Perempuan Kenangan
Oleh: Nuraliah
Jarum jam dinding terus berdetak seiring luruhnya bulir bening dari langit berwarna pekat. Aroma seduhan kopi asli yang diracik oleh tangan sang ahli menguar mendominasi penciuman. Di sudut ruangan ini, seseorang tampak nanar memandang entah ke mana. Satu jam, dua jam, laki-laki dengan jaket cokelat tua ini masih betah berlama-lama. Sampai senja menua, hujan telah reda, dan secangkir kopi ekspresso yang isinya telah tandas diteguk sang empunya. Ia masih di sana.
Laki-laki ini, kemudian menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi, lalu mengusap kasar wajahnya. Sorot matanya kelabu, dia memijit kedua pelipis yang mulai berdenyut. Ternyata dia baru saja berpapasan dengan kelebat bayang-bayang masa lalu.
Baru saja dia menyetir motornya dengan laju sedang, suara klakson beberapa kendaraan lain bersahutan, asap dari bus yang menyalip dari sisi kanan menghalangi pandangan matanya yang tidak lagi dapat melihat jelas akibat minusnya bertambah.
Wanita yang dilihatnya sekilas tadi di dalam bus, membuyarkan semua jadwal yang telah dibuat olehnya. Mestinya sore ini, Ia menepati janji menemui seseorang untuk urusan masa depan. Lesung pipit serta senyuman khas dari wanita itu terekam jelas di mata yang melihatnya, membuat isi kepalanya kembali memutar potongan-potongan memori kisah pada beberapa tahun lalu. Namanya telah dihapus dari semua kontak yang pernah dia punya, barangkali namanya bisa, tapi kenangannya tidak.
“Aaarrgghh..!”
Dia mengacak-acak rambutnya, menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Sekali lagi kelebat bayangan wanita itu menjelma sempurna di hadapannya, serupa penggalangan video yang diputar dengan cepat.
“Husna, boleh aku bicara sebentar?”
Yang dipanggil, asyik membaca buku di pojok ruangan perpustakaan bersama temannya.
“Eh, iya apa, Za?”
“Bisa bicara sebentar?” Reza mengulang pertanyaannya.
“Emm… tapi di sini aja, ya!” pintanya, seraya menahan tangan teman perempuannya agar tidak beranjak jauh dari tempat mereka bicara. Temannya mengangguk.
Reza menarik satu kursi dari sebelah meja Husna. Menggesernya agar bisa menatap wajah perempuan yang dicintainya. Ada yang tidak bisa dikondisikan di dalam dada. Ia ingin sekali mengutarakan apa-apa yang dirasanya selama ini. Satu organisasi, memaksanya untuk selalu bertemu Husna. Siapa yang tidak kenal dengan perempuan indah seperti dia. Lembut dan salihah.
“Husna, aku nanya boleh?”
“Soal apa?” Tanpa menatap wajah yang bertanya, Husna menunduk menyembunyikan gejolak yang entah apa namanya.
“Pandangan Husna tentang nikah muda, bagaimana?” Reza mengulum senyum melihat rona merah muda di wajah perempuannya.
“Menurut Husna, menikah itu jika sudah siap ilmunya maka menikahlah. Semisal dia usianya sudah dewasa pun, tidak ada istilah terlambat menikah. Sebab, menikah menurutku termasuk persoalan pilihan. Seseorang yang menikah muda, barangkali mereka punya prinsip seperti ini ‘bila bisa bahagia sekarang, kenapa menunggu nanti’. Begitu kira-kira”
Dengan tenang, Husna menjelaskan sesuai pandangannya, sedangkan yang bertanya, hatinya semakin terasa ditaburi bunga.
“Kalau begitu, besok aku lamar kamu, ya!”
Kalimat itu spontan keluar dari lidahnya begitu saja. Semakin ditahan, semakin menyiksa. Reza ingin segera mengakhiri rindunya. Dia tahu, tidak baik merindukan seseorang yang bukan mahram.
Husna saling pandang dengan temannya, seperti meminta pendapat agar ikut mengiyakan. Sejurus kemudian dia mengangguk.
“Silakan sampaikan niat baikmu kepada ayahku!” jawabnya.
Bagai diremas ulu hati Reza, sesak memenuhi rongga dada. Niat baiknya tidak langsung diterima oleh ayah Husna. Katanya, belum rida melepas anak perempuan semata wayangnya kepada laki-laki yang belum jelas masa depannya.
“Husna akan saya bawa ke luar kota. Jika Ananda Reza serius dengan anak saya, silakan datang lagi dengan bekal yang sudah cukup.”
Mendengar ucapan ayahnya, mata Husna berkaca-kaca. Bukan tak ingin membantah, tapi sifat lembutnya membuat dia tidak bisa apa-apa kecuali menurut.
Berwaktu-waktu mengasuh rindu tanpa kabar dan kepastian. Namun, perasaannya belum memudar. Reza ingin membuktikan bahwa dia bisa diandalkan. Lima tahun sudah berlalu, kini dia bukan lagi laki-laki yang bisa diremehkan. Reza sudah mapan. Sampai akhirnya, dia harus melupakan masa lalu, dengan menerima gadis pilihan ibunya yang dua bulan lagi akan dilangsungkan pernikahan. Tapi hari ini, tiba-tiba dia ragu, hati kecilnya berkata, ‘yang ditunggunya telah kembali’.
Seseorang lain memperhatikan laki-laki ini dari pintu kedai. Kemudian menghampirinya.
“Kenapa, Tuan terlihat murung hari ini? Bukankah lima tahun yang lalu Anda adalah lelaki yang penuh semangat?” Suara lembut wanita dengan jilbab biru muda menatapnya dengan senyum terindah.
“Husna…!”(*)
BANJARSARI, 18 MARET 2020
Nuraliah, Perempuan sederhana yang hobi membaca sastra lama. Suka menulis apa saja yang disebut sebagai puisi.