Perempuan Pantang Menyerah

Perempuan Pantang Menyerah

Perempuan Pantang Menyerah

Oleh : Aslina

 

Kicau burung membangunkan Endah dari tidurnya. Dia lantas memandang dari balik jendela. Matahari mulai muncul malu-malu dari balik bukit. Endah bangun dan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Wajahnya masih tampak muda untuk ukuran usianya yang sudah lewat setengah abad. Ini semua karena Endah perempuan yang ceria dan humoris. Ada ada saja idenya untuk membuat orang lain tertawa.

Berada di sini, di Cilimus, tanah kelahiran neneknya, yang juga menjadi saksi bisu bagaimana Endah dan suaminya—yang biasa dia panggil Ayah Okamoto—merintis membangun pabrik ubi. Di sini juga Endah menghabiskan separuh umurnya untuk bekerja.

Endah sudah lama tak kemari, hampir empat bulan dan ini malam kedua dia bermalam lagi di sini. Kepergian Ayah Okamoto membuatnya agak kacau. Rasanya usaha untuk membawa Ayah Okamoto berobat ke sana-sini sia-sia belaka. Doa-doanya untuk sang suami tak mampu menghalangi takdir Ilahi.

Endah ke luar kamar tak lupa mengambil rokoknya yang terletak di meja rias. Dia menuju teras samping rumah. Ada kursi dan meja makan yang menjadi tempat favoritnya untuk bersantai dan bekerja. Dari sini dia bisa memandang kebun kecil yang ditata asri. Ada burung beo yang rajin berkicau, dan ada pohon strawberry yang ditanam di polybag.  Seharusnya strawberry ini sudah berbuah banyak dan bisa dipanen, tapi karena ditinggalkan pemiliknya pojon tersebut pun jadi tak terurus. Jajang yang diminta untuk menjaganya pun sering lupa menyiram, jadilah sebagian besar pohon ini enggan berbuah.

Dari tempatnya duduk Endah melihat ada buah strawberry yang sedang ranum. Dia mendekati pohon tersebut dan memetik buahnya lalu memasukkan langsung ke mulutnya. Terasa segar dan nikmat. Endah bergumam, “Betapa indahnya dunia ini, semua disediakan alam, asal kita mau menjaga dan memeliharanya.“

Endah kembali duduk dan menyalakan rokoknya, menikmati setiap asap yang keluar dari hidung dan mulutnya. Matanya jauh memandang, di balik pagar terbentang kebun ubi yang sangat luas.

Pohon-pohon ubi itu terlihat subur dan terawat, tak lama lagi sudah bisa dipanen. Ubi ini memiliki kualitas yang bagus dan rasa yang manis, tak heran jika pelanggan Endah berebut untuk membeli ubi hasil olahan pabriknya, sampai kadang mereka rela menunggu giliran untuk dikirim.

Di kejauhan terlihat bangunan kokoh, bangunan itu adalah pabrik ubi yang cukup modern. Endah dan Ayah Okamoto mengadopsi teknologi Jepang untuk pemgeolahan ubi. Sistem pengemasannya pun bagus sehingga bisa bersaing di pasar Internasional.

Pikiran Endah melayang, membawanya ke masa masa ketika mereka baru merintis usaha tersebut. Mereka bahu-membahu membangun usaha ekspor olahan ubi. Dulu Endah ikut mencari tambahan ubi, menemui ke para petani ke desa-desa dengan mengendarai motor roda dua, karena saat itu hasil panen ladang mereka belum cukup memenuhi permintaan pelanggan dan karyawan mereka pun cuma beberapa orang. Sedangkan Ayah Okamoto menangani bagian pemasaran dan melakukan kunjungan bisnisnya hingga ke Jepang dan Korea. Beruntung, Ayah Okamoto adalah keturunan Jepang sehingga lebih mudah menjalin usaha dan mendapat pelanggan Jepang.

Pelan-pelan, mereka pun mulai mendirikan pabrik olahan ubi. Ubi diolah lebih dulu sebelum diekspor sehingga keuntungan semakin bertambah. Endahlah yang bertugas  mengawasi bagian produksi, memastikan hasil produksi ubi sesuai dengan pesanan dan dikemas dengan baik serta siap untuk dikirim.

Endah banyak belajar dari Ayah Okamoto tentang produksi dan inovasi produk juga bagaimana membuat pelanggan tidak berpindah produsen, sampai akhirnya mereka memiliki pabrik sebesar sekarang dengan ratusan karyawan.

Kadang, Endah merasa sedih karena terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil di Jakarta bersama Ayah Okamoto. Beruntung, ada adik-adik Endah yang tinggal bersamanya, yang bisa membantu mengawasi dan menjaga kedua anaknya.

Setiap Kamis sore, Endah pulang ke Jakarta, dan setiap Minggu malam atau Senin pagi dia kembali kerja ke Cilimus.

Tak terasa air mata Endah menetes, ia rindu pada Ayah Okamoto yang tak lagi bisa mendampinginya. Padahal ia ingin mengadukan situasi pabrik saat ini.

Endah semakin sedih mengingat keadaan pabrik.  Sepertinya dia tak lagi dapat mempertahankan pabrik ubi ini sepenuhnya. Dia bukan lagi pemegang saham mayoritas. Sahamnya sekarang tinggal dua puluh persen. Ini yang membuat Endah bukan lagi pengambil keputusan. Hampir semua saran dan idenya ditolak karena kalah voting di rapat pemegang saham. Ada banyak kebijakan yang tak dapat Endah pahami, termasuk terhadap karyawan pabrik yang sudah lama mengabdi. Ada penyesalan datang karena ia telah melepas sahamnya ke pihak lain. Tapi saat itu situasinya sangat mendesak, Endah butuh uang yang besar.

Imay datang membawa secangkir kopi pahit kesukaan Endah. Ia melihat Endah meneteskan air mata.  Imay merasa sedih sehingga ia memeluk kakaknya itu sambil berkata, “Teh jangan menangis lagi, yang ikhlas ya, Allah pasti akan memberikan yang terbaik buat teteh”

“Ya Imay, tapi puluhan tahun aku dan Ayah Okamoto membangun usaha ini, dan sekarang rasanya aku seperti terlempar begitu saja”

Imay terdiam, tak tahu mesti bagaimana menghibur teteh nya ini. Dia bisa merasakan betapa sakitnya jadi orang kalah.

Tapi Imay tahu betul kemampuan kakak tertua nya ini untuk bangkit. Kakaknya orang yang tak kenal menyerah. Pasti dia punya cara untuk terus bertahan. Begitu banyak cobaan hidup yang dialami oleh kakaknyanya selama ini, tetapi dia tetap bisa semangat dan bangkit, bahkan terus menopang adik-adik serta keluarga besarnya. Dalam hati, Imay berdoa agar Allah selalu menjaga dan memberi kesehatan untuk kakak tertuanya yang baik hati ini.

Mereka berdua diam tanpa bicara. Pikiran merekalah yang berjalan ke sana kemari. Sampai akhirnya Endah tersenyum sambil menghapus sisa-sisa  air matanya dan berkata, “May, nanti sore kita balik ke Jakarta ya, aku mau ketemu pemilik ruko dekat apartemen kita. Kita buka restoran yang buat usaha Imay ke depannya, mau, ‘kan?”

“Ya, Teh …,” jawab Imay.

Ah, betapa hebatnya Teh Endah ini. Dalam keadaan apa pun ia tetap memikirkan masa depan adik-adiknya.

Bahkan ketika hampir empat tahun Ayah Okamoto didiagnosis menderita sakit kanker sehingga Endah harus bolak-balik menenani berobat ke rumah sakit bahkan sampai berobat ke Jepang, Endah masih tetap saja memperhatikan keluarga besarnya. Cinta dan sayangnya tak terhingga kepada adik-adiknya sebab dia serupa ayah dan ibu bagi adik-adiknya.

Endah menghabiskan sisa kopinya, dia berdiri dan masuk ke kamar, mandi, dan selanjutnya mulai berkemas untuk persiapan pulang. Nanti dia akan mampir ke pabrik terlebih dahulu sebelum pulang ke Jakarta. Semangatnya kembali bangkit. Dia ingin berjuang untuk masa depan adik-adiknya, dan tentunya kedua buah hatinya yang sudah dewasa.  Masih ada uang untuk modal yang bisa dimanfaatkan, yaitu uang dari sisa asuransi Ayah Okamoto yang ditransfer oleh maskapai asuransi Jepang. Uang tersebut   sebagian besar sudah dikeluarkan untuk membereskan utang-utang saat berobat, tapi masih bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Meski sahamnya di pabrik ubi sebagian besar telanjur terjual, setidaknya dia masih memiliki tabungan untuk meneruskan hidup dan mencoba membuka usaha baru.

Endah mulai memperhitungkan membangun usaha baru. Mulai dari nol seperti dulu. Dengan semangat dan usaha, dia yakin dapat memetik kesuksesan di tahun-tahun akan datang. (*)

 

Aslina Perangin adalah seorang wanita paruh baya, ibu dari dua anak. Ia lahir di Belawan pada tanggal 4 Agustus 1967.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply