Perempuan yang Mati untuk Hidup Abadi

Perempuan yang Mati untuk Hidup Abadi

Perempuan yang Mati untuk Hidup Abadi
Oleh: Erlyna

Darah Perempuan

pelan-pelan darah mengalir
dari dinding rahim menabur anyir
perempuan itu mendekap senyap
mengutuk ajal
yang diam-diam menjemput bagai kiamat

MM

Kulipat selembar kertas kekuningan yang kutemukan di dasar peti. Aromanya yang mirip campuran melati dan kayu busuk membuatku mual. Aku masih bertanya-tanya, siapakah gerangan inisial MM yang ada di bawah puisi tadi.

“Aku mengenal MM, tapi tidak tahu siapa dia.”

Kulirik Margareth. Wanita di dalam lukisan itu kini berpose lebih aneh dibanding saat aku baru masuk ke ruangan ini.

“Hei! Apa yang sedang kamu lakukan?”

Margareth menatapku sambil memainkan bulu matanya yang lentik.

“Aku sedang menggodamu,” bisiknya.

“Hentikan! Lebih baik bantu aku mencari tahu siapa MM itu.”

Margareth menggeliat, lalu kembali mengubah pose. Kudengar, semasa hidupnya ia sangat terobsesi menjadi model. Tidak heran, sih. Selain memiliki wajah ayu dengan rambut keemasan, ia juga memiliki bentuk tubuh yang menggoda.

“Ran, apa kamu melihat jarum besar di dalam peti itu?” tanya Margareth.

Entah mengapa aku merasakan nada suaranya berbeda. Ada amarah yang seperti ditutupi dengan payah.

“Jarum besar? Sejak kapan jarum berukuran besar? Di duniaku, jarum tidak lebih tebal dari helai rambut.”

“Cepat cari. Kamu harus menemukan jarum itu sebelum pemilik peti kembali. Kalau tidak, kamu akan ….”

“Setop, Margareth! Setop! Jangan menakutiku. Aku sudah hampir pingsan saat tersadar di kastil aneh ini. Bahkan kehadiranmu sendiri hampir membuat jantungku copot. Sekarang kamu ingin menakuti dengan cerita seram? Jangan bercanda denganku!”

Brakkk!

Tiba-tiba Margareth memukul kaca. Pigura tempatnya berada bergoyang-goyang untuk beberapa saat.

“Diam kau wanita sialan!”

Aku melotot kaget. Di tengah pintu yang entah sejak kapan terbuka, seorang kakek dengan tubuh kurus menatap tajam.

Tunggu! Jangan bilang kakek itu adalah pemilik peti mati ini. Apakah dia MM?

“Kenapa kamu baru kembali, penjaga bodoh? Apakah kamu masih saja tersesat meski sudah tinggal di kastil ini ratusan tahun?”

“Diam!”

Kakek itu bicara dengan suara tegas dan menakutkan. Matanya yang sejak tadi menelanjangi Margareth, kini beralih menatapku.

“Siapa kamu? Bagaimana bisa sampai di sini?”

“Namaku Ran. Aku tidak tahu pasti mengapa bisa sampai di sini. Yang kuingat, sebuah tangan besar menarikku saat tanpa sengaja melihat sebuah lubang di belakang rumah.”

“Lubang? Di belakang rumah? Jadi kamu datang dari masa depan?”

“Ah, ya. Sepertinya begitu.”

“Hmmm. Jadi kamu keturunan yang terpilih, ya.”

“Hah? Terpilih? Maksudnya?” tanyaku bingung.

Di luar perkiraan. Kakek misterius yang semula kuanggap jahat justru berada di pihak yang sama denganku.

“Kamu akan melanjutkan tugasku, menjaga peti mati ini.”

“Hah? Kenapa aku? Tunggu! Apa ini berarti aku tidak bisa kembali ke duniaku semula?”

“Bisa. Tapi sudah terlambat, Nak!”

Aku terdiam cukup lama. Memaksa otak dengan kapasitas pas-pasan yang kumiliki mencerna semua yang terjadi.

“Apakah kakek ini MM?”

Kakek itu menatapku sambil melotot. Bola matanya yang menonjol di antara kulit keriput terlihat semakin menakutkan.

“Kamu sudah baca puisi itu?”

“Puisi? Oh, Darah Perempuan? Tentu saja sudah. Bagus sekali. Aku bahkan menghafalnya di luar kepala. Dengarkan ….”

Plak!

Kakek itu menamparku dengan keras. Sepertinya kakek menggunakan sisa-sisa tenaganya. Aku bisa merasakan, meski gerakannya lambat.

“Terlambat!”

Aku kembali melotot saat menyadari suara yang kukenal.

Margareth? Kenapa dia ada di situ? Di hadapanku? Bagaimana caranya keluar? Lalu, sejak kapan tangannya menggenggam pisau?

“Pergi! Kamu harus lari. Selamatkan dirimu. Margareth adalah MM. Dia adalah pembunuh. Dia membunuh bayi di dalam perutnya sendiri dengan pisau. Kamu lihat, kan? Gaun merah itu tadinya berwarna putih. Semua warna merah itu darah. Kamu sudah membaca puisi itu, kutukannya berakhir.”

“Apa? Jadi … jadi kamu … tunggu! Jangan mendekat. Kakek, beri tahu cara menghentikan dia.”

“Kamu harus membaca puisinya kembali, Nak.”

Seketika tubuhku lemas. Di depanku, Margareth melangkah semakin dekat. Tangannya mengacungkan pisau yang dia sebut jarum. Mulutnya sesekali berdecak, mengunyah selembar kertas kekuningan.

 

Purworejo, 5 Mei 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak. Hobi menulis, makan dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply