Perjalanan Pagi

Perjalanan Pagi

Perjalanan Pagi
Oleh : Lutfi Rose

Mentari masih malu-malu ketika aku berusaha menyapanya pagi ini. Ah! Mengapa dia harus bersembunyi di balik awan putih? Hanya menampakkan semburat kekuningan di sela-sela awan yang bak gula kapas tanpa pewarna.

“Selamat pagi, Raja Langit. Pagi yang cerah, bukan?” gumamku sambil mengeluarkan si Bead—sebutan sayang motorku—yang hampir seminggu ini tak keluar kandang. Sepertinya dia sudah bosan menghabiskan hari-hari di dalam garasi sendirian. “Sekarang waktunya kita having fun, Bead. Jadi gak perlu menggerutu begitu,” candaku saat mendapati motorku sedikit sulit distarter. Kebiasaan anehku mengajak semua benda berbicara, mungkin karena aku anak tunggal yang sering kesepian. Aku kerap kali menganggap mereka sebagai kawan.

Beberapa kali aku menghidupkan si Bead, kugerakkan kunci motor ke arah on, lalu starter, sedikit bersuara namun masih belum mau hidup, kugeser ke off lalu ke on lagi dan akhirnya raungan pertamanya terdengar sedikit mengerang. Aku mengulum senyum puas. Kubiarkan raungan itu bertahan sembari aku membersihkan debu yang hampir memenuhi seluruh bagian tubuh si Bead.

“Kasihan,” gumamku.

Belakangan aku terlalu sibuk mengurus usaha baru di rumah. Si kuda besi yang kerap kali kuajak jalan-jalan hampir setiap hari menjadi jarang kusentuh. Bukan maksud mendua, hanya saja tak bisa terus menuruti hasrat berpetualang, sudah saatnya mulai fokus pada masa depan.

Kurasa semua sudah siap, si Bead sudah bersih, petualangan siap dimulai. Sementara kutinggalkan dia di teras samping, sedikit berlari aku menuju kamar mengambil jaket dan helm, juga sepatu marmut dengan hiasan pita kopi susu di bagian depan, tak lupa kupasang. Sejenak becermin, kusapu penampilan dari atas hingga bawah. Oke! Perfecto.

“Bismillah!”

Kunaiki si Bead, kuhidupkan dan kumulai perjalanan. Hari masih cukup pagi, beberapa anak berseragam sekolah tampak berjalan beriringan dalam beberapa kelompok dengan jumlah yang bervariasi, ada yang berlima, bertiga, bahkan bergerombol. Pemandangan yang tidak asing sebenarnya, secara rumahku yang terletak di pinggir jalan provinsi dan tak jauh dengan beberapa sekolah menengah pertama maupun menengah atas.

Baru beberapa meter si Bead meninggalkan rumah, aku dibuat tersipu melihat dua remaja berseragam abu-abu bergandengan tangan. Dua pemuda dan pemudi yang kelihatan asyik dalam dunia mereka sendiri. Sejenak aku seakan kembali ke masa lampau, masa di mana hidup begitu berwarna laksana pelangi di sore hari usai hujan mereda. Ya! Tak dapat dimungkiri menjadi mereka terasa sangat luar biasa. Sayang … itu tak akan bertahan lama, hidup tak sesederhana pemikiran anak sekolah. Hidup di luar bangku sekolah nyatanya sangat kejam. Bahkan cinta yang kala itu begitu dalam, bagai karang yang tetap kukuh diterjang ombak, seiring waktu bisa bertransformasi menjadi istana pasir, luruh saat sekali saja ombak menerjang. Ternyata kondisi keluarga serta tuntutan hidup membuat aku dan kekasihku yang sudah mengikat janji saling setia harus memilih jalan yang berbeda. Persimpangan yang sempat menjadi perdebatan di suatu senja menjadi alasan keputusan berpisah, lantaran aku memilih jalan ke kanan dan dia ke kiri. Sebuah pilihan yang sempat membuatku menghabiskan dua malam dengan air mata yang seolah tak bisa berhenti. Apakah itu sebuah alasan yang cukup kuat untuk tetap melajang hingga usia mendekati kepala tiga? Entahlah. Aku sendiri tak pernah bermaksud hidup sendiri. Hanya saja setiap mengingatnya, rasa perih masih sering mengusik. Bukan tak mau ketika Bapak atau Ibu serta saudara mengenalkan bujang, hanya saja aku masih menanti sebuah getaran yang sama menelusup di dada ini, sama ketika bersamanya.

Si Bead melaju semakin kencang, tanpa sadar tangan kananku bergerak memutar gas lebih dalam. Aku iri. Ya! Aku iri melihat mereka yang begitu bahagia. Seandainya aku lebih tidak egois—sedikit mengalah agar dia mau tetap tinggal.

Udara pagi masih sangat dingin menusuk hingga ke tulang belulang, kunaikkan ritsleting jaket hingga menutupi leher. Angin berembus serasa menampar wajahku. Kuturunkan kaca helm setelah menyibak helaian rambut yang tertiup angin ke mukaku. Tekanan angin yang kencang membuat motorku sedikit oleng ke kiri. Badanku yang belakangan dibilang Ibu makin kerempeng tak cukup memberi beban pada Si Bead. Harus ada asupan gizi yang cukup mungkin, nanti biar kusempatkan membeli susu penambah berat badan saja.

Sebuah truk bermuatan pasir berjalan dengan erangan nyata, berat muatan tampak sangat membebani bak kayunya yang mulai lapuk. Roda-rodanya seakan enggan menggelinding sebab berat muatan yang melebihi batas. Terpaksa aku mengurangi kecepatan si Bead, menekan tuas rem di kedua tanganku. Kutarik napas dan membuangnya kembali, mengurangi rasa sebal setiap menghadapi situasi yang tak menyenangkan ini. Perlahan kuperhatikan arus kendaraan dari arah depan, sepi, aku bisa menyalip truk tua ini. Tangan kananku memutar gas, sekejap saja si tua sudah di belakangku.

Heran kadang, melihat masih banyak kendaraan yang sudah tidak layak digunakan masih banyak berkeliaran di jalan besar, ditambah muatan yang sungguh di luar kemanusiaan. Ini kemajuan atau kemunduran, sih? Atau mungkin karena saking kreatifnya orang Indonesia hingga bisa memanfaatkan barang-barang yang sudah tidak digunakan di negara lain. Entahlah! Jalanan lumayan sepi. Selain beberapa motor yang berpapasan tadi, truk tua dan dua buah motor yang berjalan hampir beriringan denganku, tak ada yang lain.

Kulirik jam tangan di pergelangan, sudah lewat jam masuk sekolah, pantas tak ada anak sekolah yang biasanya memenuhi jalan di pagi hari. Anak-anak yang akan naik motor bergerombol, tanpa helm, dan kuperkirakan juga belum memiiki SIM. Ya bagitulah kid zaman now.

Aku menghentikan motor di sebuah pertigaan tanpa lampu merah. Seorang joki yang biasa orang sebut Abang Cepek sibuk mengisyaratkan orang menyeberang. Aku konsentrasi menyimak tangannya yang menyetop dan menjalankan pengendara. Sekitar setengah menit tangan Bang Cepek mengisyaratkan jalan padaku, aku pun memajukan motor perlahan.

“TIIINN!!” suara klakson nyaring di belakangku bersamaan terdengar suara orang-orang di pinggir jalan berteriak dan beberapa terdengar mengumpat.

“Brak!” suara bagian belakang motorku. Antara kaget dan bingung aku langsung menghentikan motorku. Syok dan bingung, lututku terasa lemas tak bertulang, detak jantungku seakan memenuhi telinga. Aku masih mendengar suara orang-orang berbicara dengan kalimat yang tak mampu aku cerna dengan baik. Semua sejenak tampak gelap.

“Mbak! Mbak!” sebuah panggilan yang mungkin ditujukan padaku. Aku menganggguk tak kuasa menggerakkan tubuhku. Seseorang berusaha membantuku berdiri, menarik kedua pundakku ke atas. Kakiku terasa kebas tak berasa. Kuikuti saja tangan yang mengarahkanku menepi. Kembali aku mengangguk saat kudengar dia bertanya apakah aku kuat melangkah. Aku mulai bisa mengidentifikasi bahwa dia seorang perempuan.

Dia membantuku duduk di trotoar jalan, mengangsurkan sebotol air mineral. Aku meraihnya, meneguk air, membasahi kerongkonganku yang secara mendadak menjadi kering.

“Mbak rumahnya mana?” tanyanya kemudian.

“Kepanjen, Mbak.”

“Deket, dong!”

Aku mengangguk dan baru sadar lenganku terasa nyeri. Aku meringis menahan sakit.

“Kenapa, Mbak? Sakit, ya?”

“Emm … sedikit. Gak papa, kok. Makasih ya, Mbak,” ucapku seraya tersenyum pada perempuan di depanku.

Aku mengusap mukaku, memperhatikan baju yang yang kukenakan, barangkali ada bagian yang koyak. Semua masih utuh, hampir tak ada robekan, hanya lecet di kulit kaki.

“Saya akan pulang saja, Mbak. Mana motor saya?”

Perempuan itu membantuku berdiri. “Motornya dibawa ke bengkel itu, Mbak.” Tangannya menunjuk pada sebuah bengkel tak jauh dari tempetku. “Gak papa, Mbak. Biar suamiku yang urus. Dia sopir truk tadi, kebetulan saya ikut nebeng mau ke pasar besar,” dia menjelaskan.

Baik sekali mereka, padahal bukan salah sopir truk sepenuhnya, aku juga ikut andil dalam kecelakaan ini.

“Ayok! Kami antar pulang, Mbak. Atau mau ke rumah sakit dulu?” tanyanya kemudian.

Aku menggeleng.

“Mbak mau ke mana?” Matanya membulat meminta jawabanku.

“Hanya ingin belanja. Mungkin terlalu lelah, makanya saya tidak konsen.” Aku bicara lalu terkekeh meski tak ada yang perlu ditertawakan.

Dia turut tertawa kecil. Sejenak kami sudah seperti teman lama yang baru bertemu kembali. Kembali dia menawarkan untuk mengantar pulang dan kembali aku menggeleng. Aku hendak menelepon Bapak saja. Tetapi perempuan berhijab merah muda itu sedikit memaksa. Katanya dia akan merasa berdosa jika belum mengantarku ke tempat yang aman. Perdebatan berakhir dengan kesepakatan mereka mengantar aku pulang.

Dia kembali meraih tanganku, dengan hati-hati membantuku naik ke atas truk.

Aku berusaha mengabaikan rasa nyeri di bahuku yang makin menyergap, tak enak hati menambah kekhawatiran wanita itu. Lebih baik segera pulang, biar nanti Bapak mengurus motorku.

“Sudah, Dek?” tanya lelaki yang duduk di depan kemudi.

Perempuan itu menjawab dengan suara lembut sambil menyilakanku duduk di tengah, dekat dengan sopir, sedangkan dia duduk di dekat pintu di sampingku.

Sebentar, aku seperti tak asing dengan suara lelaki ini. Ragu-ragu aku menolah ke kanan, memperhatikan garis muka yang memang sepertinya aku kenal.

“Raka?” tanpa sadar aku bergumam.

Dia menoleh. “Re? Renata?” ucapnya sekilas memandangku.

“Loh! Kalian saling kenal?” sela perempuan di sampingku.

“Eh! Iya, Dek. Renata ini adek kelasku di SMA,” lanjut Raka sambil terkekeh, entah apa yang membuatnya tertawa.

Baiklah. Adik kelas, ya! Hanya adik kelas.

Aku menyambut uluran tangan istri Raka yang ternyata bernama Dini. Nama yang cantik, secantik garis wajah oriental dan kulit pucat yang bersemu merah saat mentari menyentuhnya.

Aku … aku hilang akal sesaat. Semua terjadi begitu cepat dan sulit aku terima dengan akal sehat. Aku harus gila untuk tetap waras. Perjalanan yang harusnya hanya lima belas menit terasa lebih lama dari itu. Beberapa kali aku mengusir sesak di dada. Dini terus saja bercerita dan bertanya ini-itu tentang masa lalu kami. Dia terus berceloteh tentang kebetulan yang baik karena Raka mengatakan aku dan dia adalah teman yang cukup dekat. Ya! Hanya teman.

Aku mengucapkan terima kasih saat turun dari mobil.

“Salam buat Ibu, ya?” Raka tersenyum menatapku. Ada desir yang ternyata masih menyisakan sakit di dalam dada. Aku mengangguk. “Salam juga buat suamimu,” lanjutnya.

Aku hanya mengangguk dan menarik ujung bibirku ke kanan-kiri. Dini memelukku sebelum kembali naik ke atas mobil. “Terima kasih,” ucapku seraya membalas pelukannya.(*)

 

Lutfi Rose, perempuan penyuka warna cokelat namun jatuh cinta pada warna merah muda.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply