Perempuan yang Mencintai Pantai

Perempuan yang Mencintai Pantai

Perempuan yang Mencintai Pantai

Oleh : Siti Nuraliah

Aku menatap kosong hamparan laut lepas. Meluruskan kaki, memandangi debur ombak yang menampar-nampar batu karang, dan menyeret satu-dua buah rumput laut ke daratan. Buihnya menyapu pasir pantai, menghapus aksara yang baru saja kutuliskan di atasnya. Aku tersenyum kecut, menuliskan kembali nama yang menjejali ruang pikiran. Lagi-lagi ombak itu menyapu dengan kasar tanpa meminta persetujuan.

Aku membiarkan anak rambutku menari tertiup embusan angin. Suara gemuruh ombak terdengar seperti kidung yang didendangkan sebagai nyanyian penghantar tidur. Aku selalu suka aroma khas dari pasir pantai yang bercampur air laut, seperti beberapa tahun yang lalu saat kebersamaanku dengannya belum mengenal sekat.

Dulu, dia selalu suka melihat rambutku yang bergerak-gerak mengikuti arah angin, dia akan menyelipkan rambutku di telinga. Katanya, rambutku harus dipotong agar tidak terlalu panjang. Agar ketika angin meniup helaiannya, rambutku tidak akan terlalu sulit ketika disisir. Kami memang anak-anak pantai, orang tuaku tidak seberuntung dirinya. Aku heran, kenapa dia suka sekali mengunjungi pantai, berbaur dengan bau amis dan ikan-ikan hasil tangkapan ayahku yang tidak seberapa.

Terakhir kali di perjumpaan kami, aku pernah bertanya kepadanya. Tentang cita-citanya menjadi orang besar.

“Dengar, Rani, aku ingin menyulap tempat ini menjadi tempat pelelangan ikan yang layak, dan bersih. Aku yakin orang-orang dari kota akan banyak berkunjung ke sini setiap akhir pekan. Kamu lihat itu,” jarinya menunjuk bangkai-bangkai perahu yang sudah tidak digunakan, menumpuk begitu saja di sebelah timur pantai, “itu mestinya tidak ditinggalkan di sana, menghalangi pemandangan saja,” ucapnya lagi sambil membentangkan kedua tangannya.

“Memangnya kamu mau jadi apa?” tanyaku dengan langkah kaki mengikuti tapak kakinya. Dia berhenti berjalan, memutar tubuhnya menghadapku.

“Yang pasti, aku ingin menjadi orang hebat yang disegani banyak orang. Setelah lulus SMP aku mau melanjutkan sekolah di kota sampai sarjana. Dan pulang membawa banyak pengalaman serta ilmu yang bisa aku manfaatkan di kampung kita.” Sambil tersenyum dia berbicara dengan tegas.

“Kamu enak, bisa lanjut sekolah di kota. Aku belum tahu, Mal, setelah lulus SMP ini mau lanjut sekolah atau enggak.” Aku membuang muka, takut-takut kalau Kamal melihat mataku yang berkaca-kaca.

Obrolan kami berhenti sampai di sana, waktu itu Kamal seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi Ayah berteriak mengajakku pulang. Ikan-ikan hasil tangkapannya hanya beberapa yang terjual. Sisanya akan kami olah untuk santapan makan malam.

Hari ini, aku seperti rindu pertemuan-pertemuanku dengan Kamal, membiarkan kulitnya yang putih menghitam terpapar sinar matahari. Aku tersenyum mengingat itu. Dia selalu bilang, sengaja melakukannya agar warna kulitku dengan warna kulit dia tidak terlalu jauh perbedaannya. Aku mengakui, kulitku sawo matang, kontras sekali dengan kulit Kamal yang terawat. Namun, bertahun-tahun dia tidak pernah lagi memberi kabar.

Setelah kepergiannya ke kota, tidak ada lagi yang menemaniku menjemur ikan-ikan hasil tangkapan Ayah. Aku tahu dia pasti bahagia bisa melanjutkan sekolahnya di sana. Tidak sepertiku yang hanya gadis desa penjual ikan asin. Awal-awal memang terasa berat, saat seharusnya aku menerima tawaran beasiswa masuk SMA, ibuku sakit parah. Aku tidak tega jika harus meninggalkan Ibu sendirian di rumah, Ayah juga pasti akan sering alpa mencari ikan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengubur dalam-dalam semua keinginan.

Pantai ini memberiku banyak pelajaran, aku sudah berjanji untuk tidak pernah membenci apa pun dan siapa pun, termasuk saat laut di hadapanku ini membawa Ayah pergi untuk tidak akan pernah kembali lagi. Kejadian itu, tepat pada tahun ketiga setelah Ibu jatuh sakit. Jangan bertanya bagaimana perasaanku, sudah tentu bagai pecah berkeping-keping. Rasanya melebihi patah hati saat melihat Kamal menggandeng perempuan cantik lalu menunjukkan keindahan pantai ini. Waktu dia baru saja lulus SMA, dan pulang demi menunjukkan nilai-nilainya yang di atas rata-rata. Dia mengenalkan perempuan itu sebagai temannya, namun tetap saja dia gadis kota anak rekan kerja ayahnya. Membuatku merasa, dia seangkasa sedangkan aku sedasar laut.

Katanya, dia juga pulang untuk menghiburku. Memberi ucapan belasungkawa. Nyatanya, aku tidak membutuhkan itu. Aku mulai terbiasa tanpa sosok teman yang menyemangatiku. Ketika tahun pertama kepergian Ayah, sakit Ibu semakin parah. Aku perlu tambahan uang untuk berobat ke rumah sakit kota. Penghasilan dari menjualkan hasil tangkapan ikan teman Ayah hanya cukup untuk makan. Beruntung, keluarga Kamal datang, mereka kenal baik juga dengan keluargaku. Pak Budi, ayahnya Kamal, memintaku untuk membawa Ibu berobat. Aku bersyukur Ibu bisa berangsur-angsur sembuh.

Bayangan-bayangan itu bergantian berebut perannya di otakku. Aku membiarkan kakiku basah disapu buih-buih ombak. Aku sengaja berkunjung ke pantai ini untuk menuntaskan rinduku. Pada Ayah yang telah tiada dilumat ombak saat mencari ikan. Pada dia, seseorang yang pernah menjadikan hari-hariku terasa ringan. Sekarang aku telah dewasa, mendewasa oleh keadaan. (*)

Banjarsari, 23 Juli 2020

Siti Nuraliah. Perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis, kadang suka membaca. Penulis pemula yang selalu berusaha memperbaiki tulisannya.

Editor : Fitri Fatimah

Leave a Reply