Perempuan Kamis

Perempuan Kamis

Perempuan Kamis
Oleh : Ilva Zumaroh

Sokeh mondar-mandir di depan becaknya. Pandangan matanya berkali-kali memeriksa jalan kecil sebelah stasiun. Biasanya, perempuan itu muncul dari sana, dengan dua kantong beras di tangannya, juga amplop putih berisi satu lembar berwarna merah.

“Min, ini hari Kamis, kan?” tanya Sokeh kepada Parmin—laki-laki beruban yang selama ini menjadi teman mangkalnya. Meskipun sudah tua, semangat Parmin tidak kalah dengan yang lebih muda.

“Sokeh, kamu itu belum terlalu tua seperti aku, kok sudah lupa hari, toh? Kalau besok Jumat, artinya sekarang Kamis,” balas Parmi sambil memakai capingnya di kepala.

“Mbak yang biasanya itu kok belum datang, ya,” ucap Sokeh. Pandangan matanya tetap mengawasi jalan kecil di sebelah stasiun itu.

“Oh, maksudmu Mbak Hanah yang biasanya bagi-bagi beras sama duit?”

Sokeh mengangguk sambil menempatkan pantatnya di sebelah Parmin, ikut duduk di trotoar jalan, tepat di bawah tiang lampu merah.

Sokeh menarik napasnya dengan perlahan, lalu diembuskannya dengan cepat. Tiba-tiba terngiang lagi ucapan istrinya tadi pagi.

“Kang, beras kita tinggal segenggam, uang buat belanja juga sudah habis. Nanti siang sama sore, kugoreng saja nasinya. Lauknya cuma cukup buat sarapan pagi ini.”

Sejak awal masa pandemi ini, penumpang becak tidak banyak lagi seperti sebelumnya. Penghasilan Sokeh pun menurun drastis. Tabungannya juga sudah habis, setelah anaknya yang kelas 5 SD minta dibelikan handphone untuk keperluan belajar daring.

“Sokeh, Mbak Hanah datang!” seru Parmin membuyarkan lamunan Sokeh.

“Alhamdulillah!” ucap Sokeh tak kalah seru. Dia segera berdiri menyambut kedatangan Hanah—gadis cantik berjilbab lebar yang biasanya selalu berbagi sedekah pada mereka setiap Kamis pagi.

“Assalamualaikum, Pak.”

“Waalaikumsalam, Mbak Hanah.”

Sokeh dan Parmin segera maju beberapa langkah. Mereka masing-masing menerima sekantong beras dan satu amplop putih yang diberikan oleh Hanah. Di bagian depan amplop yang diterima itu tertulis “3S”. Sokeh dan Parmin sudah hafal dengan tulisan di amplop itu. Mereka tidak paham maksudnya, juga tidak ingin menanyakannya. Bagi keduanya, setiap Kamis mendapat rezeki seperti itu sudah berkah luar biasa. Mereka tak perlu memusingkan kepala dengan memikirkan hal-hal tidak penting lainnya.

“Terima kasih, Mbak Hanah,” ucap Sokeh dan Parmin hampir bersamaan sambil sedikit menundukkan kepala sebentar.

“Maaf, permisi saya ambil gambarnya. Seperti biasanya, ya, Pak, untuk laporan. Sedekah ini titipan dari teman-teman saya,” ucap Hanah, sambil mengeluarkan handphone dari dalam saku roknya.

Sokeh dan Parmin menurut. Mereka juga sudah hafal jika harus difoto setelah menerima sedekah. Sokeh dan Parmin segera berpose di depan becak masing-masing. Satu kantong beras dipegang tangan kiri, sedangkan amplop putih dipegang tangan kanan lalu ditempelkan di depan dada.

“Saya pamit duluan, ya, Pak. Assalamualaikum,” ucap Hanah kemudian, setelah selesai mengambil gambar.

“Waalaikumsalam. Tunggu, Mbak,” ucap Sokeh, membuat Hana membalikkan badan lagi. “Kamis depan, jangan tidak datang, ya,” lanjut Sokeh malu-malu. Suaranya lirih, tetapi cukup untuk didengar telinga mereka bertiga. Parmin menyenggol lengan Sokeh, sambil mengucapkan kata maaf. Wajah keriputnya menampakkan rasa bersalah.

Hanah tersenyum, lalu mengangguk. Kemudian perempuan itu membalikkan badan dan melangkah cepat menuju gang sempit sebelah stasiun.

Sokeh terlihat semringah. Dia segera menyimpan amplop putih ke dalam dompet lusuhnya. Begitu juga dengan Parmin, tak habis-habis bibirnya melafazkan hamdalah.

Bagi mereka, Hanah adalah perempuan Kamis yang membuat hari-hari ke depan terasa lebih manis. Setidaknya, mereka tidak pusing lagi untuk membeli beras sepekan ke depan. Uang dalam amplop tadi cukup untuk membeli lauknya.

***

Hujan baru saja berhenti. Sisa tetesan airnya masih menggantung di ujung-ujung daun jeruk, di sebelah rumah Hanah. Sebagiannya tertinggal di dinding luar rumah kayu itu, membuat basah permukaannya. Pelataran rumah juga masih tertutup genangan air, memantulkan bayangan beberapa pohon kelapa yang berbaris di dekat pagar tanaman.

“Hanah, kamu sudah terima upah apa belum?” tanya seorang perempuan tua yang baru saja muncul dari dalam rumah. Hanah sedang merapikan beberapa kantong beras di teras.

“Belum, Mak. Cucian di tempat laundry tidak sebanyak bulan lalu. Kata Juragan Dharma, upah Hanah bulan ini sedikit,” ucap Hanah sambil melangkah mendekati mamaknya.

Hanah dengan hati-hati menuntun mamaknya menuju bangku kayu di pojokan teras. Lantai tanah yang tidak rata pernah membuat mamaknya tersandung dan jatuh.

“Obat Mamak sudah habis, Hanah. Kalau nggak segera beli, khawatir penyakit darah tinggi Mamak kambuh lagi.”

Hanah ikut duduk di bangku kayu, kedua tangannya menggenggam tangan keriput mamaknya. Tak lupa ia membetulkan daster lusuh mamaknya yang sedikit tersingkap.

“Mamak jangan khawatir, besok Hanah pinjam sama Juragan Dharma buat beli obat,” ucap Hanah sambil menatap lekat mata tua mamaknya. Bagi Hanah, mencukupi kebutuhan mamaknya adalah sebuah keharusan. Siapa lagi yang akan melakukan itu jika bukan dirinya?

“Hanah, gimana kalau kamu meminta satu kantong beras sama uang dalam amplop itu? Bukankah sedekah itu buat orang miskin seperti kita?” Mamak menunjuk kantong-kantong beras di teras dengan dagunya.

Hanah menggeleng dengan cepat. Lalu, ia mengangkat kedua sudut bibirnya perlahan.

“Mak, beras-beras itu memang untuk orang miskin, tapi bukan untuk kita. Orang-orang yang sedekah itu minta tolong kepada Hanah untuk membagikan beras dan uang kepada bapak-bapak tukang becak,” ucap Hanah. Tangan kanannya mengusap lengan keriput mamaknya dengan pelan.

“Kalau bapakmu masih ada, mungkin bisa menjadi tukang becak juga seperti mereka, ya. Biar bisa dapat sedekah,” ucap Mamak, matanya memandang ke arah jalan. Bola matanya bergerak-gerak, mengikuti satu dua sepeda motor yang sedang melintas.

“Mak, rezeki untuk kita pasti ada sendiri. Mamak tenang saja. Mamak jangan pernah lupa untuk selalu mendoakan Hanah. Itu yang paling penting.”

Mamak mengangguk.

Hanah menatap langit-langit teras, tampak lembaran asbes berbahan seng yang sudah berkarat. Mungkin, sebentar lagi asbes itu tak bisa menahan guyuran air hujan.

Bukan keinginan Hanah untuk hidup miskin seperti ini. Namun menurutnya, Allah pasti lebih mengetahui yang terbaik untuk dia dan mamaknya. Meski begitu, Hanah bersyukur diberi kepercayaan untuk membagikan sedekah. Setidaknya, meski dia tidak memiliki harta berlebih, masih bisa membahagiakan orang-orang lewat titipan sedekah yang dibagikannya.

Hanah teringat nasihat gurunya saat sekolah dulu. Ketika kita tidak memiliki apa-apa, jangan menjadi alasan untuk tidak berbagi lagi. Karena berbagi itu bukan hanya berupa materi.

 

Jember, 29 Januari 2021.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply