Peri Cinta dan Pangeran Pare
Oleh: Asrunalisa
Di sebuah desa nan jauh, tinggallah seorang saudagar kaya bersama putri tercintanya bernama Bawang Putih. Ibu Bawang Putih sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat sakit keras. Setelah ibunya meninggal, Bawang Putih sering ditinggal ayahnya untuk berdagang keluar kota. Merasa kasihan melihat putri tercintanya kesepian, akhirnya ayah Bawang Putih pun menikah lagi dengan janda beranak dua.
“Putih, Ayah berangkat dulu ya. Kamu baik-baik di rumah bersama Ibu dan saudara tirimu.”
“Baik, Ayah. Ayah hati-hati ya di jalan.”
“Sudahlah. Biarkan ayahmu berangkat, Putih. Nanti dia terlambat, lho. Kalau ayahmu terlambat berdagang, kita akan mati kelaparan tahu. Ya sudah, suamiku. Kamu berangkat saja ya, jangan sampai terlambat. Bawa pulang uang yang banyak ya, hehehe.”
Kali ini, ada perasaan berat bagi Bawang Putih melepaskan kepergian ayahnya. Namun dia berusaha menutupinya.
“Selamat jalan, Ayah. Pulang nanti, jangan lupa beli kami baju baru ya,” Suara Bawang Merah dan Bawang Bombai serentak.
Saudagar kaya itu pun berangkat. Namun nahas, di jalan ia dijemput maut. Akhirnya Bawang Putih pun sah menjadi seorang yatim piatu. Dan mulai hari itu juga Ibu dan kedua saudara tirinya mulai menjalankan aksinya setelah mengambil alih warisan.
“Mampus kau, Bawang Putih,” kata Bawang Merah sambil berkacak pinggang.
***
“Putiiih!” teriak ibu tirinya.
“Iya, Bu. Ada apa?”
“Tuh, meja makan masih kosong. Kamu ngapain aja di dapur, tidur?”
“Tidur kok di dapur, Bu. Ya di kamar, toh.”
“Sana, siapkan saya sarapan. Saya lapar. Oya, satu lagi, jangan panggil saya Ibu, saya bukan ibumu. Panggil saya Nyonya, paham?”
“Iya, Bu, eh Nyonya. Segera saya laksanakan.”
Nyonya kok judes, emang aku digaji berapa, gumam Bawang Putih sambil manggut-manggut ke dapur.
Baru saja dia mau menata makanan di atas meja, tiba-tiba terdengar teriakan Bawang Bombai memanggil namanya. Spontan saja Bawang Putih menuju kamar Bawang Bombai.
“Dipanggil kok lama banget sih, jalannya udah kayak siput aja.”
“Maaf, tadi lagi siapkan sarapan di dapur.”
“Maaf. Maaf. Alasan! Sini kamu, pasangkan aksesoris ini di kepalaku. Tapi sebelumnya sisir dulu rambutku ini, yang rapi ya.”
“Hei, Putih, kamu letakkan di mana selendang merahku?” kata Bawang Merah sambil menjambak rambut Bawang Putih yang sedang menyisir rambut si Bawang Bombai. Spontan saja Bawang Putih terjatuh dan Bawang Bombai pun ikut terjatuh ke lantai.
Begitulah aksi mereka setiap hari. Mereka selalu memperlakukan Bawang Putih seperti seorang pembantu. Aku selalu memantau mereka, aku tahu Bawang Putih itu anak yang baik dan rajin, mereka tidak pantas memperlakukannya demikian. Namun sayang, tongkat saktiku hilang, jadi aku tidak bisa membantunya.
Setiap hari Bawang Putih ke sungai—tidak begitu jauh dari rumahnya—untuk mencuci pakaian. Hingga suatu hari, tiba-tiba arus datang begitu deras dan menghanyutkan pakaiannya. Putih sudah berusaha mencari tetapi gagal.
Hingga sore itu ia tersesat di hutan dekat sungai itu. Hari semakin gelap. Putih tersandung batu dan akhirnya dia pingsan. Tubuhnya lemas karena belum makan dari tadi pagi. Putih ditemukan oleh seorang pemuda yang sedang berburu kelinci. Kemudian pemuda itu membawanya ke sebuah rumah yang dihuni oleh seorang nenek tua.
“Beraninya kamu membawa pulang seorang gadis ke sini. Siapa dia?”
“Ini, Nek. Emmm … dia itu aku temukan di hutan pinggiran sungai. Karena kasihan, maka aku bawa saja dia ke sini. Sepertinya dia hanya kelelahan.”
Keesokan harinya Putih mulai siuman. Matanya melotot melihat sekeliling yang asing baginya. Ada rasa perih di kakinya, tetapi kakinya sudah terbalut dengan rapi.
“Kakimu masih sakit?” tanya sang Nenek.
Putih hanya mengangguk pelan. Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya pun sedikit gemetar melihat sang Nenek.
“Ooh … ndak usah takut, Neng. Kemarin itu kamu ndak sadarkan diri, sepertinya kamu terjatuh dan ditemukan oleh cucu Nenek. Tunggu sebentar ya, Nenek ambilkan minuman hangat untukmu, supaya tubuhmu segar kembali.”
***
Sudah hampir seminggu Bawang Putih tinggal bersama nenek tua itu, tapi dia belum pernah berjumpa dengan cucu sang Nenek. Selama Bawang Putih tinggal bersama Nenek, dia selalu membantu pekerjaan Nenek seperti menyapu halaman, memasak, mencari kayu di hutan dan lain sebagainya.
Pada suatu hari ketika Putih sedang menyapu, terdengar pengumuman yang bahwa Pangeran Pare akan mengadakan kontes kecantikan sekecamatan. Siapa yang akan memenangkan acara tersebut akan dinikahi oleh Pangeran Pare. Putih minta izin pada sang Nenek untuk ikut dalam acara tersebut, dan Nenek pun menyetujuinya.
Lalu sang Nenek menjahitkan gaun untuk Bawang Putih. Selama proses penjahitan, aku mencoba membantu sang Nenek agar hasil jahitannya cepat selesai. Nenek bisa melihatku sebagai seorang peri, tetapi tidak dengan Bawang Putih. Setelah bekerja seharian, akhirnya gaun pun siap.
Keesokan harinya Bawang Putih mencoba mengenakan gaun, lalu rambutnya disimpul rapi, wajahnya bak bidadari yang turun dari kayangan. Gaun tersebut berwarna putih dihiasi dengan payet yang berkilauan. Sungguh pemandangan yang sangat mengagumkan. Saat Putih sedang bercermin, tiba-tiba datang seekor tikus menggigit bagian bawah gaun tersebut. Putih tampak bersedih, tetapi dia tetap bertekad untuk mengikuti acara tersebut.
***
Acara pun selesai, dan tibalah pada pemilihan pemenang. Pembawa acara pun mengumumkan siapa pemenang dari acara tersebut. Para peserta sudah tidak sabar untuk mendengarkan siapa yang akan memenangkan kontes kecantikan ini. Bawang Putih terlihat tenang menunggu diumumkannya hasil kontes.
“Baiklah, para hadirin, saya akan memanggil nama pemenangnya. Nama yang saya sebut harap menuju ke pentas ya! Adapun yang memenangkan kontes ini adalah … Bawang Meraaah!”
Bawang Merah meloncat kegirangan dan disusul tepuk tangan para penonton. Dia sangat senang karena sebentar lagi Pangeran Pare akan menikahinya. Matanya sinis memandang ke arah Bawang Putih. Namun, Bawang Putih tetap tenang sebagaimana pesan sang Nenek.
“Harap tenang semuanya. Tenang! Sekarang mari kita sambut Pangeran Pare yang sebentar lagi akan menikahi Bawang Merah sebagai permaisurinya.”
Serentak para penonton terdiam setelah melihat Pangeran Pare. Ternyata kakinya pincang dan jalannya dibantu dengan tongkat besi. Matanya sebelah kiri ternyata buta, mata sebelah kanan sedikit kelilipan, mulutnya sumbing dan tubuhnya pun sudah bongkok. Pangeran Pare langsung merangkul Bawang Merah yang seketika membuat Bawang Merah pingsan. Sungguh pemandangan yang mencengangkan.
Tiba-tiba seorang pemuda beralis tebal, hidung mancung, tubuhnya tegap serta berambut ikal datang menghampiri Bawang Putih. Seketika itu juga aku datang menghampiri keduanya, kuhembuskan benih-benih cinta di antara mereka. Ya, aku adalah Peri Cinta, dan pemuda gagah tadi merupakan cucu sang Nenek. Dia segera melamar Bawang Putih. (*)
Bireuen, 29 Januari 2019
Note: Cerita ini merupakan fanfiction dari dongeng “Bawang Merah dan Bawang Putih”.
Asrunalisa, lahir di tanah Serambi Mekah 6 Mei silam, ingin menjadi wanita penikmat kata dan pecinta sastra. Selalu berusaha menuangkan imajinasi dalam bentuk tulisan. Menyukai warna cokelat. FB: Asrunalisa Asnawi.
Tantangan Lokit 11 adalah kompetisi menulis cerpen yang diadakan di grup FB KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata