Perempuan-Perempuan yang Ditelan Langit

Perempuan-Perempuan yang Ditelan Langit

Perempuan-Perempuan yang Ditelan Langit
Oleh: Vianda Alshafaq

Malam itu, aku tengah berbincang dengan Langit. Diam-diam aku memperhatikan wajahnya yang kusam dan suram, lalu bertanya, “Kenapa kau tidak menelanku seperti kau menelan dia waktu itu?”

Suaraku lirih, mataku terpejam setelahnya, sementara angin dengan senang memain-mainkan rambutku. Lama aku menunggu, tapi masih tak ada tanggapan. Selalu seperti itu ketika aku bertanya padanya, ia seperti kehilangan suara untuk bicara.

Ah, ironis bukan? Jika bukan aku yang bertanya, dia akan menjawabnya dengan senang hati. Seperti beberapa hari lalu, ketika Tita—sahabatku dengan rambut yang dikepang dua—bertanya, dia menjawabnya dengan senyum semringah.

***

“Kenapa kau menelan satu per satu dari mereka?” tanya Tita, sementara aku hanya diam memperhatikan mereka.

Langit tersenyum, matanya berbinar, dan tangannya berupa awan yang menggumpal, bergerak dengan pelan untuk segera memeluk Tita.

“Karena mereka ingin kutelan. Hanya seperti itu,” ucap Langit, tangannya mengelus rambut panjang Tita dengan kasih sayang.

Entah kenapa, aku tidak percaya pada apa yang dikatakan Langit. Maksudku, bagaimana mungkin mereka—perempuan-perempuan yang tinggal di sini—ingin ditelan Langit? Tidak masuk akal! Tidak ada alasan agar mereka mau ditelan.

Aku beringsut. Berpindah dari awan hitam yang tadi kududuki. Aku memperhatikan wajah Langit. Cerah. Bahagia. Dan, entahlah! Heran, kenapa dia terlihat begitu bahagia bahkan setelah menelan beberapa perempuan kemarin petang?

“Kenapa mereka ingin ditelan olehmu?” tanya Tita lagi dengan melepaskan pelukan Langit.

Tita yang hebat! Itu pertanyaan yang benar-benar kunantikan. Sebenarnya, bisa saja aku bertanya sendiri, tapi aku sedang tidak baik-baik saja. Perutku rasanya melilit. Sesekali berbunyi, lalu terasa perih lagi. Aku lapar!

“Karena mereka akan bahagia setelah kutelan. Mereka akan merasa damai. Karena itu mereka ingin kutelan,” jawab langit lagi-lagi dengan senyum semringah.

“Begitukah? Apa kau bisa membuktikannya?” tanya Tita lagi.

“Kenapa kau tidak membuktikannya sendiri?”

Aku terkejut mendengar penuturan Langit. Jawaban macam apa itu!

“Haruskah?” tanya Tita polos, sementara langit hanya tersenyum.

Angin mulai berhenti memainkan rambutku. Ia mulai menjauh. Barangkali mereka ingin pulang, atau mencari tempat lain untuk bermain.

Aku melihat Tita berjalan. Pelan-pelan. Seperti tidak yakin, tetapi kakinya tetap melangkah. Sesekali tangannya terkepal. Dan, kulihat dia menggigit bibir bawahnya sendiri.

“Apa aku akan damai jika aku melakukannya?” tanya Tita ragu-ragu.

Langit kembali tersenyum. Kemudian mengangguk kecil. Melihat anggukan itu, Tita jadi tersenyum dan ikut mengangguk yakin. Tak lama, Tita kembali berjalan ke arah Langit. Sementara langit mulai membuka mulutnya yang lebar. Di sana, di dalam mulut Langit, aku melihat bunga-bunga bermekaran. Sebentar! Bunga itu terlihat seperti bunga krisan.

Ah, tidak! Tita tidak boleh masuk ke sana.

Aku ingin mencegah Tita, tetapi ia sudah berada tepat di depan mulut Langit. Satu kakinya sudah masuk ke dalam mulut Langit.

“Tita! Jangan masuk!”

Tidak, aku tidak berhasil. Tita sudah memasukkan kedua kakinya tepat ketika aku berteriak memanggilnya.

Aku terperangah, tubuhku luruh ke awan ketika mulut Langit sudah tertutup. Air mata menganak di pipiku. Tita, sahabatku, masuk dalam taman krisan itu.

***

Sudah seharian aku di sini menatap Langit yang masih diam. Apa dia tidak akan mau berbicara padaku? Apa dia benar-benar tidak mau menjawab pertanyaanku?

“Baiklah, kau boleh diam sampai kapan pun yang kau mau. Tapi, aku akan memberimu satu kesempatan lagi. Jika kau masih tidak menjawab, aku akan membunuh diriku sendiri. Dan, kau tidak akan pernah bisa menelanku. Kapan pun!”

Aku mengucapkan kalimat itu berapi-api, berharap kali ini dia akan menjawabku.

“Kenapa kau tidak menelanku seperti kau menelan mereka waktu itu? Ini sudah hari kelima sejak aku hanya tersisa sendirian dari seratus perempuan yang tinggal di sini. Kenapa kau tidak menelanku seperti menelan mereka?”

Langit menatapku. Matanya terlihat sendu. Sementara Angin berhenti mengelilingi tubuhku dan bergerak ke tepi, mengamatiku dan Langit, barangkali.

“Apa aku harus memakan tuan yang semestinya kuberi makan?” Aku mematung di tempat. [*]

Vianda Alshafaq, seorang yang bukan siapa-siapa.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply