Perempuan dengan Selarik Permohonan
Oleh: LutfiRose
Darah segar merembes dari balik daster warna biru motif bunga, yang dikenakan perempuan itu. Wajah tirusnya pasi menahan sakit. Rambut lurus sebahu yang sering diikat rapi ke atas, kali ini terburai tak beraturan menutupi sebagian wajahnya, lengket terkena air mata. Baru kali ini rasa iba bercampur rasa bersalah mampu membuatku tak menghindar lagi.
“Mas … sakit sekali,” lirih dia berkata, tenggelam di antara desis kesakitannya.
Aku mengangkat tubuh mungilnya ke dalam sebuah mobil angkutan yang sudah kupanggi tadi. Tak kupedulikan tanganku penuh dengan darah. Pak Sopir ikut panik dan segera membuka pintu mobil.
Dia merintih lagi dalam pelukanku. Wajahnya makin pucat, bibir bergetar dan mata terpejam. Aku takut jika kemudian mata itu tak akan membuka lagi. Namun sesekali rintihannya melegakanku, pertanda sukma masih menyatu dengan raga.
Mobil melaju dengan cukup kencang. Hanya saja bagiku waktu berjalan begitu lamban, beberapa menit terasa begitu lama dan berarti sekarang. Padahal begitu banyak waktu yang aku buang selama ini, tanpa khawatir jika suatu saat waktu bisa berakhir.
Enam bulan lalu, dia menunjukkan sebuah benda kecil sebesar stik es krim. Ada dua garis merah, yang menurutnya itu berarti positif. Aku tak mengacuhkannya, membiarkan dia tertunduk dengan uraian air mata.
“Sampai kapan kita akan terus begini, Mas? Tidakkah kamu ingin menikahiku?” Isaknya terdengar semakin dalam. Sayang, egoku mengalahkan nurani.
Kubiarkan dia menguatkan hatinya sendiri. Membuat dia terikat, tergantung dan tak mungkin pergi meninggalkanku. Ya! Aku belum puas menuntaskan sakit hati. Dulu, dia begitu tega meninggalkanku dan menikah dengan lelaki lain. Alih-alih sebuah perjodohan dari kedua orangtuanya, yang menolakku—pria pengangguran. Buktinya pilihan orangtua dengan kesempurnaan fisik, kecukupan materi tak serta merta menghadirkan kesempurnaan rumah tangga. Putri mereka melarikan diri, mengemis cinta dari seorang pesakitan yang sudah tersungkur, terdepak dari arena pertandingan. Dan mereka pun tak kuasa membantah keputusan darah dagingnya, yang lebih memilih mati jika tak bersamaku.
Cinta memang tak bermata, terlebih jika rasa itu jatuh pada hati yang sudah setengah gila. Cinta dan benci melebur membentuk sebuah rasa baru yang mengerikan. Rasa kasih yang kupegang dalam sanubari kalah dengan dendam.
Anak perempuan mereka memilihku, pecundang yang mengenaskan, dengan sebuah alasan cinta dan sedikit cekcok rumah tangga. Mereka lupa, memaksakan sebuah hubungan tanpa rasa cinta membuat sedikit riak terasa sebuah gelombang besar, sebuah kerikil bak sebuah batu besar yang seolah akan balik meremukkan tulang-belulang. Nah! Akhirnya akulah pemenangnya. Dia ikut bersamaku, meski tanpa masa depan dan tanpa ikatan halal.
Aku bisa buktikan, semua baik-baik saja. Meski tanpa restu ayahnya, kami tetap bisa bersama. Tak perlu ikatan, cukuplah kesetiaan dan kasih sayang.
Satu tahun pertama semua berjalan sesuai rencana. Tak berbeda dengan pasangan lain, aku makin giat bekerja, memenuhi semua kebutuhan kami, sandang dan pangan tak kurang sedikit pun. Aku berperan sebagai seorang pria bertanggung jawab dan dia mengabdikan diri kepadaku. Rumah yang sederhana ini, tampak semarak dan hidup berkat hadirnya.
Tetap saja kebahagiaan itu dia anggap belum sempurna. Sesekali dia merengek memintaku membuat sebuah ikatan suci yang sesungguhnya.
“Kalau kamu sudah bosan denganku, pergilah! Aku tak akan memaksamu bersamaku,” kilahku untuk kesekian kali.
Air matanya tampak meleleh turun perlahan, segera dia menyeka dengan punggung tangan dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Aku muak dengan ikatan, bagiku semua itu omong kosong. Nyatanya dia lebih memilihku daripada pria yang memberi ikatan yang disebut suci itu.
Cinta sudah lebih dari cukup!
Satu tahun berlalu dia mulai gigih mendesakku, aku tetap bertahan dengan keyakinanku—tak mau membungkukkan badan di hadapan orangtuanya. Aturan orang-orang naif, bahwa sebuah ijab qobul tak bisa dilaksanakan tanpa wali—ayahnya—yang jelas-jelas akan menolakku. Aku sudah muak dengan nyanyian indah dari mulut lelaki yang mulai senja itu. Biarkan dia menuai kesombongan dengan menyaksikan anaknya memihak padaku.
Hidup sebatang kara membuatku tak peduli dengan gunjingan tetangga. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Mereka tak berhak menilai hidupku, ini hakku. Kalau mereka menjual mulutnya, akan kubeli berapa pun harga yang mereka tawarkan. Beberapa lembar uang berwarna merah, nyatanya mampu membungkam mulut mereka. Bukankah itu sungguh sangat mudah?
Manusia-manusia sok suci! Ke mana mereka, saat aku menangis kesepian? Merintih di sudut kamar sembari meratapi kepergian Ayah dan Ibu yang begitu cepat. Susah payah aku bangkit dalam kekalutan dan putus asa hanya dengan sebuah cinta dari gadis yang begitu kukasihi. Di saat aku mulai mampu merangkak, di saat itu pula aku didepak menjauh darinya, sakit! Sangat sakit!
Bukankah kini semua sebanding?
**
Mobil angkutan memasuki halaman rumah sakit. Seorang perawat menghampiri dengan membawa sebuah ranjang dorong. Perempuan dalam pelukanku kembali merintih, suaranya makin melemah. Aku mengangkatnya ke atas ranjang. Biru kemejaku berubah memerah basah dan bau anyir, aku tak peduli. Kuikuti ke mana arah perawat mendorong ranjang berisi perempuan yang makin melemah itu. Ya! Baru kali ini aku merasa takut, dia benar-benar akan pergi. Takkan kubiarkan dia sendirian melewati saat manakutkan ini. Sampai di pintu, seorang perawat menahanku.
“Bapak tunggu di luar, ya! Kami akan segera melakukan operasinya. Silakan isi dan tanda tangan data di bagian administrasi.”
Aku menurut, tak membantah sama sekali. Aku menemui gadis dengan sebuah map yang sama sekali tak kubaca isinya. Kutandatangani semua bagian yang dia tunjukkan. Kuambil dompet, hendak kuberikan semua isinya. Sebentar, teringat pak angkot di luar menungguku.
“Mbak, aku akan bayar berapa pun, hanya saja aku harus membayar angkot yang mengantar kami tadi.” Dia tak banyak mendebat, tersenyum lalu berlalu. Aku berjanji akan mengambil uang sekalian keluar nanti.
Aku berharap akan ada kabar baik dari dalam. Mencoba menenangkan diri, duduk di salah satu bangku besi di sudut bagian kanan pintu kamar operasi. Sebuah tangan menepuk bahuku.
“Berdoalah, Nak!” Pak Darman, sopir angkot sekaligus tetanggaku, menatapku penuh arti.
Aku sudah lupa kapan terakhir aku berdoa. Kupikir aku sudah tak butuh Tuhan lagi, Dia sudah terlalu sibuk mengurus permohonan orang-orang yang rajin ke masjid. Kukira, aku bisa bereskan urusanku sendiri. Tapi kali ini, mampukah aku?
“Aku sudah lupa cara berdoa, Pak,” lirih, tak berharap Pak Darman mendengarnya.
“Ayo! Kita ambil wudu, kita salat sunah dua rakaat. Hanya Dia yang berhak atas nyawa manusia. Setidaknya semoga Dia bisa memberi kesempatan kedua untuk kalian.”
Aku bangkit, mengikuti langkah lelaki paruh baya itu ke musala. Sebuah kaos oblong putih dan sebuah sarung disodorkannya, kuambil, kemudian mengganti bajuku yang penuh darah.
Kuikuti semua gerakan Pak Darma. Sudah terlalu lama aku menghilangkan ritual yang kuanggap tak ada gunanya itu. Sejak Dia megambil kedua orangtuaku, lalu mengambil satu-satunya cinta yang tersisa, aku jauhi Dia, kulanggar semua larangannya dan kujauhi semua perintahnya.
Aku sadar aku tak pantas dan memang tak tahu malu meminta pada-Nya, Tuhan yang begitu lama aku ingkari. Kali ini saja, izinkan aku membenahi hidupku, menebus segala dosa kepada perempuan yang begitu mencintaiku. Jika pun aku harus masuk neraka, aku rela, asal bukan dia. Sudah terlalu banyak tangis dalam setiap helaan napasnya, dan semua itu karena aku. Izinkan aku menghalalkannya dan tidak mendurhakai orangtuanya.
**
Pintu kamar operasi terbuka. Dokter keluar bersama dua orang perawat.
“Bapak … suaminya?” Ragu-ragu aku mengangguk, menjawab pertanyaan Dokter.
“Selamat anak Anda perempuan. Hanya saja belum cukup bulan, harus di-inkubator. Istri Anda sebentar lagi siuman. Anda boleh menengoknya sebentar.”
Aku bergegas masuk ruangan. Dia ada di sana, perempuan tulus yang menyimpan sebuah permohonan. Sosok yang mengabdikan hidup kepada manusia pecundang, namun merasa paling jagoan. Matanya masih tertutup rapat, pasi namun tak sepucat tadi. Aku baru teringat, bulan ini usianya genap 25 tahun, selang tiga tahun lebih muda dari usiaku. Di bulan kelahirannya ini, aku akan memenuhi segala harapan dalam hidupnya. Ketika dia membuka mata nanti, akan kubisikkan di telingannya, “kupenuhi permohonanmu, Sayang.”(*)
Tentang Penulis:
Lutfi Rose, seorang perempuan dengan banyak harapan dan impian. Tak pernah berhenti belajar di antara kesibukannya mengurus ke empat anak dan sebuah butik. Dia aktif menulis di web LokerKata.com, di akun fb-nya Lutfi Rosidah, serta di akun wattpad Lutfi Rose. Motto hidupnya, tak ada kata terlambat, yang ada kemalasan yang menghambat.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata