Perempuan yang Memintaku Menjadi Malam
Oleh: Nurul Istiawati
Selembar daun kering jatuh dari setangkai mawar. Disusul derai bulu-bulu bunga dandelion yang berkejaran. Senja kali ini, nyaris debur ombak tak terdengar. Hanya suara lirih desir air mencapai bibir pantai yang sayup-sayup getarnya terdengar di telinga. Merah jingga di pinggang langit berubah warna, menggelap, lambat laun menggulita dan pekat.
Di atas sana, bintik-bintik gemintang berkedip memberi ketenangan. Juga kenangan. Kenangan yang terkubur dalam gelapnya semesta. Seolah kenangan itu mengacung-ngacungkan jarinya meminta waktu untuk diingat setiap malam bergulir. Ah, malam tak lagi sebenderang ketika engkau datang. Engkau dan aku masih sangat hijau saat perkenalan pertama kita. Di pantai ini, di atas pasir yang sama kau menjabat tanganku dan menyebutkan namamu. Kia, entah kenapa namamu begitu pendek, sependek langkah kakimu waktu itu.
Masih kuingat betul kita tumbuh beriringan, menghabiskan masa kanak-kanak bersama. Seperti berlarian di bibir pantai, mengejar kepiting laut, atau membantu anak penyu mencapai perairan. Ah, masa lalu itu Kia, tak bisa kulupakan. Mungkin karena kenangan itu selalu menggaris di ingatanku. Bukankah kau juga begitu, Kia? Engkau takkan melepas tautan jari kita saat diam-diam menatap senja di pantai ini. Engkau selalu memaksa. Dan kelemahanku, aku tak bisa menolak paksaanmu seperti waktu dulu aku harus berbohong pada ibuku hanya untuk menemanimu melihat malam dan separuh bulan.
“Kavi jika kau menjadi malam, apa yang akan kau lakukan?” tanyamu waktu itu. Aku tertawa kecil. Aku tak pernah tahu apa isi kepala perempuan semacam engkau, Kia.
“Hmm …. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apa kau memintaku menjadi malam, Kia?” jawabku. Engkau hanya mengangguk, dan kembali menatap terang di atas sana.
Waktu bergulir secepat senja berganti malam. Kita berdua tumbuh menjadi kupu-kupu dewasa yang terjebak di lingkaran rasa. Aku mencintaimu, kurasa begitu. Akan tetapi belum juga rasa ini kuungkapkan padamu, ayahmu lebih dulu membawamu pergi ke kota. Sejak itu aku menjelma menjadi malam yang penuh kabut. Selaksa malam pekat yang dipenuhi udara hampa. Kosong.
***
Kota adalah tempat untuk orang-orang yang pergi. Maka aku akan menyusulmu membawamu kembali pulang. Itulah tekadku Kia. Bertahun-tahun aku mengumpulkan keberanian untuk pergi ke kota tempat kau berada.
Aku mencarimu, Kia. Kau mungkin tahu betapa bingungnya aku di sini, di tempat baru tanpa saudara, tanpa keluarga. Bekalku hanya empat lembar uang berwarna merah dan selembar ijazah SMA. Kau tahu bukan, aku takkan diizinkan pergi ke kota dengan alasan untuk membawamu kembali. Kia, aku menggelandang, tak punya tempat berteduh. Sering kali aku tidur di masjid-masjid terdekat. Sesering itu juga aku diusir oleh pengurus masjid. Sampai akhirnya aku diterima bekerja di restoran kecil-kecilan. Beruntung ada kos-kosan di dekat restoran ini, jadi aku tak perlu susah payah mencari tempat tinggal.
Hampir satu setengah tahun aku mencarimu. Kia, aku hampir lelah dalam pengembaraan ini. Aku berada di satu titik paling rapuh kali ini. Langkahku sudah tak lagi berarah.
Sepasang mataku terpaku saat perempuan bersyal biru keluar dari toko kue. Rambut perempuan itu tersapu angin. “Kia ….”
“Kavi, bagaimana kau bisa sampai di sini? Sejak kapan?” tanyamu. Sekarang aku bisa bernapas dengan lega setelah menemukanmu.
“Sejak lama aku di sini, mencarimu,” jawabku dingin, sedingin tetes hujan malam ini yang menyisakan gerimis.
Angin malam meniupkan udara canggung di antara kita. Engkau mendengus kesal menanti gerimis reda. Aku menatapmu lekat.
“Pulanglah bersamaku, ke masa kecil kita,” ucapku. Engkau hanya menoleh, lalu punggungmu lenyap di ujung jalan dan enyahlah jawaban yang kunanti.
Aku mengikutimu, sama seperti masa kecil kita dulu, aku salalu di belakangmu. Mungkin kau akan marah, tapi aku tak peduli, aku takkan melepasmu Kia.
“Kenapa kau mengikutiku!” nada suaramu terdengar kesal.
“Karena aku ingin kau pulang, Kia”
“Di sinilah rumahku,” jawabmu tegas.
“Kota ini tak terlihat seperti rumah untukmu,” timpalku. Engkau tercekat kemudian berlalu pergi. Aku pikir mengajakmu pulang semudah mengajakmu bermain layang-layang di tepi pantai. Ternyata tidak!
“Aku mencintaimu, Kia. Menikahlah denganku, aku akan menjadi malam yang kaupinta sewaktu kita kecil dahulu,” ucapku beberapa jam lalu.
Di dekat jendela, engkau termangu setelah mendengar ungkapan perasaanku yang terpendam selama belasan tahun. Diammu adalah jawaban bagiku. Aku salah menerka, kupikir kau punya perasaan yang sama.
***
Setiap kali menatapmu, Kia, aku menjadi tahu alasan mengapa kata cantik tertera di kamus seluruh dunia. Kau pernah bilang bahwa takdir punya alur yang mengesankan. Kau benar, selalu benar. Tak kuduga sebelumnya, bahwa cincin yang melingkar di jari manismu terukir jelas namaku. Dua tahun lalu aku memperjuangkanmu. Dan kini engkau adalah milikku, Kia.
“Jika aku menjadi malam, akan kuperas kemilau rembulan lalu kulelehkan di atas dadamu, biar penghuni langit dan bumi tahu hanya engkau yang layak bersinar di dunia ini,” ucapku menjawab pertanyaanmu di masa lalu.
Surat keterangan dokter itu berhasil meremukkan tulang sendiku. Tertulis jelas di sana, aku adalah lelaki yang tak sempurna. Aku tak bisa memberimu keturunan, Kia. Engkau sangat terpukul, unggun harapan di tatap matamu telah padam. Apa ini salahku, Kia?
Malam ini bukan hanya langit yang berubah membeku. Ini bulan kesepuluh engkau lihai menciptakan dingin di antara kita. Boleh kutahu apa alasannya, Kia? Apa karena aku tak bisa memenuhi harapanmu untuk memiliki keluarga yang sempurna?
Kita pernah terpisah waktu. Aku menembus keriuhan untuk kembali mendapatkanmu. Kuharap kau tak melepas genggamku bagaimanapun keadaanku sekarang ini. Nyala cintaku padamu abadi, setia di dadamu juga sejati. Ah, jangan diam saja, Kia. Aku benar, kan? (*)
Pemalang, 23 September 2018
Nurul Istiawati, gadis berusia 17 tahun yang hobinya dengerin musik klasik.
FB: Nurul Istiya
IG: @nrlistiya05
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata