Sungguh, aku ingin bercerita padanya.
Perpustakaan pukul dua siang hari rabu. Aku sudah berada di sana kira-kira dua jam, membaca dan menulis makalah. Setelah tujuh puluh persen rampung, aku merasa harus memperhatikan sekitar dengan maksud melonggarkan arus pikiran yang pampat dan menyegarkan mata yang kering dan sedikit gatal.
Sebenarnya aku lebih berharap operator menyetel musik-musik instrumental. Reminiscence karya Mattia Cupelli misalnya atau lagu-lagu Yiruma. Sementara lagu yang sedang dimainkan adalah milik band-band lawas. Aku bisa apa. Selagi taraf intensitas bunyinya pas di telinga, yasudahlah.
Aku tidak yakin berapa desibel tepatnya musik saat itu. Mungkin tiga puluh atau empat puluh. Entahlah. Aku juga tidak mau repot-repot membandingkannya dengan taraf intensitas bunyi ideal perpustakaan. Ini lebih mengandalkan kenyamanan saja. Sungguh cara mengukur yang tidak sepatutnya. Tetapi siapa yang peduli. Orang-orang yang seperti Albert Einstein dan Stephen Hawkin itu sungguh tidak banyak.
Di hadapanku jendela kaca. Dari kursiku aku bisa melihat bukit, rumah-rumah, pertokoan, jalan-jalan arteri, arus kendaraan yang lancar, langit dan layang-layang. Lalu, baru kusadari ternyata aku berada di ruang baca yang lengang. Walaupun tadinya tidak bisa juga kusebut ramai, tetapi aku masih ingat beberapa orang yang sedang berdiskusi di meja paling pojok juga beberapa individu yang tenggelam dalam bacaannya masing-masing pada kursi-kursi yang memang diperuntukkan bagi yang datang sendiri, meskipun bukan wajahnya (yang kuingat) melainkan hanya sebatas keberadaan saja. Seandainya kami ditakdirkan bertemu lagi entah di mana dan kapan, tidak ada jaminan sama sekali bahwa salah satu akan mengingat yang lainnya meskipun tidak ada yang tidak mungkin. Terlebih lagi karena mereka sudah pergi satu per satu tanpa permisi dengan yang lainnya dan memang tidak seorang pun menganggap itu perlu.
Selain kehadiranku, hanya seorang perempuan yang duduk di seberang berjarak satu meja ke kanan. Dalam rentang jarak yang kurang lebih hanya se-diagonal meja baca yang berukuran setengah meter kali setengah meter itu, aku maupun perempuan itu masing-masing berkesempatan mencuri-curi lihat apa-apa saja kiranya yang sedang kami seriuskan. Tetapi nampaknya hanya aku yang hendak mengambil kesempatan demikian sekarang.
Sebelum itu, pikiranku malah sibuk menerka-nerka segala hal tentang perempuan itu. Usianya kutaksir masih belasan tahun, kemungkinan seorang introvert. Melihat yang dibawanya ke ruang baca semuanya adalah majalah wanita terkini, ia bisa jadi adalah seorang sosialita yang up to date terhadap hal-hal yang kekinian.
Kuamati, ia tidak memiliki mata yang besar dan tidak kecil pula. Hidungnya juga tidak terlalu mancung dan tidak pesek pula. Bibirnya juga rata-rata. Ia tampaknya tidak punya fitur wajah yang memudahkan orang lain mengingat wajahnya. Namun jika dilihat secara keseluruhan, mata, hidung, bibir dan bagian lain dari wajahnya—menurutku—menyempurnakan tampilan.
Biasanya saat aku melihat wajah seseorang, lelaki misalnya. Melihat matanya aku terbayang mata biru muda Leonardo de caprio dan berandai-andai bagaimana jika lelaki itu memiliki mata yang sama tetapi tetap dengan fitur wajah lain yang dimilikinya sekarang. Atau membayangkan bibir Angelina Jolie ketika memperhatikan seorang wanita dan berandai-andai bagaimana jika ia memiliki bibir yang sama. Tidak bermaksud apa-apa. Terbatas dalam wilayah pikirannya sendiri, seseorang tentu saja bebas berandai-andai dan punya segudang pemikiran yang unik (bila tidak ingin disebut sebagai aneh) bukan?
Tetapi anehnya perempuan itu tidak membuatku memikirkan mata, hidung, bibir dan bagian-bagian wajah orang lain. Bisa jadi ini sebuah keuntungan. Bertemu dengannya membuatku jadi sedikit waras mungkin. Terlebih lagi karena ia tidak membuatku memikirkan kata cantik, jelita atau semacamnya ketika menatap wajahnya. Semua hal yang rata-rata itu membuatku merasa cukup, entah bagaimana.
Kepada perempuan belasan tahun dengan majalah wanita yang sedang dipegangnya itu, ah, aku tidak berharap ia sedang serius membaca laman horoskop saat ini.
Mungkin zodiaknya virgo, mungkin juga aries atau malah pisces. Entahlah. Kemungkinannya satu per dua belas. Aku belum menemukan satu pun artikel tentang orang-orang yang bisa menebak zodiak seseorang melalui pengamatan tanpa mengetahui tanggal lahirnya. Tetapi andai pun bisa, entah seseorang yang berada di belahan bumi mana, pastilah menebak zodiak seseorang tidak semudah menebak golongan darah yang dimilikinya meskipun yang ini juga sebenarnya tidak gampang-gampang amat. Sama tidak gampangnya menebak kepribadian orang melalui fitur wajah dan mempercayai hasil tebakannya, karena menurutku membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengamati seseorang lamat-lamat. Pengamatan “dua-detik” itu kok rasanya agak tidak adil.
Dengan banyaknya pengetahuan yang dibagikan secara cuma-cuma di internet, setiap orang bisa menjadi amatir. Meskipun tidak semua orang menganggapnya serius sebagai ilmu tetapi lebih seperti bumbu-bumbu obrolan yang menyenangkan dan lucu. Dan alangkah baiknya jika ia juga menganggapnya demikian.
Entah dua atau tiga tahun yang lalu, aku lupa tepatnya kapan. Aku bahkan tidak mengingatnya lagi jika bukan karena perempuan itu. Ini adalah dongeng tentang tiga tokoh saja. Salah satunya sebut saja sebagai seorang gadis—untuk membedakan istilah dengan perempuan itu—berusia delapan belas tahun, lalu seorang jejaka berusia dua puluh empat tahun dan seorang peramal yang usianya tidak pernah ada yang peduli. Ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai amatir. Dan setiap orang yang bertemu dengannya tidak pernah mempedulikan berapa lama ia sudah mempelajari ilmu meramal dan bagaimana caranya.
Suatu hari takdir mempertemukan peramal dengan gadis dan jejaka itu. Mereka bertiga berada dalam komunitas yang sama—yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan ramal meramal. Beberapa bulan bersama-sama, singkat cerita. Peramal mengatakan kepada sang gadis bahwa ia dan jejaka itu muncul sebagai pasangan ketika ia mereka-reka masa depan. Sang gadis menepisnya. Peramal itu tetap meyakinkannya bahwa itu akan terjadi.
Karena memikirkan keakraban antara ia dan jejaka saat itu, sang gadis pun tidak bisa menahan senyum yang tiba-tiba terlukis di wajahnya. Tangannya hendak menyentuh dadanya yang bergemuruh tetapi ditahannya. Di depan peramal itu ia menegaskan bahwa ia tidak pernah mempercayai ramalan. Kemudian berlalu meninggalkan peramal yang sempat melihat senyum yang dikembangkan sang gadis dan kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Dan entah dengan alasan apa peramal tidak pernah mengatakan apapun perihal yang dilihatnya sebagai masa depan itu kepada jejaka.
Sepulangnya dari bertemu peramal, malamnya sang gadis tidak bisa tidur. Tiba-tiba saja insomnia yang tidak pernah diidapnya seumur hidup, mendatanginya untuk pertama kali. Ia mencuri-curi lihat gambar jejaka itu dari foto-foto yang diunggah ke dunia maya. Isi kepalanya saat itu sarat dengan serentetan peristiwa yang pernah dilaluinya bersama jejaka. Seketika semua peristiwa yang diingatnya menjadi penuh bunga-bunga. Semua tempat dalam ingatannya berubah menjadi taman. Siang menjadi senja. Panas menjadi hujan rintik-rintik. Semua kata-kata adalah puisi. Embusan angin adalah denting gitar akustik. Pikirannya tidak lebih seperti bioskop pribadinya sendiri. Seperti ketika menonton film yang romantis, adegan-adegan tertentu yang disukainya ia ulang berkali-kali, berpuluh-puluh kali.
Setelah hari itu, di manapun sang gadis berjumpa dengan jejaka, cara menatapnya, cara berbicaranya, bahasa tubuhnya dipermanis seperti es balon yang diberi aspartam. Jejaka itu merasa tenggorokannya kecut. Perlahan tetapi pasti, selangkah demi selangkah ia memberi jarak. Sang gadis nyalinya ciut dan akhirnya kedua-duanya sama-sama menghilang dari kehidupan masing-masing. Dan kabar sampai pula kepada peramal.
Cerita di tutup dengan kisah sang gadis yang patah hati dan peramal yang merasa bersalah karena memberi tahukan sang gadis perihal yang seharusnya tidak ia ceritakan.
Lalu, apa yang terjadi sebenarnya?
Kemungkinan pertama. Peramal itu amatiran. Ia tidak benar-benar bisa mereka-reka masa depan.
Kemungkinan kedua dengan menganggap bahwa peramal itu benar-benar bisa mereka masa depan. Andai peramal tidak memberi tahukan perihal yang dilihatnya itu kepada sang gadis. Karena jejaka sepertinya merasa sang gadis menarik sejak awal—entah dengan hasrat untuk berhubungan romantis atau tidak. Bisa jadi sang gadis dan jejaka itu benar-benar akan menjadi sepasang. Kemungkinannya satu per dua lebih sedikit. Seperti melempar koin ke udara yang peluang munculnya gambar dimanipulasi dengan cara tertentu agar lebih sering dibandingkan angka.
Kemungkinan yang terakhir. Katakanlah peramal terlanjur memberi tahukan sang gadis perihal yang dilihatnya itu meskipun waktunya sebenarnya tidak tepat—ketika jejaka mungkin masih ragu-ragu dan masih butuh waktu untuk memutuskan mendekat sampai sejauh apa. Andaikan sang gadis menganggap itu sebagai angin lalu dan tidak mengubah apapun yang disebabkan ramalan itu. Akhirnya mungkin akan seperti kemungkinan yang kedua.
Aku ingin menceritakan itu pada perempuan yang sedang serius membaca laman horoskop di sebuah majalah wanita itu dan memberi tahunya bahwa ia mempunyai tiga kemungkinan. Aku menegaskan kata “mungkin” agar ia mengerti bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini selain perubahan dan kematian. (*)