Perempuan di Balik Birai Jendela
Oleh : Devin Elysia Dhywinanda
Setiap sore, setelah selesai menyapu dedaunan mangga serta berjatuhan di halaman depan, Ibu selalu berdiri seraya menopang dagu di birai jendela biru rumah kami. Pandangannya selalu lurus, seolah ingin menelanjangi pepohonan jati di sebelah utara rumah kami yang sebetulnya telah berdiri apa adanya, tidak perlu ditelanjangi lagi. Sekali waktu, ketika meneliti betul-betul roman wajahnya yang tampak sendu—sendu yang dalam, seperti keheningan desa kami sehabis fajar—aku seketika berpikir bahwa Ibu tengah mencari sesuatu-entah di sana. Sesuatu yang membuatnya setia ada di sana hingga azan Magrib berkumandang.
Ibu memang perempuan setia. Ia pernah berkata bahwa dapat melakukan apa saja demi anak serta suaminya. Dulu, saat aku cukup umur untuk memaknai sebuah pengorbanan, Ibu bercerita bahwa aku anak yang sangat rewel, tidak mau minum susu formula, sehingga Ibu pun mengalah: keluar dari pekerjaannya. Pada serentang masa hingga aku menjadi mahasiswa, ketika hubungannya dengan Bapak serupa cangkang kosong yang bisa retak kapan saja, Ibu masih saja bersikukuh menjadikan Bapak sebagai dermaga tunggalnya, tempat ia pulang meski seminggu sekali bertengkar; tempat yang mesti ia jaga, ia bersihkan, serta ia renovasi kalau bisa, tepat setelah kondisi Bapak menurun dan mengharuskan pria berkulit gelap itu berbaring di atas dipan.
Jadi barangkali, setelah Bapak yang merupakan dermaga kesetiaannya pergi di malam bulan April, Ibu sedikit-banyak kehilangan peraduan hingga akhirnya memutuskan setia kepada kelengangan hutan jati di sebelah timur rumah kami.
Pernah, aku yang penasaran dengan hal istimewa di sana bertanya pada Ibu, “Apa yang Ibu lihat di sana?”
Ibu tersenyum lembut. “Banyak. Ada banyak hal menarik yang tidak akan bisa kaupahami sekarang ini.”
Aku tertawa, ikut melakukan rutinitas Ibu. Angin berembus, memainkan dedaunan jati hingga luruh-jatuh, lantas membawanya berputar usai berada di permukaan tanah. Aku tersenyum, mengakui bahwa tempat itu tidak begitu buruk untuk dijadikan dermaga Ibu yang lain.
“Bagaimana rasanya?”
“Menenangkan.”
Aku beralih pada Ibu. “Apa suaranya selalu begini setiap hari?”
“Acak. Kadang bikin kangen. Kadang bikin emosi juga.” Ibu tertawa kecil, kemudian diam sebentar. “Kadang, Ibu juga merasa kalau itu mirip suaramu, Lis.”
Waktu itu aku bergeming, lantas meraih lengan Ibu untuk bercakap-cakap dengan aku serta suamiku. Cahaya matahari lindap ketika aku menutup jendela, dan kutemukan kesenduan lain di balik pepohonan tinggi di sana.
*
Ibu barangkali kesepian.
Itulah yang kadang kupikirkan setiap mengingat rutinitasnya bergeming di balik jendela menjelang Magrib. Aku memang jarang mengunjungi Ibu, baik sebelum ataupun sesudah kepergian Bapak (tetapi aku selalu berusaha berkunjung, setidaknya, sekali sebulan) karena urusan-urusan yang tidak dapat ditinggalkan di kota. Bukan berarti aku tidak peduli—beberapa kali aku mendengar gunjingan tetangga perihal seorang anak yang mementingkan suami ketimbang ibunya sendiri—tetapi memang aku tidak bisa.
Ibu tidak pernah mengeluh. Ia selalu berkata bahwa ia memakluminya. Seorang istri harus setia, menurut pada suaminya, ia pernah berkata, yang dilanjut dengan menggunjingkan tetangga sebelah kami yang asal mengambil buah mangga di depan rumah. Ekspresi wajahnya senantiasa lembut dan bersahaja. Memberikan ketenangan. Mirip dengan pagi hari, ketika jalanan lengang dan hanya menyisakan debu-debu yang ditiup angin menggigil. Kalau kupikirkan lagi, Ibu memang punya sisi senyaman itu: laku yang membuat orang percaya bahwa semua akan baik-baik saja, bahkan meskipun media merilis badai akan datang dalam beberapa jam ke depan.
Ibu mirip hutan jati ketika sore hari.
Namun, ada satu waktu ketika aku merenungkan masa lalu dengan Ibu—masa yang tidak terlalu baik—dan ia berkata, “Seorang perempuan, apalagi kalau sudah jadi istri dan ibu, harus berusaha jadi setegar-tegarnya manusia, Lis.”
“Karena kesuksesan seorang pria bisa dilihat dari kualitas istrinya?”
Kami tengah menyiapkan makan malam waktu itu dan Ibu berkata, “Karena kita adalah pilar, cagak[i] sebuah keluarga, jadi kita harus tetap kuat. Apa pun yang terjadi.”
*
Ibu kesepian.
Kemungkinan itu merupa gema yang bertalu-talu dalam kepalaku ketika aku bangun dini hari dan menunaikan salat Tahajud. Itu adalah tepat tiga tahun kepergian Bapak, dan aku tidak bisa pulang karena ada audit mendadak dari kantor. Selama dua hari terakhir, aku bahkan mesti lembur dan baru pulang pukul sebelas malam. Hari itu, aku sebetulnya bisa saja keras kepala dengan menaiki kereta pagi ke kota kelahiranku, tetapi aku kepalang lelah dan suamiku sendiri menganjurkan untuk beristirahat. “Ibu pasti akan mengerti. Sebagai gantinya, minggu depan kita akan pulang sama-sama. Ya?” bujuknya waktu itu dan aku akhirnya mengalah.
Aku tidak terlalu memikirkannya hingga tanpa sengaja aku tertidur usai melakukan dua rakaat pertama salat Tahajud. Kala itu, aku bermimpi tengah ada di kamar inap Bapak. Hanya ada kami berdua di sana. Bapak mengenakan baju putih, dan ia tersenyum padaku. Ia menceritakan hal-hal yang tidak kupahami, tetapi entah kenapa terasa familier. Dadaku sudah sesak oleh gumpalan rindu waktu itu, yang seketika luruh, mengaliri wajahku ketika Bapak bertanya, “Piye kabar ibukmu, Nduk?[ii]”
Suamiku membangunkanku. Katanya, aku mengigau dan terus memanggil Ibu. Mendengarnya, aku tentu saja menangis, tidak dapat berkata-kata: aku ingat pada Bapak, setelah terkena serangan stroke kedua, yang hanya dapat memandang setiap interaksi orang-orang di sekitarnya dari kejauhan, tanpa dapat berkomunikasi lebih jauh. Aku ingat, sorot matanya waktu itu betul-betul kentara seperti seorang bocah yang kesepian, jadi aku selalu beringsut mendekat, membicarakan hal-hal acak bersamanya. Bapak tidak pernah membalas, tetapi ia tersenyum, dan itu cukup meyakinkanku bahwa ia tidak lagi dirajam sunyi.
Bapak cuma ingin punya teman ngobrol, kataku waktu itu, dan entah kenapa aku merasa telah bersikap tidak adil pada Ibu, sebab aku pun merasa bahwa Ibu cuma ingin punya teman ngobrol. Aku tidak dapat memahaminya selama tiga tahun belakangan. Atau, aku hanya pura-pura tidak memahaminya lantaran merasa sudah cukup “ada” untuk Ibu. Akan tetapi, figur Ibu yang termangu di balik birai jendela datang, dan aku seolah dapat mendengar suara hutan jati yang ia maksudkan. Suara karanta-ranta yang barangkali mirip dengan tembang yang ia nyanyikan ketika masih menjadi sinden.
*
Setiap pulang, aku dan Ibu selalu menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang hingga menjelang Subuh di ruang tengah, membicarakan banyak hal: aku dengan rutinitasku di kota; Ibu dengan keluhan serta gosip terbaru dari tetangga. Kadang, ketika topik “pengalaman terkini” habis, kami secara otomatis bernostalgia. Untuk hal ini, porsi bicara Ibu menjadi lebih banyak: Ibu akan menceritakan setiap detail kenangan yang ia temukan dari folder ingatannya, masih dengan suara lembut, dan aku akan menimpali sambil sesekali tertawa mengingat betapa konyolnya kejadian tersebut.
Malam minggu-berikutnya setelah aku memimpikan Bapak, kami pun masih melakukan rutinitas tersebut, dengan aku yang mengeluhkan padatnya pekerjaan—suamiku sedang cari angin, sedangkan anakku sudah terlelap sejak pukul delapan tadi—sampai akhirnya ceritaku habis dan aku terdiam, menatap langit-langit yang tidak diplafon.
Jangkrik dan kodok masih riuh berpesta ketika aku berucap pelan, “Bu, bagaimana kalau aku mencarikan teman buat Ibu?” Aku lekas menambahkan tanpa berani melirik Ibu, “Aku selalu kepikiran ini selama di kota. Ibu sendirian, dan aku tidak selalu bisa pulang setiap akhir bulan—bukan maksudku aku tidak mau meluangkan waktu untuk menemani Ibu. Hanya, aku merasa Ibu butuh teman. Entah itu untuk tinggal di sini, atau cuma sebagai lawan bicara saat malam hari.”
Jeda sejenak sebelum Ibu menjawab “Ibu mau sendiri saja.”
Aku menelan ludah. Masih tidak berani menoleh ke Ibu.
“Yah, rumah Pakdhe memang hanya berjarak lima ratus meter dari sini, sih, tapi mereka, ‘kan, selalu bepergian. Tetangga-tetangga juga pasti punya urusan masing-masing. Tidak bisa selalu diandalkan. Kalau ada seseorang yang kupercayai menemani Ibu di rumah, aku bisa lebih tenang selama di kota.” Ibu masih saja diam, membuatku berspekulasi aneh-aneh tentang apakah ia memang betul mendengarkan atau tengah memikirkan hal lain. “Aku akan selalu berkunjung, kok! Aku janji! Hanya,” Aku tercekat, “aku tidak mau Ibu sendirian.”
Jam dinding berdentang dua kali.
Dunia seolah sempurna sepi.
“Ibu mau sendiri saja.”
Aku tidak tahu mesti berkata apa.
Aku melirik Ibu dan mendapatinya tengah bersedekap seraya menatap langit-langit ruang tengah. Roman wajahnya persis ketika sedang melihat hutan jati dari balik birai jendela, dan ketimbang sendu, aku justru menemukan kerinduan murni dari setiap gerak wajahnya.
“Lis, kamu ingat tidak, kalau semasa kecil, kamu sulit sekali diajak mandi? Setiap sore, Ibu mesti berputar-putar dulu, mengejar kamu yang berteriak tidak mau mandi. Untungnya, langkah kakimu, mesti sangat gesit, tidak terlalu lebar, jadi Ibu bisa segera menangkap dan memandikanmu sebelum Magrib. Tapi, kamu sangat rewel. Kamu minta dimandikan di halaman sebelah barat. Mau lihat matahari tenggelam, katamu, jadi akhirnya kita selalu menghabiskan waktu di sana sambil bernyanyi lagu Burung Hantu.”
Aku terdiam, tidak menyangka bakal menemui kisah itu di tengah pembicaraan sepert ini.
Ibu, masih dengan ekspresi serupa, melanjutkan, “Dulu, waktu kamu masih kecil, kita biasa tidur di ruang tengah. Kita menggelar tikar, lalu membicarakan banyak hal sebelum kamu tertidur dengan memeluk jarik kesayanganmu. Bapakmu lebih suka tidur di kamarnya yang tidak dipasangi lampu, jadi serasa kalau kita selalu menguasai ruangan itu berdua.” Ibu tersenyum. “Ibu biasanya bangun dini hari. Salat tahajud di tempat salat depan. Tapi pernah, saat hujan deras, tempat itu ketrocohan[iii] dan Ibu akhirnya memilih salat di sampingmu yang tertidur pulas. Kita masih pakai lampu minyak saat itu, dan kamu yang ternyata nglilir[iv] menangis keras lantaran mengira Ibu adalah hantu. Tangisanmu bahkan membangunkan bapakmu yang baru pulang lewat tengah malam.”
Aku tertawa dengan mata memanas.
“Lis, kamu pasti ingat kalau bapakmu, bahkan setelah terkena stroke pun, selalu duduk di teras depan, melihat orang-orang yang berlalu-lalang sampai menjelang Magrib. Ibu harus susah payah menuntunnya sampai ke depan. Tenaga Ibu tidak seberapa, tapi bapakmu ngeyel sekali, jadi mau tidak mau Ibu harus menurutinya.” Kali ini, Ibu diam, seolah berusaha mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan, “Ibu tidak pernah memperhatikan hal ini sebelumnya. Tapi suatu waktu, Ibu lihat bapakmu menangis waktu melihat anak-anak di RT kita yang bersemangat pergi ke langgar[v]. Ibu tidak tahu kenapa. Mungkin dia kelilipan. Atau rindu. Ibu tidak tahu.”
Pandanganku kabur sepenuhnya.
“Rumah ini punya cerita, Lis. Cerita yang tidak akan habis meski Ibu menyisihkan seharian untuk bersantai, mengenang itu semua. Dan, Ibu ingin menikmatinya. Ibu ingin mengingat semua kenangan dari sudut rumah ini. Sendirian.” Ibu berbalik, menatapku lembut. “Ibu … bukannya egois atau ingin membuatmu kepikiran. Ibu sudah tua, dan rutinitas sederhana seperti ini betul-betul menghibur Ibu. Dan, Ibu harap kamu bisa memahaminya. Ya?”
Malam itu, aku berbagi jarik kesayanganku dengan Ibu.
*
Ibu pergi pada malam yang lengang. Yu Suni, tetangga kami yang biasa menemani Ibu jalan-jalan pagi, berkata bahwa Ibu tidak kelihatan bahkan sampai jarum jam menunjuk angka delapan, jadi dia masuk lewat pintu samping—yang memang tidak pernah dikunci—dan menemukan Ibu yang tidur di ruang tengah. Tidak bernapas. Katanya, Ibu pergi sambil tersenyum. Rumah sudah dibersihkan dan ditata rapi. Baju-baju kotor sudah dicuci dan dimasukkan lemari. Lampu rumah sebagian besar sudah dimatikan, kecuali ruang tengah yang memang dipakai tidur Ibu.
Waktu mendengarnya, aku tentu saja histeris. Itu respons lumrah bagi mereka yang kehilangan. Namun, setelah tenang, sambil melihat suamiku yang berkemas dan bersiap-siap pulang ke desa kami, aku seolah mendapat ilham entah dari mana: Ibu sudah bahagia.
Aku meminta pada Pakdhe agar pemakaman Ibu ditunda sampai aku datang. Pakdhe awalnya menolak. Orang yang sudah meninggal harus segera dikuburkan. Akan tetapi, aku bersikeras—kukatakan bahwa inilah permintaan terakhir seorang anak tunggal untuk melihat ibunya sebelum dikebumikan—dan dia pun diam.
Kami sampai saat sore, dan orang-orang segera berangkat ke TPU terdekat. Aku sibuk dengan ini-itu, tidak sempat lagi berduka. Persis seperti saat Bapak pergi: kita mesti menyelesaikan banyak urusan, juga mesti banyak-banyak basa-basi, sampai lupa bahwa kita berhak punya sebuah privasi. Akan tetapi, toh, itu hanya pikiran sesaat yang lekas lesap begitu panggilan datang, menanyakan di mana letak wajan, minyak, dan sebagainya.
Lantas, sekali waktu, ketika rumah kami tidak seramai tiga hari pertama usai kepergian Ibu, ketika suami dan anakku sibuk dengan urusan masing-masing, aku mencoba berdiri sambil bertopang dagu di birai jendela biru. Aku mencoba mencari, apa sebenarnya yang selama ini dilihat Ibu, dan yang kutemui hanya pepohonan jati yang berdiri membosankan. Dedaunan jatuh di tanah, menyatu dengan dedaunan lain yang telah menutupi tanah basah. Sinar matahari lindap dalam kerapatan batang-batang kokoh, menimbulkan sensasi tersendiri ketika ia benar-benar hilang berpindah hari.
Aku tidak melihat apa-apa. Aku tidak menemukan sesuatu yang istimewa. Namun, setumpuk kenangan tiba-tiba saja datang, terputar, dan seketika aku tertegun membayangkan Ibu dan Bapak ketika masih muda; masa kecilku yang cukup rewel hingga Ibu mesti keluar dari tempatnya bekerja di Dinas Perhutanan; serangkaian gambar pertumbuhanku hingga dewasa, hingga suamiku datang dan meminta restu menikah. Aku bayangkan Ibu yang setia mengurus Bapak yang hanya dapat terbarik di atas dipan; rumah yang amat riuh, kemudian sepi pada satu waktu.
Aku memejamkan mata, mendengarkan suara angin yang menggugurkan dedaunan jati, dan kulihat bayangan Ibu yang dengan setia menunggu matahari beristirahat di balik birai jendela. (*)
Ponorogo, 23 Desember 2019
[i] Tiang; pilar
[ii] Bagaimana kabar ibumu, Nak?
[iii] Kejatuhan air dari atas; atap yang bocor
[iv] Tidak sengaja bangun
[v] Masjid kecil tempat mengaji dan salat, tetapi tidak digunakan untuk melaksanakan salat Jumat
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata