Perjalanan Menemui Ia

Perjalanan Menemui Ia

Perjalanan Menemui Ia
Fika Anggi


Sudah hampir pertengahan kemarau, jalanan berdebu dan hawa panas membakar punggung tanganmu. Kau memutar tuas gas lebih keras, berharap bisa memacu motormu lebih gegas. Ia mungkin tak sabar memunggu kedatanganmu. Namun, bagaimana pun juga mesin motormu sudah cukup umur. Lagipula kau sering menggunakannya untuk pergi jauh ke luar kota, setelannya sudah benar-benar tidak nyaman digunakan. Lubang jalan di sini-sana makin membuatmu merasa terlambat.

Kau melirik arloji di pergelangan tangan kiri, hampir setengah sepuluh. Suara klakson menjerit di belakang punggungmu, asap knalpot truk melesak melewati tutup helmmu dan bising di kepalamu yang tak hilang sejak shubuh menjadi teman sepanjang perjalananmu menemuinya.

Kau hampir lupa kalau hari ini istimewa seandainya adikmu tidak mengingatkanmu lewat pesan instan pagi tadi. Sudah lebih dari separuh umurmu kau tak lagi bertemu dengan ia semudah dulu. Mestinya kau tak boleh melupakan hari ini, mestinya kau ingat di luar kepala tanggal-tanggal istimewa, mestinya kau lebih banyak meluangkan waktu untuk dirimu dan ia bercengkrama. Apa boleh buat, terlalu banyak hal yang kau pikirkan. Pekerjaan berantakan dan pernikahanmu awut-awutan beberapa bulan belakangan.

Hampir tujuh puluh kilometer jarak yang kau tempuh untuk mengunjunginya, kau tak berniat membagi beban jika bersama ia. Tidak dulu, tidak juga sekarang. Ia akan sangat tertekan jika melihatmu terpuruk dan itu tidak baik untuk kesehatan ia yang sudah buruk.

Sekali lagi kau melirik arloji, masih sekira belasan menit lagi sampai di tempat ia menunggu. Pikiranmu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tidak penting; apa adikmu sudah mengatakan pada ia bahwa kau akan datang, apa ia merasa kau mulai menyepelekan dirinya, apa kau merasa perlu untuk membikin janji temu lebih dulu.

Sejak dulu, kau tak pernah berpikir untuk membuat janji ketika menemui ia. Kau bisa menemui ia kapan saja selonggarmu. Ia tak akan membuatnya jadi masalah besar. Ia tetap senang-senang saja menerimamu, apalagi, jika kau datang sambil membawa suamimu. Namun, kau tak selalu meluangkan waktu untuk sekedar mengunjungi ia secara rutin. Kau terlalu sibuk. Atau kau hanya merasa kikuk jika ia menanyakan terlalu banyak hal padamu, seperti dulu. Meski kesehatannya sudah tak masalah, kau tetap takut kalau ia jadi tak bahagia melihat keadaanmu sekarang ini.

“Tapi ia tak pernah tak bahagia melihatmu,” kata adikmu suatu kali. Meski begitu, kau tetap merasa cemas jika ia tahu kau tak baik-baik saja. Apalagi, sudah beberapa kali, kau datang seorang diri. Kau menghela napas panjang, memikirkan jawaban yang pas saat ia bertanya mana suamimu.

Panas membuatmu berkeringat, bedakmu luntur dan berganti sisa-sisa asap knalpot. Ujung hidungmu berminyak, lipstikmu sudah tak jelas lagi warnanya. Apakah kau punya waktu untuk sedikit membenahi riasanmu? Ia biasanya akan merepet panjang ketika kau berpenampilan tak layak. Kau tak ingin terlihat buruk di depan ia, kau tak mau ia kecewa lebih banyak.

Motormu laju membelah kemacetan, menekuk di jalan-jalan kecamatan yang penuh keruwetan. Tak ada yang berubah dari terakhir kali kau berkunjung ke daerah tempat ia tinggal. Ada aroma yang begitu lekat pada ingatan kanak-kanakmu saat kau melewati kedai sate langganan saat kau dan adikmu berebut sisa saos kacang.

Ada tiga layang-layang tersangkut di kabel listrik, kau tersenyum. Di kota tempatmu tinggal bersama mantan suamimu, anak-anak lebih suka menggenggam ponsel untuk memainkan permainan. Tak bakal ada tawa bocah yang pecah di rumahmu, mungkin itu sebabnya suamimu jarang pulang kepada rahimmu yang kering. Lelaki itu kini sibuk meraih seutas fantasi yang ditawakan istri barunya.

Sebenarnya kau gugup. Sangat gugup. Setahun ini hanya sekali saja kau berkunjung. Kemudian kau tak pernah datang dengan berbagai alasan konyol jika adikmu memintamu mengunjungi ia. “Hari ini adalah ulang tahunnya, kau harus datang. Begitu isi pesan instan yang kau terima dari adikmu semata wayang.

Kau tak membawakan ia kado. Kau tak pernah menyiapkan kado untuk ia selama ini. Kau bukan perempuan sentimentil yang menyiapkan kado untuk orang spesial di hidupmu. Ulang tahun ia yang kali ini tepat benar dengan hari liburmu dari pekerjaan, bagi ia itu sudah sebuah hadiah istimewa. Kau sempat terpikir untuk menggubah sebuah puisi seperti yang sering kau lakukan dulu, atau menyiapkan sekadar buah tangan entah apa. Meski kau tahu belaka, tak ada hadiah yang berguna untuk ia di sana. Hidupnya baik-baik saja dan ia bahagia. Meski hidupmu sendiri entah.

Sedikit lagi kau akan tiba di depan rumahnya, ia akan menyambutmu dengan senyum paling bahagia. Di depan sebuah kios penjual bunga kau hentikan motormu. Perjalanan hanya bisa kau teruskan dengan berjalan kaki. Kau rapikan anak rambutmu dan mengelap wajah kusutmu dengan selembar tisu. Setelah menerima setangkup kembang setaman kau berjalan dengan debar yang makin bertalu di relung dadamu.

“Ibu, aku datang. Selamat ulang tahun,” bisikmu lirih sembari membelai ujung batu nisan.(*)

 

Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi manusia, ibu dan penulis yang baik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

 

Leave a Reply