Perfectly Incomplete (3)

Perfectly Incomplete (3)

Perfectly Incomplete
Bagian 3: Hal-hal Tak Terkatakan

Untuk pertama kalinya, Manaf memegang wajah Arum. Menghapus pelan air matanya yang masih jatuh. Kemudian mengecup kening Arum sekilas.

“Aku baik-baik saja. Pulanglah.”

Arum menggeleng. Matanya menembus pandangan Manaf. Arum tidak ingin pergi. Satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah memeluk laki-laki itu. Rasanya ia ingin mati ketika mendapati berita kepergian laki-laki itu.

“Sudah kukatakan, aku akan selalu berjalan di sampingmu.”

***

Sejak tadi, Iin berusaha menarik Arum kembali ke kesadarannya. Sudah lebih dari lima kali Iin memanggilnya, tapi ia tak bereaksi sedikit pun. Matanya menatap kosong pada dinding berwarna putih di depan, sekitar lima meter dari tempat mereka terduduk.

“Rum!”

Iin mengguncang-guncang tubuh perempuan di depannya, sampai Arum kembali berkedip dan memindai sekitar. Kemudian, ia kembali menangis. Melihat hal itu, Iin yakin bahwa Arum sedang merasa sangat buruk. Kehilangan seseorang yang sangat dekat, memang hal buruk dari segala hal buruk yang ada. Begitu pikir Iin.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki berusia sekitar 53 tahun mendekat. Katanya, Manaf sudah siap dibawa pulang dan dikebumikan. Laki-laki itu–ayah Manaf–mengajak istri serta kedua anaknya dan juga Arum untuk pulang. Mereka akan membawa jasad Manaf ke rumah terlebih dahulu sebelum membawanya ke kampung untuk dimakamkan.

Dalam perjalanan pulang itu, Arum tidak lagi mengendarai motor. Ibu Manaf mengkhawatirkan gadis itu sehingga ia meminta putranya–adik Manaf–untuk mengendarai motor itu, sedangkan Arum bersamanya di mobil. Selama perjalanan pulang, tak ada air mata yang berhenti mengalir. Hanya saja, suara tangis tidak lagi memekik seperti tadi.

“Aku tadi melihat Manaf di rumah sakit.”

Iin menoleh, mengernyit. Ia bertanya-tanya dalam pikirannya apa yang dimaksud oleh Arum. Ia tidak menemui Manaf selama di rumah sakit tadi. Arum hanya terduduk bersamanya di kursi tunggu. Lalu bagaimana ia bisa melihat Manaf?

“Dia tersenyum. Dia baik-baik saja. Tak ada luka sedikit pun. Lalu, kenapa tiba-tiba dia berada dalam ambulance  dan kita masih dalam keadaan kacau seperti ini?”

Iin dan ibunya tersentak mendengar kalimat Arum. Mereka tidak dapat mengatakan apa pun. Yang mereka tahu, saat ini Arum benar-benar lebih buruk dari perkiraan mereka.

“Arum, tidurlah. Kamu pasti lelah,” ujar ibu Manaf.

Arum yang kebingungan hanya bisa menurut. Ia memejamkan mata. Tetapi ia tidak benar-benar tidur. Bahkan tak sedetik pun ia tertidur. Pikirannya lebih berat ketimbang matanya yang sudah membengkak.

Apa yang terjadi padaku?  tanyanya dalam hati.

Perjalanan itu tak lama. Hanya lima belas menit, atau mungkin kurang, mereka sudah sampai di halaman rumah Manaf. Di sana sudah banyak para tetangga yang berdiri menunggu dan di antara mereka juga ada keluarga Arum—kakak dan ibunya. Arum mengira keluarganya sudah di sana sejak pagi. Meski rumah mereka tidak berdekatan, tetapi orangtua Manaf dan ibu Arum sangat dekat. Terlebih lagi, keluarga Arum juga menyukai Manaf. Laki-laki itu sungguh baik dan lembut. Kalau kata ibu Arum, Manaf adalah calon menantu idaman.

Jasad Manaf diturunkan dari ambulance dan diantar ke dalam rumah. Dari belakang, orang-orang ikut berjalan dan memasuki rumah. Tujuannya tentu untuk mendoakan dan melihat Manaf untuk terakhir kalinya sebelum dibawa ke pemakaman.

Dila, kakak perempuan Arum satu-satunya, memilih mendekati sang adik dan memeluknya ketimbang mengikuti orang-orang itu ke dalam. Sudah terlalu banyak orang yang mengikut Manaf ke dalam dan mencoba memberi kekuatan pada keluarga yang ditinggalkan, tetapi tak satu pun orang melakukan hal itu pada adiknya. Seperti keluarga Manaf yang terluka, Arum juga begitu. Ia tahu persis bahwa saat ini Arum betul-betul hancur.

“Menangislah kalau kamu masih ingin menangis. Tidak apa-apa, Rum.”

“Aku ….” Arum tak sanggup mengucapkan kalimat apa pun. Ia hanya kembali menangis dan memeluk Dila.

“Kita pulang saja, ya?” ajak Dila.

Menurut Dila, untuk saat ini mungkin lebih baik bagi Arum kembali ke rumah dan menjauh dari rumah ini. Berada di sini tidak akan membuat dia lebih baik, tetapi justru sebaliknya. Kalaupun di rumah kemungkinan Arum membaik itu sangat kecil, setidaknya Arum bisa menangis dengan lebih lepas.

“Aku merasa Manaf masih ada di sekitarku, Kak. Aku … aku masih bisa melihatnya.”

“Sudah, jangan pikirkan lagi. Semuanya akan kembali baik-baik saja nanti.”

Dila ingin sekali meminta Arum untuk mengikhlaskan Manaf. Tapi ia sadar sekarang bukan waktu yang tepat. Tidak baik menuntut seseorang untuk merelakan sesuatu ketika itu baru saja terjadi.

Manaf akan dimakamkan di Solok, kampung halaman sekaligus tempat kelahirannya. Daerah itu cukup jauh dari Bukittinggi. Semua keluarga dan beberapa tetangga yang ingin ikut mengantarkan Manaf ke tempat peristirahatan terakhirnya sudah siap untuk berangkat. Kebanyakan dari laki-laki menggunakan baju batik atau kemeja, beberapa teman Manaf menggunakan kaos yang dipadukan dengan jaket. Sementara yang perempuan lebih beragam, tentu dengan pakaian sopan dan hijab yang menutupi kepala mereka.

Arum ingin ikut mengantarkan Manaf. Tetapi ibu dan kakanya tidak memberi izin. Mereka ingin Arum beristirahat saja. Dia sudah terlalu lama menangis. Arum membantah dan bersikeras untuk ikut. Tetapi ibunya tetap tak memberi izin meski ia telah membujuk dan meyakinkan wanita itu dengan setengah mati. Oleh sebab itu, Arum akan tetap di rumah bersama Dila, sementara ibunya akan pergi mengantar Manaf.

***

Ini adalah hari kedelapan setelah kepergian Manaf. Arum masih murung. Ia hanya melihat langit dengan mata sayu. Langit itu begitu suram, awan mendung membuatnya tampak menakutkan. Tetapi, Arum berharap ada Manaf di sana. Ia merindukan laki-laki itu. Kehidupannya jauh lebih hampa setelah kepergian Manaf. Begitu hampa sampai ia merasa bahwa sebenarnya ia sudah mati bersama laki-laki itu.

Aku takut. Kehidupan ini sangat beringas. Bagaimana aku akan melaluinya jika kamu membawa setengah kekuatanku untuk bertahan ke alam sana? Kepada siapa akan kuceritakan hal-hal rumit yang selalu membuatku pusing? Aku tak punya tempat lain. Kamu tahu itu. Tetapi kenapa kamu pergi? Bukankah kamu bilang kehidupan ini akan sangat indah bila kita lalui hingga tua nanti?

Manaf, setelah kepergianmu, aku tidak lagi hidup. Rasanya seperti aku terpenjara dalam ruangan kusam dan berdebu. Benar-benar menyesakkan. Bagaimana aku akan bertahan sementara untuk bernapas saja aku mulai kesusahan?

Kamu selalu membicarakan kehidupan, bukan? Lalu, kenapa kamu meninggalkannya begitu cepat? Aku belum sempat mendengarkan pendapat tentang kehidupan kita setelah bekerja.

Aku ingin kamu kembali, tidak bisakah? Aku tidak peduli jika kamu tidak akan mau menggenggam tanganku atau memelukku. Tetapi, bisakah kamu tetap berada di sisiku? Aku butuh kamu, Manaf. Kamu berjanji akan membantuku menyukai kehidupan. Lalu, bagaimana kamu akan membantuku sekarang?


Manaf, aku ….

Arum tidak lagi sanggup menulis. Jarinya berhenti begitu saja. Air matanya kembali jatuh. Beberapa tetes tepat mengenai buku harian itu, membuat tintanya mengabur dan pecah.

“Tidak bisakah kamu membawaku pergi bersamamu?”

Aku ingin menemuimu, Manaf. Sungguh.”(*)

Bukittinggi, 2018

 

Vianda Alshafaq, anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulus tetap di Loker Kata

Leave a Reply