Perjalanan Menentang Tuhan
Oleh: Lutfi Rose
Dari sekian banyak perjalanan yang pernah kulakukan, ini adalah perjalanan paling berdosa dalam hidupku. Sebuah keputusan menentang takdir Tuhan. Setelah sepuluh tahun berusaha, kali ini aku menolak Ikhlas. Entahlah! Aku sendiri tak yakin dengan keputusan ini, tapi aku percaya Tuhan pasti memberi toleransi.
Bertahun-tahun aku diam, menerima segala garis hidup yang harus terlalui dengan jatuh bangun. Pernikahan paksa—dengan sahabat Ayah yang rajin membawa buah tangan untuk keluarga setiap berkunjung—mengawali semua penderitaanku. Hanya tiga bulan setelah prosesi ijab kabul, Ayah meninggal, bahkan Ibu baru saja memiliki bayi berusia tujuh hari dan aku telah hamil dua bulan. Saat itu aku resmi menjadi tumpuan keluarga sekaligus menanggalkan posisi anak tunggal.
Kukira suami pilihan Ayah akan menjadi sosok pengganti yang sempurna. Ibu merelakan kepergian Ayah dengan harapan yang sama—pria itu akan menggantikan Ayah memenuhi segala kebutuhan hidup kami. Sayang, dia tak seperti pandangan Ayah, jauh berbeda. Dibalik kebaikannya selama ini, dia menyimpan kebusukan yang jauh lebih kejam dari sekadar tipuan. Belum sampai satu tahun dia sudah menunjukkan muka aslinya: suka mabuk dan hobi berjudi.
Enam bulan usia kehamilanku, ketika pertama kali dia pulang dalam kondisi mabuk, kemudian muntah di karpet tempat aku biasa melaksanakan salat. Geram melihat tingkahnya, tapi aku tak ingin membuat gaduh, mengganggu Ibu yang sedang menyusui.
Dia ulangi lagi perbuatannya hampir setiap malam, membuatku tak bisa lagi menutupinya dari Ibu.
Sembilan bulan mengandung anak pertama kulalui bagai berjalan di atas semak penuh duri, tak terlihat tapi terasa sakitnya. Bertahan dengan kelakuan suamiku yang semakinmenjadi—tak hanya mabuk dan berjudi, dia mulai main tangan, beberapa kali aku ditamparnya karena dianggap terlalu lamban menyiapkan air panas untuk mandi. Ingin rasanya menyerah, tapi aku tak sampai hati membuat Ibu malu memiliki anak seorang janda.
Belum satu tahun usia anak lelakiku, ketika aku menggendongnya mengendarai sepeda ontel mengelilingi desa menjajakan kue basah buatan Ibu. Semua demi menyambung hidup kami berempat ditambah pria begundal yang menghabiskan upah kerjanya setiap malam di meja judi.
**
Suara klakson bus kota memecahkan lamunanku. Barisan pohon seolah berlarian seiring semakin kencang laju bus yang kutumpangi. Semua tampak tak berbentuk dalam pandanganku. Buram, seburam hidupku. Aku memegang perutku yang tiba-tiba terasa nyeri luar biasa.
Kembali nyeri menjalar saat tanganku mengulurkan uang pada seorang kondektur bus, kali ini lebih dalam dan, ah! Aku tak bisa menggambarkannya. Kalau saja lelaki laknat itu tidak minggat dengan membawa anak sulung kami, kalau saja dia mau pulang saat aku memberitahu akan kehadiran makhluk kecil di dalam perutku, kalau saja surat rumah tak dia gadaikan untuk pertaruhan judi, aku tak akan memutuskan menenggak segenggam obat tidur malam itu. Aku tak akan nekat membeli dua butir pil peluruh janin seharga satu juta dengan uang hasil memecah celengan selama satu tahun. Aku seakan tak diberi pilihan hidup. Kukira aku sudah akan mati saat semalaman aku tak sadar dan baru membuka mata ketika hari telah terang.
Entah, apa mau Tuhan? Raga yang sudah tak sanggup menanggung hidup masih saja Dia satukan dengan nyawa. Janin yang telah hancur tak mau keluar dari perutku, begitu terang Danti saat memeriksaku sore itu.
“Semua akan baik-baik saja,” gumamku lirih.
Sekilas wajah Danti, sahabatku, terbayang di pelupuk mata. Menorehkan bias merah, semerah darah yang begitu banyak mengalir semalam.
“Seandainya ini bukan menyangkut nyawamu, Sasti. Aku tak akan mengingkari ikrarku. Seharusnya kau pertimbangkan lagi sebelum melakukan hal sebesar ini. Meskipun kau berniat akan menanggung dosa dan masuk neraka sendiri, sekarang kau lihat aku ikut menanggung dosamu,” omel Danti padaku.
Aku hanya bisa memejamkan mata, mendengarkan semua ungkapan kekesalan sahabatku. Aku sudah tak tahu harus lari ke mana, meminta pertolongan pada siapa. Tuhan? Ah, bukankah kali ini aku sudah berbelok dari jalan-Nya? Jadi, tak perlu lagi meminta pertolongan-Nya.
Sebuah suntikan diberikan di bagian pinggang. Kata Danti ini akan membuatku mati rasa sebagian. “Apa pun, aku akan menurut padamu.” Itu yang kukatakan saat gadis berkacamata itu menerangkan prosedur medis.
Mataku masih terpejam. Perlahan rasa nyeri di perut hilang, separuh bagian bawah tubuhku tak bisa kugerakkan. Ini mungkin efek yang coba dijelaskan Danti. Semakin lama semakin mati rasa. Aku hanya mendengar suara alat mirip suara putaran blender, sedikit lebih nyaring. Semakin lama semakin mendekat. Sesuatu yang bergerak dan berbunyi itu dimasukkan ke dalam perutku. Aneh! Tidak terasa sakit, hanya sedikit ngilu di seluruh bagian perutku. Hanya beberapa menit, semua berakhir.
Sebuah tangan menyentuh pipiku. “Sudah selesai, Sasti. Buka matamu. Kamu tak boleh tertidur.” Suara Danti membangunkanku.
“Apa semua sudah selesai?”
“Sudah.” Dia menjawab sambil mengemasi peralatan.
Hening.
Beberapa saat kemudian Danti berbicara, “Maaf, aku tak bisa menampungmu lama di sini. Akan jadi masalah jika ada yang tahu. Besok pagi sekali kamu harus sudah meninggalkan klinik ini, Sas. Sekali lagi maaf, bukan maksudku mengusirmu. Tapi … kau tahulah posisiku.”
“Aku mengerti. Aku yang minta maaf, telah merepotkanmu.”
“Jangan pernah ulangi hal bodoh itu. Berjanjilah padaku.”
Danti menggenggam tanganku lembut, seolah dia berusaha menguatkan. Dia sahabat yang selalu ada untukku, sedangkan aku adalah sahabat yang selalu merepotkannya.
**
“Cokoliyo!” teriak kondektur bus dari pinggir pintu.
Aku berusaha bangkit dan berjalan. Menahan nyeri yang terus menyerang, melangkah meski dengan badan terhuyung lemah. Kondektur membantuku turun dari bus kota. Aku mengerjap sesaat menyesuaikan pandangan di antara kabut yang masih pekat pagi ini. Memasuki gang menuju rumah dengan berpegangan pada tembok sepanjang jalan.
Ibu berlari menyambutku dengan derai air mata. Dia mungkin baru sadar aku pergi dari rumah semalaman. Dia terus saja menangis sambil memeluk, memapahku masuk ke dalam rumah.
Kami duduk di tepi ranjang di serambi tengah. Ibu kembali memelukku. Kami menangis, entah menangisi apa, hidup yang sungguh kejam ini atau nyawa yang baru saja aku bereskan.
“Jangan pergi lagi, Nduk, jika terjadi apa-apa padamu, Ibu tak sanggup hidup tanpamu.”
Aku menatap mata Ibu. Mengusap uraian air mata yang seolah tak bisa berhenti.
“Jangan menangis Ibu, aku akan baik-baik saja. Tuhan tak akan semudah itu mengambil nyawaku, sebelum tuntas semua tugasku memberi pelajaran lelaki laknat itu.”(*)
Malang, 2 April 2019.
Lutfi Rose, seorang perempuan yang tak akan pernah berhenti belajar dan berkarya.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata