Perjalanan Baru Dimulai

Perjalanan Baru Dimulai

Perjalanan Baru Dimulai

Penulis : Ina Agustin

Dua hari setelah akad nikah, Aa Ahmad memboyongku ke rumah Emak di kawasan Salembaran Jaya Tangerang. Kendaraan roda empat yang disewanya melaju dengan kecepatan sedang. Kami beristirahat sejenak di Masjid Agung Pandeglang untuk salat Zuhur dan makan siang. Selama perjalanan, aku lebih banyak diam, hingga akhirnya terlelap. 

“Neng, bangun! Sudah sampai.” Aa Ahmad menepuk bahuku.

Emak menyambut hangat kami berdua. Sejenak, kami mengobrol santai. Lalu, Aa Ahmad mengajakku ke sebuah tempat yang damai. Sebuah bangunan yang besar dan megah, di atasnya terpasang kubah. Pada bagian dindingnya, hiasan kaligrafi terukir indah. Tiang-tiang terpancang gagah. Setelah kami menunaikan kewajiban, ia berbalik menatapku.

“Tempat ini akan turut menjadi saksi dimulainya perjalanan hidup kita,” tuturnya disertai senyuman. Selepas itu, ia mengajakku makan di warteg pinggir jalan. Kulihat porsi nasinya, hanya setengah dari porsiku. Ada sedikit rasa malu. Biarlah, daripada nanti tengah malam perutku keroncongan. 

Kami kembali ke rumah Emak dan melanjutkan percakapan di dalam kamar. Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan terkait kebiasaanku yang sering mendengkur saat tidur. Tapi, bagaimana cara memulainya? Dengan setengah malu, akhirnya kukatakan juga.

“Enggak masalah, Neng. Mencintai, berarti menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing,” jawabnya bijak.

“Cinta?”

“Iya, aa cinta sama Neng, setelah ijab kabul pernikahan kita.”

Ya Allah, bagaimana ini? Sampai sekarang, sama sekali belum ada rasa cinta di hatiku. Kami menikah melalui proses ta’aruf. Tidak saling mengenal sebelumnya, apalagi pacaran. Aku menerima lamarannya karena kuyakin ia laki-laki baik yang bisa membimbingku. Mengenai cinta? Entahlah, aku belum bisa merasakannya. Aku “melayaninya” sebatas menggugurkan kewajibanku sebagai seorang istri dari seorang lelaki sederhana, sesederhana namanya–Ahmad.

Percakapan kami lanjutkan mengenai tempat tinggal. Sesuai prinsip yang kami pegang, bahwa kami ingin hidup mandiri setelah menikah. Sebelumnya Aa Ahmad menanyakan padaku ingin tinggal di daerah mana?

Masih kuingat tentang pekerjaan Aa Ahmad yang tertulis di biodata. Ia seorang fotografer pengantin. Tugasnya mengambil gambar dan merekam jalannya pesta pernikahan. Laki-laki berpostur tinggi langsing itu sudah lama bekerja pada bos yang merupakan tetangganya. Melalui percakapan kami, baru kutahu ternyata ia mendapat uang ketika ada job saja. Sedangkan job foto pengantin tidak setiap hari ada. Itu berarti penghasilannya tidak menentu. Hal ini membuatku risau. Ah, kenapa aku lupa menanyakan secara detail terkait pekerjaannya saat ta’aruf dulu?

Sengaja aku memilih kontrakan yang dekat dengan tempatku mengajar. Lumayan untuk mengirit ongkos. Ya, sebelumnya memang ia mengatakan belum bisa membeli rumah dalam waktu dekat. Untuk sementara, kami tinggal di rumah kontrakan.

Lingkungan baru membuatku harus mawas diri. Sebisa mungkin aku bergaul dengan warga sekitar yang kebanyakan suku Betawi. Awalnya aku merasa tak nyaman dengan gaya bahasa mereka yang blak-blakan dan bicara dengan nada tinggi. Namun, lama-kelamaan jadi terbiasa. Walau begitu, kami berdua tetap komitmen untuk tidak memanggil dengan sapaan ‘lu, gua’, serta kata-kata lainnya yang mengandung arti kasar atau negatif bagiku.

***

Mentari pagi ini tersenyum hangat. Sinarnya menerobos jendela kontrakan kami. Terdengar suara piring beradu dari tetangga sebelah, sepertinya ia sedang mencuci peralatan makan. Kami tinggal di kontrakan bedengan dengan pembatas satu dinding saja dengan tetangga sebelah kanan dan kiri. Jadi, bukan hal aneh ketika kami bisa mendengar suara-suara mereka. 

Saat ini aku dan Aa Ahmad sedang menikmati sarapan nasi uduk yang baru saja kubeli. Selama sarapan, aku mengajaknya bicara. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ah, kesal sekali tidak direspon. Padahal apa salahnya, dijawab dengan singkat saja. Suasana sarapan kami benar-benar hening jadinya. Ia terlihat khusyuk saat mengunyah makanan hingga tandas lalu meneguk air. Aku mengerucutkan bibir.

“Maaf, ya, Sayang. Aa tidak suka ngobrol saat makan,” ucapnya sembari mengusap rambutku.

Oh My God! Kenapa ia tidak berkata dari awal? Aku kan, tak tahu. Butuh perjuangan untuk memahami karakter makhluk Tuhan yang satu ini. Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. ‘Perjalanan baru dimulai’.

Tamat

Serang, 18 September 2020

Bionarasi

Penulis bernama lengkap Ina Agustin, lahir di Pandeglang, 19 Agustus 1986 ini seorang ibu rumah tangga dari tiga anak laki-laki. Ia menyukai warna merah maroon dan memiliki hobi membaca serta membuat kudapan untuk keluarga. Motto: “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!” Penulis bisa disapa di akun FB : Ina Agustin atau IG : inamujahidah1986. y ��LZ

Editor : Freky M

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply