Peri Merah dan Peri Putih di Hutan
Oleh : Jeevita Ginting
Kamira melompati satu per satu undakan batu-batu licin berlumut untuk menyeberangi sungai berarus cukup deras. Ia penasaran dengan sesuatu yang berada di seberang sungai. Sesuatu seperti suara-suara jeritan yang memanggil namanya, lolongan, juga ledakan kembang api.
Di seberang sana terdapat hutan pinus. Sewaktu berumur lima tahun, ibu Kamira pernah bercerita bahwa ada peri merah dan peri putih yang menghuni hutan itu. Mereka akan mengabulkan permohonan orang baik hati yang ditemui. “Kamira anak baik.” Pamannya pernah bilang begitu sambil membelainya lembut. Jika beruntung, Kamira akan bertemu dengan mereka, lantas meminta agar bisa bertemu dengan sang ibu yang sangat dirindukannya.
Sesampainya di seberang, Kamira bergegas berlari memasuki hutan. Namun, ia merasakan sakit pada kedua telapak kaki yang berdarah karena menginjak ranting-ranting kering. Ia terlalu bersemangat pergi ke hutan, sampai tak ingat untuk mengenakan alas kaki. Kamira pun berjingkat, menyusuri hutan mengikuti sumber suara yang makin keras.
Di balik pepohonan, terlihat seorang lelaki yang duduk di sebuah batu besar sambil merintih, juga sesekali tertawa. Ia mengayun-ayunkan kedua telapak tangannya yang bersimbah darah. Terdapat dua makhluk seperti manusia berukuran sangat kecil yang melayang-layang mengitari lelaki itu. Yang satu berwarna merah, yang satunya putih. Mungkin saja itu kedua peri penghuni hutan.
Kamira menyipitkan mata, memperhatikan baik-baik laki-laki itu.
“Paman?” lirihnya.
Tidak salah lagi, itu paman Kamira. Entah apa yang ia lakukan di sini. Kedua peri yang terbang mengelilinginya terus menjentikkan jari, sehingga menghasilkan suara keras yang terdengar seperti ledakan kembang api. Setiap kali peri-peri menjentikkan jari, sang paman akan menjerit memanggil nama Kamira, kemudian tertawa. Dan pada saat itulah, darah akan keluar dari luka-luka di telapak tangan yang entah apa penyebabnya.
Tubuh Kamira bergetar, ia mundur beberapa langkah. Sepertinya kedua peri itu jahat. Mereka menyakiti pamannya. Namun, Kamira sama sekali tak merasa kasihan padanya. Ia ketakutan, kamira pun berlari menjauh, berusaha menyelamatkan diri.
Tiba-tiba, suara sang ibu dan paman terdengar berulang-ulang. Kamira mendongak. Gelap. Pepohonannya terlalu rimbun.
“Kamira … ke sini, Sayang. Paman mau ajak kamu ke suatu tempat.”
“Kamira, Sayang. Ibu mau bawa kamu ke rumah Paman. Ikut, ya?”
“Kamira, kamu anak baik jadi harus nurut sama Paman, ya.”
Kamira menutup telinga, tetapi suara-suara itu semakin jelas terdengar, membuat kepalanya terasa sakit. Ia pun terus berlari. Permukaan tanah yang tidak rata membuatnya tersandung. Hingga pada akhirnya, ia jatuh terjerembab ke jurang.
Kesadaran Kamira berangsur pulih setelah kedua tangan mungil dari makhluk kecil berwarna merah itu menepuk-nepuk pipinya dengan lembut. Suara sang paman masih terdengar jelas di telinga, ia semakin ketakutan.
“Baguslah kamu sudah bangun. Setidaknya kamu harus melihat harapanmu yang sudah terwujud, kan?” Makhluk kecil berwarna merah itu melayang-layang di depan wajah Kamira sambil tersenyum.
“Harapan?”
Kamira mengingat-ingat kembali semua hal yang ia alami. Kematian ayahnya, ibu yang menitipkan dirinya pada sang paman karena harus bekerja ke luar negeri. Juga betapa tersiksanya Kamira saat tinggal bersama sang paman.
“Kamira, kamu anak baik jadi harus nurut sama Paman, ya.”
Lelaki itu menggandengnya ke kamar baru yang akan ditempati. Ia mengikuti sang paman sambil memperhatikan sekeliling. Cat dindingnya mengelupas, lembab, dan kotor. Kamira sama sekali tak suka tempat ini. Ia terus merutuk dalam hati, menyalahkan sang ibu yang tega membiarkannya tinggal di tempat seperti ini.
Sesampainya di kamar, Kamira langsung menaruh tas ke dalam lemari. Debunya sangat tebal, ia sampai bersin beberapa kali
“Kapan terakhir kali kamar ini dibersihin, sih?” tanyanya sambil mengusap-usap hidung.
“Ah iya, paman lupa ngebersihin.” Sang paman tersenyum, lantas membetulkan anak rambut Kamira yang menutupi wajah. “Kamira?”
“Iya, Paman?”
Tiba-tiba, sang paman membekap, lalu menyibak rok yang Kamira kenakan. Ia meronta, berusaha berteriak. Semua terjadi begitu cepat, sang paman menggagahinya tanpa belas kasih. Setiap malam menjelang tidur, ia harus menjadi pemuas nafsu birahi sang paman.
Suatu malam, seusai sang paman menjajakinya, Kamira lari menuju hutan dengan darah yang terus menetes dari selangkangan. Ia tak memiliki tujuan, yang terpenting baginya adalah jauh dari lelaki bejat itu.
Keadaan gelap gulita, membuatnya tersandung, dan jatuh terperosok ke jurang. Pada saat itulah, peri putih datang. Yang Kamira inginkan saat itu hanya satu, ia ingin sang paman menderita. Sangat menderita.
Ibu Kamira terus menangis di depan makam Kamira. Sampai kapan pun, ia tak terima atas perbuatan kakak iparnya. Lelaki itu harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lebih menderita daripada sekadar menjadi cemoohan orang-orang yang membuatnya kehilangan akal.
Jeevita Ginting. Sangat menggemari lagu-lagu Ed Sheeran
Editor : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata