Perginya Sang Cinta Pertama
Oleh: Nona Ilma Al-ghifari
Cerpen Terpilih ke-18 pada #Tantangan_Lokit_6
Hai ….
Satu pesan WA muncul di layar handphone-ku. Pengirimnya entah siapa karena nomornya baru. Aku yang memang penasaran segera membalasnya.
Siapa?
Sosok yang pernah suka padamu.
Kalimat itu berhasil membuatku sedikit tersipu, tetapi dengan cepat aku menepis GR itu, mungkin saja dia bergurau.
Jangan bercanda! Kamu siapa?
Sidiq.
Jari yang awalnya ingin mengetik tiba-tiba berhenti, mengeja nama itu dengan pikiran yang mulai berputar ke masa lalu. Dan ternyata benar, dia laki-laki yang pernah menyukaiku.
Oh
Cuma “oh”?
Terus aku harus balas apa?
Kamu masih ingat aku?
Diam. Aku tidak berniat cepat membalasnya, toh, siapa dia, kenapa aku harus cepat-cepat menjawab, biarkan saja dia menunggu.
Kau selalu saja membuatku menunggu, bahkan sampai saat ini.
Hah, apa maksudnya? Apa dia sekarang jadi cenayang, bisa tahu apa yang kupikirkan saat ini.
Menunggu apa? Siapa yang menyuruhmu menungguku?
Kau memang tidak pernah peka pada perasaanku Aira!
Aku tersenyum, dia masih ingat namaku.
Jawab dong!
Ya sabar dong, aku kan, harus ngetik.
Kalau tidak mau ngetik aku telepon saja, gimana?
Jangan!
Tuh, giliran digituin balesnya cepet, kamu memang tidak pernah berubah Aira.
Kamu juga.
Aku?
Iya.
Apa memangnya?
Ah, lupakan, aku malas.
Beberapa menit tidak ada balasan darinya, hanya dibaca saja. Apa dia marah? Ah, biarkan saja, itu memang sikapnya dari dulu. Lagi pula kenapa dia muncul kembali, terutama hanya untuk menagih rasa yang memang tak pernah kuberikan padanya, percuma!
Namun, kedua mataku membulat saat nama dan PP-nya muncul di layar handphone. Dia meneleponku, dan aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku mengangkat telepon dari Sidiq, tidak! Sampai akhirnya bunyi panggilan berhenti, rupanya dia menyerah dengan mudah. Huh, lagi-lagi dia tidak pernah berubah.
Kenapa tidak diangkat?
Posesif sekali. Aku lagi sibuk.
Oh, kenapa tidak bilang?
Eh, buset dia nggak peka.
Bagaimana bilangnya, kan, kamu nelepon tiba-tiba tanpa ngasih tahu.
Oh jadi aku harus lapor dulu sama kamu?
Eitdah, dia nggak ngerti.
Au ah … gelap.
Kenapa, mati lampu?
Udah ah, aku capek bales chat kamu.
Tidak ada balasan lagi, bahkan kali ini dia tidak membacanya, ke mana? Ah, sudahlah! Lebih tenang sebelum ada dia lagi seperti ini.
Hei, kenapa kamu ada lagi di saat aku ingin melangkah dari masa lalu. Apa kamu tidak ingin aku bahagia? Sudah cukup kamu mengusik ketenanganku dari dulu yang memang tidak pernah tertarik padamu.
Aku menghela napas. Kamu teman baikku, tapi itu dulu sebelum kamu jujur tentang perasaanmu padaku. Awalnya aku tidak pernah merespons apa yang kamu katakan tentang isi hatimu, tapi lama-lama kamu semakin bawel dan posesif, aku tidak suka itu.
Setiap laki-laki yang niatnya hanya sekadar berteman saja, kamu usir dengan kasar, bahkan mengaku-ngaku jika aku milikmu, jika aku kekasihmu, jika aku itu bonekamu.
Aira.
Tiba-tiba pesanmu masuk lagi. Sebenarnya aku sudah malas, tetapi aku hanya ingin bersikap normal layaknya teman biasa.
Apa?
Bisa kita bertemu sebentar saja.
Tidak bisa, Dik. Aku sibuk. Sebenarnya aku malas. Bukan benar-benar sibuk.
Oh begitu, baiklah. Thank udah luangin waktu buat nemenin aku chat.
Hmm ….
Mungkin ini chat terakhir dariku, semoga kamu bahagia selalu dan mendapatkan seseorang yang menurutmu baik. Dan mungkin ketika seseorang itu ada, kamu tidak akan bisa memperkenalkan dia padaku, bisa saja karena aku sudah pergi ke tempat yang jauh. Bagaimanapun kamu tetap cinta pertamaku, walau aku tak yakin kau yang terakhir untukku. Jadi, jaga dirimu baik-baik ya, Sayang. :-*
Hehehe … sorry pake emot gitu sambil bilang “Sayang”, takut tidak akan kesampaian. Ya sudah, tidur gih, udah malam. Good night sweetie. 😊
Maksudnya apa? Kenapa hatiku berdenyut melihat kata-kata seperti ini. Dia lebay, kalau mau pergi ya pergi saja, dari dulu dia memang pergi tanpa pamit, ini pun tumben berkata seperti itu dulu.
Malas membalas, akhirnya kututup room chat WA-ku dan tertidur dengan rasa yang tak keruan entah karena apa.
***
Beberapa hari ini kenapa aku selalu mengecek pesan darinya. Padahal, aku sendiri yang berharap dia tidak pernah menggangguku lagi.
Karena bosan akhirnya aku membuka Facebook seraya menghilangkan kejenuhan. Tiba-tiba sebuah akun yang aku kenal lewat di beranda dengan status yang sedikit membuatku penasaran.
Larasati
Tenanglah kamu di sana, Sayang. Semoga Tuhan menjagamu di sisi-Nya.
Suka Komentar Bagikan
Aku terdiam menatap layar ponsel dengan jantung berdegup. Perlahan jariku menyentuh layar tepat pada opsi komentar di statusnya.
Siapa yang meninggal, Laras?
Sepuluh menit kemudian dia tidak kunjung membalas dan aku hanya diam dengan rasa penasaran yang membumbung tinggi.
Ting!
Messenger-ku berbunyi pertanda sebuah pesan masuk dan ternyata itu Laras.
Kamu jahat Aira!
Maksud kamu?
Kenapa kamu tidak mengabulkan permintaan terakhirnya?
Aku masih tidak mengerti apa maksud temanku ini. Aku bertanya siapa yang meninggal kenapa dia meracau nggak jelas seperti itu.
Laras, aku tanya siapa yang meninggal tapi kenapa kamu tiba-tiba bertingkah seperti ini dan menyalahkanku, apa salahku?
Dia sudah tiada Aira!
Iya, siapa?
Sidiq.
Aku terdiam. Tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Tubuhku lemas seketika dan ambruk di dekat pintu kamar. Sidiq meninggal? Laki-laki yang kemarin aku marahi. Laki-laki yang kemarin aku omeli karena sikapnya yang tidak berubah. Laki-laki yang kutolak mentah-mentah untuk bertemu dengannya. Laki-laki yang tiba-tiba pamit akan pergi hingga memberiku nasihat agar menjaga diri baik-baik saja.
Aku merasa bersalah. Maafkan aku, Sidiq. Tak sepantasnya aku bersikap seperti itu. Hukum aku jika kamu mau.
***
“Maafkan saya Tante.” Aku duduk di depan wanita paruh baya yang tengah menangis tersedu-sedu.
“Tidak apa-apa, Nak. Ini bukan salahmu. Semua sudah menjadi takdir Tuhan dan tidak ada yang bisa melawannya. Sidiq memang dari dulu sudah sakit dan dia menghilang hanya karena berusaha menyembunyikannya darimu.”
Kalian tahu rasanya saat mengetahui kenyataan yang selama ini dianggap sebuah kesalahan. Aku menyesal yang selalu menyalahkannya karena pergi tanpa pamit. Menghilang tiba-tiba tanpa kata perpisahan.
Aku memeluk Tante Jeni. Dua tahun sejak kecelakaanku, kami memang tidak pernah berhubungan lagi, dan kebetulan Sidiq tiba-tiba menghilang yang aku kira dia menjauhiku karena kondisiku yang menjadi cacat.
“Jadi, selama ini Sidiq tidak menghindariku karena aku cacat?” Aku tersengguk dan Tante Jeni mengangguk.
“Maafkan aku, Tante. Aku selalu berpikir negatif pada Sidiq, kupikir dia malu berteman dengan gadis cacat sepertiku yang tidak bisa berjalan lagi.”
“Tidak, Sayang, tidak! Begitu kamu kecelakaan kondisi Sidiq tiba-tiba drop dan akhirnya kita bawa ke rumah sakit luar kota. Dia yang meminta tidak memberitahumu agar kamu tidak mengkhawatirkannya.”
“Ya Allah, aku berdosa, Tante. Maafkan aku, Sidiq.”
Aku luruh di depan semuanya. Ibuku dan Tante Jeni mengusap punggungku lembut. Namun, tetap saja aku merasa bersalah. Bahkan, saat dia ingin bertemu denganku, dengan tegas aku menolaknya.
Sekarang hanya penyesalan saja yang menjadi luka di hatiku.
Maafkan aku …. (*)
Ilma, yang lebih nyaman dipanggil Non. Seorang ibu rumah tangga baru satu bulan ini. FB: Nona Ilma Alghifari
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata