepat itu. Memang ini bukan sebuah sulap yang tiba-tiba saja muncul dan hilang begitu saja. Aku berdiri melangkah menuju kamar dan merebahkan diri di atas ranjang.

***

Kehamilanku sudah menginjak minggu ke 30. Dokter bilang paling lambat minggu ke-42 anak ini sudah harus lahir. Aku sendiri berharap anak ini segera lahir, aku sudah lelah. Usai selamatan empat bulanan, terus berlanjut sampai selamatan tujuh bulan, tetap saja masih mual dan muntah. Berat badanku terus turun, hingga dokter pun sempat marah-marah padaku.

Beruntung, suamiku begitu telaten dan sabar menghadapi omelan demi omelan dari mulutku, yang selalu saja marah-marah setiap kali aku merasa lelah dan merasa semua ini akibat ulahnya. Dia hanya menimpali dengan senyum sembari memijat kakiku setiap malam, kemudian membelai rambutku hingga aku tertidur.

Setiap hendak tidur dia akan memaksaku makan sepiring nasi dengan bermacam lauk yang berganti setiap hari, sesuai saran dokter. Dia mengikuti semua yang dokter sampaikan, apa yang harus aku makan dan apa yang seharusnya tidak aku makan. Berkali-kali dia katakan, aku harus makan banyak meski aku muntah, harus ada makanan yang masuk terutama ketika menjelang tidur agar kondisi tubuhku tidak sampai drop sehingga harus masuk rumah sakit.

Setiap pagi ketika aku membuka mata, kutarik napas dalam-dalam. Dalam hati aku berkata, “Baiklah Nyonya, perjuangan hari ini dimulai!”

Kembali aku akan menghitung jam, mulai pagi, siang, sore, dan kembali petang. Setiap satu hari berlalu berarti satu hari perjuangan telah selesai, melawan rasa mual dan semua rasa yang seolah berkumpul jadi satu dalam mulut dan badanku.

Semenjak hamil aku tak bisa merasakan semua rasa makanan, semua terasa pahit dan sama hambarnya, terutama makanan pedas. Setiap kali aku makan pedas, dadaku akan terasa panas hingga ke dalam perut. Sakit! Hingga aku harus minum air putih banyak-banyak yang kemudian akan terasa sangat pahit di tenggorokanku.

Ya Tuhan … mengapa harus seberat ini? Mungkin benar jika hamil itu adalah sebuah jihad, setara dengan pahala pria yang maju ke medan perang membela agama. Baiklah demi cintaku pada suamiku. Demi imanku pada-Mu Ya Robbi, hamba akan bertahan.

***

Malam yang sunyi dan dingin, langit tampak gulita di balik tirai di jendela kamar, ketika tiba-tiba rasa yang dahsyat menyerang perutku. Rasanya hampir sama dengan rasa ketika aku akan datang bulan, tapi ini sedikit satu, dua, atau tiga tingkat lebih sakit. Seperti ingin buang air besar namun tak bisa keluar. Aku harus bolak-balik ke kamar mandi, meyakinkan bahwa ini bukan karena akan buang air besar. Meskipun dengan badan lemas dan kaki yang sedikit gemetar, aku berjalan ke kamar mandi. Tak sampai hati aku membangunkan suamiku. Dia seharian bekerja dan masih juga melayaniku seperti biasa—memijat kakiku  dan menunggu hingga aku tertidur. Dia tertidur sambil memegang kakiku di pinggir ranjang. Istri mana yang tega mengganggunya yang terlelap begitu damai di alam mimpi.

Satu jam aku bolak-balik ke kamar mandi.  Sakit ini makin menjadi. Sakit dan sangat sakit. Ragu-ragu aku membangunkan lelakiku. Hati-hati kusentuh pipinya, “Mas, mungkin aku akan melahirkan, atau kalau tidak, sepertinya ada yang salah dengan perutku. Ini sakit sekali, Mas. Aku sudah tak sanggup lagi.”

Suamiku menggeliat, terperangah mendapatiku duduk sambil memegang perutku. Mungkin aku meringis, menangis, atau entah bagaimana ekspresiku. Sudah tak ingat apa yang aku lakukan.

“Tahan, Sayang! Tahan sebentar, aku keluarkan motor. Kita pergi ke rumah Bidan,” ucapnya tergesa, mengambil kontak motor yang tergeletak di atas nakas.

Aku kembali menarik napas, mencoba menetralisir rasa yang makin menjadi ini. Kutarik kerudung instan yang tergantung di belakang pintu. Aku tak berniat mengganti baju, biarlah memakai daster yang sedikit koyak di bagian bawahnya ini. Yang kuinginkan hanyalah menghilangkan rasa sakit yang seolah tak berjeda. Semoga benar ini adalah rasa sakit karena aku akan melahirkan.

Suamiku melajukan motornya dengan kencang menuju rumah Bidan terdekat. Semua rencana kami untuk melahirkan di klinik bersalin tempat biasa aku periksa, sudah tak memungkinkan. Mataku seakan menghasilkan berliter air mata yang terus-menerus keluar, serta erangan akibat menahan rasa sakit membuat suamiku memutuskan mencari pertolongan terdekat.

Rumah Bu Bidan masih tertutup rapat, lampu-lampunya mati, hanya lampu teras yang menyala. Suamiku dengan begitu keras berteriak, seolah lupa bahwa ini tengah malam. Wajahnya tampak panik, mondar-mandir antara meneriaki orang di dalam rumah atau menjagaku yang tak kuat untuk berdiri, bersandar di samping motor sambil memegangi perutku yang seolah mau meledak.

Pintu terbuka, Bu Bidan tergopoh mendekatiku dan segera memapahku masuk ke dalam ruangan. Dia menyuruhku untuk berbaring miring ke kiri, katanya agar kontraksi berlangsung cepat. Aku sudah tak paham, hanya menuruti semua instruksi dengan setengah sadar.

“Saya V-test dulu ya, Mbak,” ucap Bu Bidan seraya menelentangkan tubuhku. Dia memasukkan jari yang sudah mengenakan sarung tangan karet ke dalam vaginaku. Masih pembukaan empat, masih sekitar lima jam lagi, paling cepat,” lanjutnya dengan nada santai sekali.

Katanya ini masih kurang enam pembukaan lagi. ”Argh … tapi ini sudah sangat sakit!” aku mengeluh padanya. Lagi-lagi wanita tinggi besar, berambut lurus sebahu itu, mengatakan belum saatnya. Aku tak boleh mengejan, aku harus tetap di posisi miring ke kiri dan menarik napas berulang-ulang. Tarik ulang dan begitu seterusnya hingga dia akan memberi aba-aba jika sudah waktunya mengejan.

Satu jam lebih, aku kesakitan dan rasanya makin mendalam. Sekali, dua kali, tiga kali, makin intens menyerang. Wanita yang kuperkirakan berusia 40 tahun itu, kembali memeriksa perutku dan kembali melakukan V-test. Lagi-lagi dia mengatakan, aku harus menunggu. Suamiku tampak frustrasi; masuk ruangan lalu keluar, masuk lagi, keluar lagi. Seharusnya dia duduk di sebelahku, mengusuk punggungku atau apalah yang bisa mengurangi sakit di sekujur tubuhku. Dia hanya menjawab tak sampai hati melihatku seperti ini.

“Kamu bisa aku tinggal sebentar, kan, Sayang? Aku mau salat sebentar,” katanya sambil mengusap air mataku yang masih saja tak mau habis.

Aku mengangguk, meski sebenarnya aku takut dengan apa yang akan terjadi jika sendirian. Baru sekitar lima menit dia keluar, tiba-tiba ada sesuatu yang seolah bergerak di perut bagian bawahku, ada bunyi klek dan rasa sakit itu makin mendera.  Aku berteriak sekuat tenaga memanggil Bu Bidan.

“Sudah waktunya ini! Ayo!” seru Bu Bidan ketika masuk dan langsung memeriksa kondisiku. Dia membantuku menata kaki, memegang tanganku. “Ya, Mbak!  Ayo! Ayo! Sekarang waktunya, tarik napas … buang … sekali lagi, tarik napas … buang …. Lalu tekan ke bawah. Konsentrasi, Mbak. Tekan ke bawah, ya! Tekan ke bawah, gitu terus!”  Bidan terus memberi instruksi.

Dalam hati aku terus membaca istigfar, berserah atas segala yang ada padaku. “Ya Allah, jika memang hari ini adalah akhir hidupku, hamba pasrah. Asal anak yang ada dalam perut ini keluar dengan selamat.”

Aku sudah tak sadar dan tak ingat apakah aku menangis, apakah aku menjerit. Aku terus berusaha, berharap semua segera berakhir, mengerahkan seluruh kekuatan yang ada dalam diri untuk mengeluarkan sesuatu yang terasa mengganjal di vaginaku. Satu dorongan, dua dorongan dan sebuah dorongan yang ke tiga tepat ketika suamiku berlari masuk mendatangiku. Pada saat itu aku meremas tangannya dengan sangat keras, sepersekian detik disusul dengan sebuah tangisan yang sangat keras. Terdengar ucapan syukur dari bibir suamiku. Badanku langsung lunglai, segala sakit itu hilang seketika tanpa bekas. Mual pusing itu pun lenyap tanpa tahu ke mana. Bagaimana rasa marah, lelah, sakit hati seketika berubah menjadi rasa bahagia, ketika mendengar tangisan itu. Spontan suamiku mengucapkan terima kasih dan mengecup keningku. Sebuah tetesan air terasa di wajahku, untuk pertama kalinya aku melihat suamiku menangis. (*)

 

Lutfi Rose, seorang ibu yang tak akan pernah berhenti belajar. Bisa ditemui di akun sosmednya: FB @Lutfi Rosidah, IG @Arifa_Style, dan Wattpad @Lutfi Rose

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply