Perempuan yang Melakukan Perjalanan Jauh
Oleh: Vianda Alshafaq
Setiap kali ditanya, perempuan itu selalu menjawab bahwa ia sedang melakukan perjalanan jauh. Katanya, ia akan pergi menemui kekasihnya di kampung halaman. Kemudian bertunangan dan setelahnya menikah.
***
Sebulan silam, perempuan itu menghamparkan sebuah sarung di lantai rumah. Ia mengemasi beberapa pasang pakaiannya dan menaruhnya di atas hamparan sarung itu. Kemudian mengikat ujung-ujung kain itu secara bersilangan. Setelah selesai, perempuan yang menggunakan baju kumuh itu memanggulnya dan membawanya ke halaman rumah.
Perempuan itu berjalan hilir-mudik sepanjang halaman. Begitu terus, hingga matahari mulai tergelincir di sebelah barat. Ketika ada tetangga yang datang dan bertanya apa yang dia lakukan, dia hanya tertawa keras. Tak pernah sekali pun ia menjawab pertanyaan para tetangga itu. Karena tak pernah mendapatkan jawaban, mereka—para tetangga itu—memilih untuk tidak lagi bertanya.
Perempuan itu melakukan hal tersebut setiap hari. Ketika ia merasa kakinya sudah pegal atau kram, ia akan duduk sebentar. Menurunkan sarung dan meletakkannya di tanah. Kemudian, perempuan itu akan mengurut kakinya.
Setelah merasa cukup istirahat, perempuan itu memanggul sarungnya lagi. Lalu mondar-mandir lagi. Tak ada yang tahu pasti mengapa perempuan itu melakukannya.
Seminggu setelah itu, seseorang datang menemui perempuan itu. Ia mengaku berasal dari kampung dan merupakan kerabatnya. Laki-laki itu menatap perempuan itu dengan penuh prihatin, kemudian menarik tangannya agar berhenti mondar-mandir. Tapi, setiap kali ia melakukannya, perempuan itu malah mengempaskan tangannya dan tetap berjalan mondar-mandir.
Hari itu, ketika matahari mulai tenggelam dan angin berembus pelan, perempuan itu berhenti berjalan. Lalu ia duduk di tanah, meletakkan sarungnya di samping kanan. Melihat hal itu, kerabat tadi ikut duduk di depan perempuan itu. Matanya lagi-lagi menatap perempuan itu dengan penuh rasa iba. Baginya, perempuan itu sudah seperti anak sendiri walau sebenarnya dia hanyalah kerabat jauh. Namun, ia sangat menyukai perempuan itu sebab ia gadis yang baik hati dan baik budi.
“Apa yang kau lakukan?” Laki-laki itu mengelus rambut perempuan di depannya itu. Meski lepek, ia tak merasa jijik dan tetap mengelusnya dengan lembut.
“Aku akan pergi jauh, menemui kekasihku dan kemudian menikah,” jawab perempuan itu dengan mata yang menatap ke langit, kemudian tersenyum sembari memilin-milin ujung rambutnya menggunakan jari.
Air mata mulai jatuh di pipi kerabat perempuan itu. Ia tak menyangka sama sekali bahwa perempuan itu sangat mencintai kekasihnya. Dan, ia lebih tak menyangka lagi perempuan kesayangannya jadi seperti ini karena terlalu mencintai kekasihnya.
“Kau tidak boleh seperti ini. Ikutlah bersamaku. Kita tinggal di kampung, ya?” ajak laki-laki itu.
Namun, perempuan itu menggeleng-geleng, kemudian tersenyum dengan jari yang masih memilin-milin ujung rambutnya. Perempuan itu kembali berdiri dan memanggul sarungnya tadi. Katanya pada kerabatnya itu kalau ia akan melakukan perjalanan jauh lagi, untuk menemui kekasihnya dan kemudian menikah. Perempuan itu berjalan hilir-mudik lagi. Sesekali ia tertawa, dan menatap langit. Sementara kerabatnya hanya mampu menatap perempuan itu dengan iba.
“Berhentilah, ini sudah malam. Kau harus beristirahat,” ucap kerabatnya.
Tapi, tetap saja, perempuan itu tidak mau berhenti. Ia masih berjalan mondar-mandir sepanjang halaman dan sesekali tertawa. Satu jam, dua jam, lima jam, perempuan itu masih berjalan. Bahkan, ia tak memedulikan tubuhnya yang sudah kedinginan karena terkena angin malam. Sementara kerabat itu masih tak tahu harus melakukan apa.
Tak lama, kaki perempuan itu kembali kram. Ia duduk lagi dan menjulurkan kakinya ke depan.
“Aku sudah jauh berjalan. Kenapa kau masih tak bisa kutemukan,” ujarnya pada dirinya sendiri, kemudian menangis.
Melihat perempuan itu menangis, kerabatnya mendekat. Ia memeluk perempuan itu dan ikut menangis. Berkali-kali ia mengatakan kalau perempuan itu tidak boleh seperti ini. Tapi, perempuan itu tetap menangis dan kadang-kadang tertawa.
“Ia sudah jauh. Ia sudah bersama Tuhan. Kau tak perlu menemuinya lagi,” bisik kerabatnya.
Mendengar hal itu, perempuan tadi kembali berdiri dan memanggul sarung yang berisi pakaiannya. Ia kembali berjalan mondar-mandir sepanjang halaman rumah. Sejak saat itu, ia tidak lagi berhenti ketika kakinya merasa pegal atau kram. Kerabatnya masih tidak melakukan apa-apa. Ia ingin membawanya ke rumah sakit. Tapi, entah kenapa ia tidak melakukannya. Seperti ada sesuatu yang menahannya untuk memaksa gadis itu berhenti. Satu-satunya yang ia lakukan adalah melihat perempuan itu dengan perasaan iba.
Setiap kali ada yang bertanya kenapa ia mondar-mandir sepanjang halaman, perempuan itu selalu menjawab bahwa ia akan melakukan perjalanan jauh untuk menemui kekasihnya dan kemudian menikah. Setelah menjawab begitu, ia akan tertawa kemudian menangis dan tertawa lagi. [*]
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.