Perempuan Itu

Perempuan Itu

Perempuan Itu

Oleh: Dandelion Rindu

“Tin … Tini … ayo bangun, cepetan!!” suara Bi Yani mengagetkanku.

Aku masih mengantuk. Kulirik jam di dinding. Jam menunjukkan pukul 02:00 dini hari. Ya Allah … masih malam begini, mau apa sih Bibi yang satu ini pakai acara membangunkanku segala?

“Apaan, Bi? Masih ngantuk banget nih,” tanyaku sedikit kesal.

“Tin, anter Bibi nyamperin orang, yuk! Buruan ah, bangun!”

“Nyamperin siapa sih, Bi? Malem-malem gini juga. Itu bocah mau dibawa keluar malem?” Tanganku menunjuk ke arah Syila. Bayi satu tahun, anak bibi dan pamanku.

“Iyalah, masa Bibi tinggalin. Kalo dia bangun terus nangis, entar malah repot.”

“Ebuset, malam-malam begini bocah satu tahun dibawa keluar. Gak kasihan apa yak ini emak satu sama anaknya?” protesku dalam hati.

“Kasian atuh, Bi. Mending Bibi aja deh yang keluar. Aku nunggu di sini sama Syila.” Aku hendak melanjutkan acara tidur lagi, tapi tiba-tiba teringat sesuatu, “Oh iya, Bi, ngomong-ngomong Paman ke mana? Kok gak ada?” lanjutku keheranan.

“Nah, itu dia Tin. Paman kamu belum pulang. Dia pasti deh ke rumah perempuan itu. Kurang ajar emang.”

Sinis Bi Yani menyebut kata “perempuan itu”.

Ada apa memangnya?

Walau penasaran, tapi aku lebih memilih untuk diam. Tidak mau kepo sama urusan rumah tangga orang, kecuali orang itu dengan senang hati untuk bercerita.

Bi Yani terus saja memohon dengan wajah memelas, akhirnya aku turuti keinginannya dia. Buru-buru aku mengambil baju tebal berwarna biru muda. Udara di luar pasti sangat dingin. Apalagi untukku yang baru dua hari hidup di Bandung untuk mencari pekerjaan, rasanya masih sulit untuk beradaptasi dengan cuaca sedingin ini.

Bi Yani sudah menggendong Syila dan menunggu di luar. Tidak berapa lama kemudian kami berangkat dengan berjalan kaki menuju rumah perempuan yang dimaksud.

Jarak yang lumayan jauh untuk ukuran jalan kaki, membuat betisku cepat pegal. Aku tertinggal jauh dari Bi Yani. Sedangkan ia melakukan langkah seribu dengan penuh emosi. Cepat-cepat aku mengejar Bibi.

***

Kami sudah sampai di sebuah rumah berlantai dua dengan cat hijau muda yang dominan. Suasana di sekitar nampak sepi. Kulihat Bi Yani mengambil beberapa kerikil. Dahiku mengerut. Tak berapa lama kemudian batu itu mendarat mulus pada sebuah kaca.

Dilempar Bi Yani.

Prang!!!

Terdengar sesuatu berjatuhan ke lantai. Memecah kesunyian. Sejenak aku panik, Bibi malah kegirangan karena itu yang dia mau. Sebab panik itu, spontan aku buru-buru mengajak Bibi pulang. Malu kalau didengar orang. Tapi Bibi keukeuh ingin melabrak perempuan itu. Aku pasrah karena Bibi adalah orang yang tidak mudah mendengar nasihat orang lain. Keras kepala.

Seorang wanita muncul dari kamar lantai atas. Menengok ke bawah dengan penuh amarah.

“Astagfirullahaladzim …. Ada apa ini teh? Kenapa Teteh lempar kaca rumah saya?” tanya wanita itu kesal.

Syila yang tengah tertidur pulas dalam dekapan ibunya terbangun begitu saja. Cepat-cepat kuambil bayi cantik itu. Aku menggendongnya dan berjalan menjauh dari Bibi. Beruntung Syila tidak rewel.

Roman-romannya akan ada perang adu mulut ini. Aku membawa Syila ke sebuah taman yang tidak jauh dari rumah mewah itu. Dari sini aku masih bisa mencuri dengar apa yang mereka bicarakan, terlebih suara Bi Yani mampu membangunkan orang-orang satu RT.

“Ih, dasar perempuan munafik. Gak usah belaga lugu kamu, teh. Sini turun! Sekalian berantem sama saya. Dasar pelakor! Di mana kamu simpen suami saya?” teriak Bi Yani dengan sengit.

Nampaknya tuan rumah malah kebingungan, tidak mengerti maksud Bi Yani. Cepat-cepat ia turun menghampiri Bibi. Ia keluar dengan seorang lelaki berperawakan besar dan terlihat berwibawa. Kaget bukan main Bibi dibuatnya. Sepertinya laki-laki itu adalah suami dari perempuan yang disangka pelakor.

“Maaf, Bu. Ada apa ya, malam-malam nyari ribut di rumah saya? Tadi Ibu bilang apa? Istri saya pelakor?” tanya sang lelaki tegas.

“A-anu. Itu, suami saya udah seminggu ini pulang pagi terus, Pak,” ujar Bi Yani tergagap.

“Nah, loh! Suami Ibu jarang pulang kok nyarinya ke rumah saya?”

Belum sempat Bibi menjawab, tetangga terdekat sudah berdatangan untuk menanyakan ada keributan apa. Bi Yani menggigit bibir karena malu dengan tingkahnya sendiri. Karena sang pemilik rumah baik hati, akhirnya dibawa masuklah Bibi ke dalam untuk menjelaskan duduk perkaranya seperti apa. Para tetangga yang ingin tahu disuruhnya pulang dengan meninggalkan rasa penasaran di benak masing-masing. Aku ikut masuk karena ingin tahu permasalahannya juga.

“Jadi gini, Pak … suami saya sudah seminggu ini pulang pagi terus. Saya cerita sama tetangga. Eh kata tetangga, suami saya suka main sama istri Bapak. Sampai diinepin lagi. Katanya istri Bapak itu, cinta pertama suami saya dulunya. Ya jelas saya teh emosi sama istri Bapak. Kesel. Nikah baru dua tahun, suami udah direbut pelakor. Saya yang baru sebulan tinggal di sini dan gak tau apa-apa sama kehidupan suami sebelumnya jadi pengen ngamuk denger suami begitu. Si Aak lagian kalau ditanya dari mana gak pernah jawab. Cuma senyum gak jelas. Sakit, Pak, sakiit … hati saya.”

Bi Yani malah curhat sambil menangis tersedu-sedu. Aku ikut terenyuh mendengar ceritanya yang mengharu biru.

Sepasang suami-istri itu terlihat memaklumi.

Menurut cerita perempuan yang disangka pelakor, dirinya memang sempat pacaran dengan suami Bibi, tapi itu dulu waktu mereka masih sekolah SMA. Dan setelah lulus mereka tidak pernah bertemu lagi karena kesibukan masing-masing. Dan baru dua minggu yang lalu, mereka tidak sengaja bertemu lagi di pasar tradisional. Sempat berbincang sebentar lalu akhirnya berpisah. Kejadian itu mungkin dilihat tetangga paman yang mengenali keduanya, dan akhirnya diceritakan secara berlebihan.

Setelah mendengar penjelasan suami-istri itu secara detail, akhirnya kami pamit. Beruntung keduanya memaafkan tingkah Bibi yang kekanakan. Tapi, Bi Yani berjanji akan bertanggung jawab untuk penggantian kaca yang pecah.

Sepertinya Bi Yani pulang masih dengan rasa penasaran. Sepanjang jalan ia bertanya-tanya, jadi, selama ini ke mana suaminya itu pergi? Lalu, kenapa pula tetangganya menceritakan hal yang berlebihan terhadap dirinya?

Tak mendapatkan jawaban, ia bingung sendiri dan ngomel-ngomel tidak jelas.

Aku menutup telinga.

***

Menjelang subuh, Paman pulang dengan membawa sebuah bingkisan di tangan. Isinya dua potong set gamis dan sebuah kotak kecil berwarna merah. Itu sebuah cincin emas.

Tanpa basa-basi ia mengecup kening dan mengucapkan kata “I love you” pada istri tercintanya itu. Lalu, tanpa merasa berdosa pula langsung pergi menuju kamar mandi. Bi Yani speechless. Entah apa yang ada dalam benaknya.

Tak berapa lama Bibi berteriak, “Selama seminggu ini, kamu kemana pulang pagi terus, Ak?”

Dengan singkat suaminya balas berteriak, “Lembur ….”

Facebook : DandelionRindu

Email : sukmawatietins@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita