Perfectly Incomplete (1)

Perfectly Incomplete (1)

Perfectly Incomplete
Bagian 1 : Arum

Aku Gila!

Matahari pelan-pelan mulai tergelincir ketika Arum baru saja sampai di rumah. Hari ini ia menemui Manaf di pusat kota, tepat di bawah Jam Gadang yang ramai pengunjung. Ya, hari ini adalah hari Minggu. Tepat di mana kebanyakan orang berlibur dan beristirahat sejenak setelah berhari-hari bertarung dengan pekerjaan atau pelajaran. Begitu pun dengan Arum. Tadinya ia berniat mendatangi tempat itu untuk melepas penat, atau sekadar menghabiskan akhir pekan bersama Manaf, sahabat sekaligus laki-laki yang ia puja. 

Entah sejak kapan ia mulai jatuh hati pada laki-laki berkulit sawo matang itu. Mungkin sejak ia tak sengaja menggenggam tangan Manaf ketika mereka berlari dari kejaran anjing tujuh tahun lalu. Atau, mungkin juga sejak mereka bermain petak umpet dan mereka bersembunyi di tempat yang sama. Atau, mungkin sejak mata mereka bertemu tepat di manik mata dua tahun lalu ketika mereka menghadiri acara perpisahan sekolah? 

Arum tidak tahu. Yang ia tahu adalah bahwa sejak waktu yang tidak ia ketahui secara pasti itu, jantungnya berdetak sangat kencang ketika ia berada di dekat Manaf. Bahkan ketika ia hanya mendengar nama itu disebut, jantungnya akan berdetak tak keruan. Apalagi ketika mata mereka bertemu, hanya Arum dan Tuhan yang tahu bagaimana jantungnya itu mencoba melompat dari tempatnya.

“Sungguh, aku sudah gila!” 

Arum menutup wajah dengan kedua tangan dan menutup senyumnya di balik tangan itu. Perasaannya berbunga-bunga seperti taman bunga di musim semi. Ia merasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di sekitarnya sehingga ia merasa benar-benar bahagia. Oh, Tuhan, aku benar-benar sudah gila! pikirnya sekali lagi. 

“Gimana kuliahmu?” tanya Manaf ketika mereka bertemu tadi siang.

“Membosankan. Nggak ada yang menyenangkan. Aku pusing sama reaksi-reaksi dan zat-zat kimia. Serius, rasanya aku udah nggak sanggup.”

Manaf tersenyum, kemudian mengacak rambut Arum. Perempuan itu merengut, sebal. Wajahnya cemberut walau sangat kentara kalau itu dibuat-buat. Dan, hal itu membuat Manaf tersenyum sekali lagi.

“Nggak usah kayak gitu. Nggak cocok.”

“Kenapa emangnya?”

“Aku gemes pengen cubit,” jawab Manaf santai.

Hal-hal kecil seperti itu adalah hal yang selalu dirindukan Arum ketika ia terpisah jauh dari Manaf. Laki-laki itu memang tidak romantis, tetapi laki-laki itu bisa membuat Arum melayang ke udara hanya karena satu kalimat yang sebetulnya biasa saja. Memangnya, apa yang istimewa dari kalimat yang tadi diucapkan Manaf? 

***

Cinta memang aneh. Ia membuatmu hilang akal dan candu. Walau kau tahu ia bisa saja melukaimu, kau tetap tak bisa menyingkirkannya. Cinta sangat pandai bermain-main.

Kalimat itu ditulis Arum di buku hariannya yang berwarna cokelat muda dengan gambar animasi perempuan di taman di sampulnya. Ini adalah kegiatan yang selalu dikerjakan Arum sebelum ia tidur, semacam ritual sebelum larut dalam dunia mimpi. Ia menuliskan apa saja yang ia ingat. Entah kisahnya sendiri atau hanya sekadar sepotong kalimat random yang muncul di kepalanya. Yang penting, ia harus menulis sesuatu sebelum ia tidur–dan tentu selalu dalam buku hariannya.

Hari ini, untuk pertama kalinya, Arum menghabiskan seharian penuh bersama Manaf sejak dua tahun terakhir. Dua tahun ini mereka sibuk dengan studi masing-masing. Manaf sibuk mengejar mimpinya di tanah Jawa, sementara Arum sibuk dengan hari-harinya yang penuh dengan hal-hal terkait kimia di Padang. Ya, untuk pertama kalinya takdir membuat mereka menjahit jarak yang selalu menyisakan rindu.

Sampai saat ini, tak ada yang istimewa dalam hubungan mereka. Mereka bukan sepasang kekasih. Bahkan Arum tidak tahu apakah laki-laki itu juga merasakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan atau tidak. Dan, Manaf juga tidak mengetahui apa yang dirasakan Arum. Mereka terjebak dalam hubungan sebatas sahabat yang sebetulnya sudah mulai pudar. Arum tidak lagi menganggap Manaf sebagai sahabatnya, tetapi lebih dari itu. Sementara Manaf, tentu saja ia juga mencintai sahabatnya sejak kecil itu. Tapi ia tidak mau mengutarakannya. Hal itu akan menjadi terlalu rumit. Terlebih lagi mereka akan selalu terpisahkan oleh jarak. Mungkin dua tahun lagi Manaf memang kembali tinggal di tempat asal mereka itu, atau mungkin juga ia akan pergi ke tempat lain untuk bekerja dan menggapai impiannya menjadi seorang pebisnis hebat. Lebih dari alasan itu, Manaf juga tidak ingin mengancurkan masa depan Arum. Ia sangat mengenal Arum. Arum mudah mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang ia claim sebagai miliknya—seandainya Arum membalas perasaannya. Jika memiliki hubungan yang lebih dari persahabatan, kemungkinan besar Arum tidak akan lagi fokus pada impian dan studinya. Sebab itulah, menurut Manaf, lebih baik mereka tetap seperti sekarang.

Arum menaruh kembali buku harian itu ke rak buku. Ia menyelipkannya di antara buku-buku koleksinya yang rata-rata berupa novel dan beberapa buku pelajaran serta buku self improvement. Arum sangat hobi membaca buku. Bahkan, buku—terutama novel—adalah kekasihnya dalam bentuk selain manusia. Begitu pikirnya. Pikiran yang bodoh, memang. 

Arum membanting tubuhnya ke kasur dan menyelimuti dirinya dengan selimut merah jambu yang tebal. Bukittinggi adalah daerah yang dingin, apalagi dalam kondisi hujan seperti malam ini. Arum tidak akan sanggup tidur tanpa selimut, kecuali kalau ia ingin masuk angin dan menggigil semalaman. Arum mencoba memejamkan mata, berusaha memasuki dunia mimpi yang entah akan indah atau buruk. Tidak ada yang tahu sebelum masuk ke dalamnya. Tetapi, meski telah setengah mati ia mencoba, matanya tak mau terpejam. Otaknya terlalu berisik. Ada-ada saja yang terpikirkan olehnya. Pikiran dominannya tentu saja tentang Manaf. Laki-laki itu memang selalu berlari-lari dalam pikirannya sejak dulu.

Tiba-tiba, ponsel Arum berdering. Di layarnya tertulis “Kak Iin”. Melihat nama itu, Arum spontan melihat ke arah jam dinding. Pukul sepuluh malam. Ada apa dia meneleponku malam-malam begini? pikirnya. Namun, tanpa membuang waktu, Arum menggeser tombol hijau di ponselnya itu.

“Assalamualaikum, Kak,” ujar Arum.

Dari seberang sana, tak kunjung terdengar suara. Arum hanya mendengar helaan napas yang berat dan sesekali isakan. Sekali lagi ia mengucapkan salam dan memanggil perempuan di seberang telepon. Tapi, masih tak ada yang dia dengar kecuali isakan dan tangisan yang samar-samar terdengar.

Apa yang terjadi?

Arum bergelut dengan pikirannya sendiri selagi menunggu suara dari seberang telepon. Lima menit, masih tak ada penjelasan mengapa perempuan itu meneleponnya malam-malam begini. Arum semakin linglung dan bingung. Pikirannya berkelana ke mana-mana, memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Tapi, apa yang bisa dia perkirakan? Apa perempuan itu patah hati sehingga ia memutuskan meneleponnya semalam ini?

“Rum ….” Akhirnya suara itu bisa ditangkap Arum.

Dengan tenang, ia menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi, bukannya mendengar jawaban yang ia inginkan, Arum lagi-lagi harus mendengar namanya disebut. Entah apa yang terjadi sebetulnya.

“Arum … Ma-Manaf, Rum,” ujarnya sembari menangis. 

Mendengar nama Manaf, Arum menjadi tegang seketika. Ia tak dapat memikirkan apa pun. Ia takut sesuatu yang buruk telah terjadi sehingga Kak Iin menangis seperti itu.

“Manaf kenapa, Kak?” tanya Arum masih mencoba setenang mungkin.

Dengan seksama, Arum mendengarkan penjelasan Iin yang diselingi dengan tangisan yang semakin lama semakin keras. Tepat ketika Iin selesai mengatakan itu, ponsel Arum mendarat di lantai. Matanya berkabut, pandangannya memburam. Tak lama setelah itu, air matanya jatuh seperti hujan yang turun di luar rumah.

“Manaf …,” lirihnya.(*)

Bukittinggi, 2018

 

Vianda Alshafaq, anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply