Pergi (Terbaik ke-26 TL15)

Pergi (Terbaik ke-26 TL15)

Pergi

Oleh : Siti Nuraliah

Terbaik ke-26 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Suara ledakan bersahutan, gedung-gedung hancur, beberapa rumah porak-poranda. Semua orang panik, mencari tempat aman untuk melarikan diri. Aku mengintip dari balik jendela, asap hitam serupa gulungan kasur mengepul ke atas langit. Aku semakin takut, saat desing peluru semakin jelas terdengar. Tanganku dingin, tubuhku terasa kaku, membayangkan Ayah yang sejak kemarin berjaga di perbatasan.

Ibu terus memelukku erat, merapalkan banyak doa. Kami masih bertahan tidak meninggalkan rumah, sebelum Ayah kembali. Situasi seperti ini, seharusnya tidak lagi membuat kami merasa takut untuk mati. Sebab, bukan pertama kali mereka yang disebut penguasa menggempur wilayah ini. Aku masih terngiang ucapan Ayah, lebih baik mati mempertahankan tanah sendiri daripada hidup menjadi babu para serdadu.

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk dengan tergesa-gesa. Aku beringsut, semakin takut dan menenggelamkan kepala di pelukan ibu. Detak jantung Ibu terdengar nyaring di telingaku. Kami saling tatap saat suara ketukan di pintu semakin keras.

“Bu … Bu … cepat buka pintunya! Ini Ayah!”

Aku sedikit lega, Ibu melepaskan pelukannya dan berlari membukakan pintu. Aku masih lemas, dan duduk bersandar di dinding. Mengatur napas yang sempat sesak akibat rasa takut berlebih.

Mereka berbicara setengah berbisik, aku tidak bisa mendengar jelas. Kemudian Ayah menghampiriku, mencium keningku dan berbisik, “Kamu dan Ibu harus pergi menyelamatkan diri.” Dengan gerakan cepat  Ayah membuka lemari, memasukan beberapa potong baju ke dalam tas, dan mengambil sesuatu dari dalam laci. Aku menatap wajah Ibu yang masih mematung setelah menutup pintu, kepalanya menggeleng dengan air mata yang sudah menggenang. Aku tidak tahu perasaan apa ini: Cemas? Takut? Atau … entahlah.

“Ini!” Ayah menyodorkan bungkusan kecil dan tas berisi pakaian serta beberapa kebutuhan lain.

“Kalian harus segera pergi, biarkan Ayah tetap di sini.”

Ibu masih menggeleng, tangisannya pecah. Ia memeluk Ayah dengan tubuh berguncang.

“Ayah juga jaga diri, ya!” ucap ibu dengan suara serak menahan isakan tangis, aku melihat bibirnya bergetar.

Ayah mengangguk dan mengusap air mata Ibu di pipi, kemudian mengalihkan pandangannya kepadaku, membungkuk, menyejajarkan kepalanya dengan kepalaku. Ditatapnya mataku dengan lekat, lantas menepuk pundakku seraya berkata, “Jagoan Ayah harus kuat, gak boleh cengeng.”

“Ayo cepat!”

Ayah membuka pintu, lalu melihat keadaan di luar. Setelah dirasa aman, dengan gerakan tangannya, mengajak kami agar segera berlari. Aku memandang langit, gumpalan asap hitam perlahan memudar di awang-awang, suara ledakan beberapa kali masih terdengar.

***

Di sini, barangkali kami aman dari senjata para pengkhianat yang dibutakan kekuasaan. Tapi ancaman lain datang dari perut-perut lapar kami yang minta diisi. Sepuluh hari sudah berlalu, aku dan Ibu bersama para pengungsi lain berada di pengungsian. Persediaan bekal sudah menipis.

“Kalo begini, kita bisa mati kelaparan,” ucap salah satu pengungsi yang anaknya masih bayi.

“Saya hanya masih ada persediaan air minum, mau?” Sambil mengelus kepala bayi itu, Ibu menyodorkan satu botol air mineral.

Cuaca panas semakin membuat tenggorokan kami terasa kering. Beberapa orang terpaksa meminum air keran dari kamar mandi sekolah tempat kami tinggal sementara. Meski kondisinya sudah memprihatinkan, tapi sedikit memberi kami rasa aman karena terletak jauh dari perbatasan.

Tidak lama kemudian, sebuah pesawat helikopter mendarat di lapangan sekolah, orang-orang  berseragam corak hijau coklat datang membawa beberapa kardus besar yang aku tidak tahu isinya. Mereka  berteriak meminta kami berkumpul.

“Kemari, kemari!” perintah salah satu yang paling tinggi di antara mereka. Temannya yang lain sibuk mengangkat barang dan meletakkannya di meja kayu yang diambilnya dari dalam kelas. Mereka bergerak sangat cepat.

Ibu menarik tanganku agar ikut berkumpul bersama warga yang lain. Aku berjinjit penasaran, apa yang mereka bawa. Perutku berbunyi, aku mendongak menatap wajah Ibu, meminta perhatian. Perutku lapar.

“Selamat siang semua!” sapa seseorang yang dipanggil Komandan oleh temannya itu.

“Siang, Pak!” kami menjawab serempak.

Siang yang sangat panas membuat bajuku basah oleh keringat. Tidak terkecuali beberapa orang yang lain. Aku mengusap keringat yang membasahi pelipis. Perutku semakin melilit.

“Semoga kita dalam keadaan sehat, ya. Bapak-Ibu, hari ini kami membawa bantuan yang terdiri dari makanan siap saji, makanan ringan, air mineral, mi instan, beras, obat-obatan, dan beberapa keperluan bayi dan anak-anak.”

“Dimohon agar tetap bersabar, karena keadaan di sana masih darurat. Kita masih belum bisa kembali dalam waktu yang belum bisa ditentukan.”

“Tapi jangan khawatir, kami dan tim relawan yang lain akan tetap berusaha semaksimal mungkin supaya tetap bisa menyalurkan bantuan, minimal dua pekan sekali. Mengingat jalur transportasi yang sulit dan lokasi pengungsian bukan hanya di sini,” kata komandan itu lagi.

“Alhamdulillah …” Ibu bergumam.

Kemudian, kami satu-satu dipersilakan untuk mengambil bantuan. Tidak ada yang ingin mendapat lebih dulu, Ibu ikut mengantre, aku kembali duduk di lantai mengambil sisa air minum yang tinggal setengah botol.

Setelah semuanya dipastikan kebagian, orang-orang berseragam itu pulang.

***

Malam ini terasa sangat mencekam, aku melihat wajah Ibu muram, ia beberapa kali menempelkan ponselnya di telinga. Ayah sudah tiga hari tidak bisa dihubungi. Ibu gelisah. Aku pun mulai bosan, sudah satu bulan tidak bisa bertemu teman-teman, bermain bersama mereka, dan sekolah seperti biasa.

“Bu, kok Ayah belum menyusul kita, Fatih kangen sama Ayah. Ayah pasti baik-baik aja kan, Bu?”

Aku merengek di samping Ibu, tapi ia tidak menjawab rengekanku, hanya mengelus kepalaku lalu memelukku seperti takut kehilangan. Hawa dingin dari jendela tanpa kaca terasa sangat menusuk kulit sampai tulang. Di sini, orang-orang meringkuk tanpa selimut dan hanya beralaskan tikar. Cahaya kilat terlihat dari kejauhan, disusul percikan merah seperti kembang api, lalu terdengar suara seperti petasan besar. Kami semua kaget, bayi-bayi yang tidur terbangun dan  menangis.

Esoknya, dua pesawat helikopter mendarat lagi. Kali ini mereka tidak membawa apa-apa.

“Ayah!” aku berteriak. Melihat Ayah melompat dari pesawat, disusul teman-temannya yang lain. Aku berlari menghampiri Ayah, Ibu mengekor di belakang.

Kami bertiga berpelukan. Ibu mengusap sudut matanya yang basah. Aku menyadari lengan kiri Ayah diperban. Ia menceritakan bahwa itu hanya luka kecil, tapi Ibu tetap panik bila saja tak ditenangkan oleh Ayah.

“Luka sekecil ini hal biasa bagi para prajurit, Bu. Ibu jangan khawatir, ya!” 

“Ibu khawatir, tiga hari Ayah gak bisa dihubungi. Ibu takut kalau …”

“Sudah, sudah … nggak apa-apa, tenang aja.” Ayah memeluk Ibu, kemudian mengajaknya berbicara. Aku anak yang tidak suka menguping obrolan orangtua, kata Ibu, itu tidak sopan.

Orang-orang sibuk mengemas kembali barang-barangnya, dibantu para relawan yang berseragam seperti yang dipakai Ayah. Rencananya kami akan dipindahkan ke pengungsian yang lebih aman. Pulau kecil nan terpencil sebelah barat dari wilayah kami. Keadaan semakin genting, Ayah membawa kabar, rumah kami hancur akibat ledakan tadi malam.

Barang-barang semua dimasukan ke dalam helikopter, kami dikumpulkan untuk diberi instruksi lebih dulu. Ayah sudah bergabung bersama temannya, membantu mengangkat barang-barang warga yang lain.

“Bu, tolong ikhlaskan dan ridhoi Ayah, bila takdir membawa Ayah pulang ke hadapan-Nya di pertempuran ini,” ucap Ayah saat hendak pergi lagi, setelah  hampir empat jam perjalanan untuk sampai ke pulau ini.

Kami berpelukkan untuk yang kesekian kalinya. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Yang kutahu, Ibu dengan berat hati melepas Ayah kembali dan aku yang masih banyak tidak pahamnya hanya bisa mentaatinya.

Tenda-tenda sudah dipasang, orang-orang berseragam satu per satu masuk kembali ke dalam helikopter. Baling-balingnya berputar kencang mengeluarkan bunyi serta angin yang mengibas daun-daun di dekatnya. Dua helikopter itu meninggalkan kami. Tempat ini adalah penjara baru demi menyelamatkan diri.

Ibu masih diam, mengeluarkan bungkusan kecil yang saat itu diberikan Ayah. Cincin pernikahan yang dipakai di jari manis Ayah bertengger di dalam kotak merah bata. Aku mendekati Ibu, saat ini aku mulai mengerti perasaan perempuan berhati lembut di hadapanku. Ia membuka cincin yang melingkar di jari manisnya, kemudian meletakkannya di samping cincin Ayah. Sambil terisak, sebutir air jatuh membasahi pipinya.(*)

 

Banjarsari, 22 April 2020.

 

Alya El-hamdanie Siddiq’Tc, nama aslinya adalah Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka membaca, kadang suka menulis. Hanya penulis amatir yang berusaha terus belajar memperbaiki tulisannya. Bermimpi suatu saat nanti tulisannya ada dalam sebuah buku.

 

Komentar Juri:

Jika bicara tema (karantina) yang sudah ditekankan juri berpoin cukup besar, cerpen ini memenuhi syarat itu. Tokoh di cerita ini memunculkan emosi seseorang dalam kondisi terkarantina: takut, rindu, tetapi tetap memancang harapan perubahan. Ending-nya pun diserahkan kepada waktu (tidak dijawab di dalam cerita), sehingga kungkungan itu tetap hidup di benak pembaca setelah menyelesaian pembacaan.

Simbol cincin yang disandingkan di akhir cerita pun bermakna ganda, bisa pasrah pada nasib karena cincin itu sudah dilepaskan dari jari manis masing-masing, atau sebaliknya, percaya bahwa mereka akan bersatu lagi selayaknya cincin yang bersetia di dalam kotak kecil tersebut. Kembali, pembaca yang disilakan “menulis” sendiri kelanjutan ceritanya di benak masing-masing. Suka yang happy ending atau sad ending? Pilih sendiri. 😀

-Berry Budiman

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply