Perempuanku
Oleh: Loisa Lifire
Aku sangat mencintainya. Kenangan terakhir yang tidak bisa terlupakan adalah saat dia membelai wajah dan menyebut namaku ketika tubuh ini dihantam gelombang laut, terkapar di bibir pantai.
Tahun-tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu. Dia tumbuh menjadi gadis yang lincah dan pintar. Semua cita-cita yang dia impikan sejak kecil, satu per satu mulai terwujud. Sehari setelah lulus tes masuk universitas, dia mengunjungiku.
“Aku berangkat besok,” bisiknya sambil menunduk. Air mata yang meleleh di pipinya ingin kuhapus, tapi tak boleh. Dia bukan anak-anak lagi.
“Selamat jalan. Aku akan mengunjungimu, kapan pun aku mau,” bisikku di dalam hati.
***
Setiap akhir pekan aku duduk di atas trotoar, di depan kampusnya. Biasanya, dia akan menghampiriku sambil tersenyum kemudian mengajakku ke toko buku, berbelanja kebutuhan di minimarket, hingga bersantai di kafe bergaya minimalis di dekat indekosnya. Tetapi kali ini tidak. Dia melangkah ke arahku dengan wajah yang tidak seperti biasanya. Setelah menengok ke semua arah, dia memuntahkan emosinya.
“Sudah kubilang, jangan datang lagi,” geramnya.
“Kenapa? Malu?” teriakku tak mau kalah.
Dia bergeming. Mengangkat wajahnya dan menyeberang jalan. Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depannya.
“Dasar pengkhianat,” umpatku. Namun dalam hati aku berguman, “Rianiku bukan gadis desa lagi. Dia sudah menjelma menjadi wanita anggun yang dikagumi para pria berkelas.”
***
Dia menatap ombak di depannya. Pohon-pohon kelapa di pantai ini makin tinggi dan tidak lagi menghasilkan buah.
“Kau kembali,” ujarku senang.
“Aku akan menikah,” katanya tenang. Setenang laut di depan kami.
“Aku akan tetap menemuimu,” sergahku.
“Jangan merusak pernikahanku,” tukasnya sambil beranjak. Sumpah! Kalimat terakhirnya membuatku terluka.
Hari pernikahannya tiba. Aku pun berkemas. Ingin kusaksikan ritual pernikahannya, melihat senyum bahagianya sebelum mewujudkan mimpiku untuk memilikinya.
Aneka lagu bertemakan cinta yang romantis dilantunkan secara apik oleh tiga orang artis legendaris secara bergantian. Para tamu yang hadir nampak larut dalam kebahagiaan dan bersenandung bersama penyanyi kesayangan mereka. Tidak ketinggalan, kedua mempelai pun tersenyum saling melempar pandangan, kemudian berdansa mesra diiringi tepuk tangan yang meriah.
Aku menyelinap masuk ke dalam kamar hotel, tempat dia akan melewatkan malam pertamanya. Menjelang tengah malam, dia masuk.
“Darly! Kau?” teriaknya ketakutan. Suaminya belum juga muncul.
Aku berusaha untuk memeluk, membelai dan mencumbuinya. Aku ingin menikmati dan menguasai tubuhnya, tetapi dia terus mengelak.
“Aku akan memilikimu. Kita akan hidup bersama,” pekikku tertahan. Aku hampir mencekiknya. Dia berteriak histeris dan berusaha untuk melepaskan diri. Aku makin menggila.
“Siapa di dalam?” suara itu menggelegar bersama dengan pintu kamar yang terbuka. Wajah dan rambut Riani berantakan. Gaun pengantinnya robek di sana-sini. Suaminya berang. Sebelum asal usulku diusut, kutarik tirai jendela dan melompat, kembali ke alamku. (*)
Loisa Lifire, menyukai aktivitas menulis, penikmat literasi, dan pecinta alam. Lahir dan besar di Alor, Nusa Tenggara Timur, tetapi memilih tinggal dan menghabiskan waktu di Kalimantan Barat. FB: Loisa Lifire
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita