Perempuan dan Ketimpangannya
Oleh: Aryati
Terbaik ke-9 Event Review Buku Loker Kata
Judul Buku : Kitab Kawin (Kumcer)
Penulis : Laksmi Pamuntjak
“Warna kuning membaur. Biru, merah, kuning. Tapi tak pernah hijau. Aku tahu dari dulu aku benar, meskipun kalian tak percaya. Hijau bukan lawan siapa-siapa. Tapi biru adalah senyawa purba panas dan tembaga; tak seperti merah, ia memberi dan menyejukkan. Kukuh dan merelakan. Anak lima belas tahun seperti aku pun tahu itu. Orang dewasa lah yang tak tahu arti pasrah.”
Di atas adalah kutipan dari salah satu cerita dalam Kumpulan cerita Garapan Laksmi Pamuntjak berjudul Azul Maya. Kisah seorang anak yang diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri. Kisah yang sama seperti yang kita dengar dari berita-berita di televisi, yang seharusnya benar-benar menjadi bahan renungan, karena siapa pun tak ada yang bisa menjamin masa depan korban (perempuan).
Buku ini bukanlah satu-satunya buku tentang perempuan yang ditulis oleh Laksmi. Novel-novelnya yang lain ada Amba yang bahkan memenangkan penghargaan sastra Jerman Liberaturpreis. Lalu yang kedua berjudul Aruna dan Lidahnya, yang difilmkan pada tahun 2018, dan juga masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2015.
Dulu, ketika jurnalisme dibungkam saat menyuarakan kebenaran, Seno menggunakan sastra. Dan saya rasa langkah ini yang tengah diambil oleh penulis. Walau sebenarnya sekarang lebih mudah menyuarakan kebenaran (melalui media massa) tapi itu tidak serta merta membuat orang-orang (awam) memahami, bahkan untuk menghadirkan empati saja tidak mudah. Kebanyakan mereka akan menyalahkan.
Saya kira, buku ini bisa digunakan sebagai alat untuk kita (sebagai pembaca) lebih jeli melihat ketimpangan yang terjadi di sekitar kita. Dan perempuan adalah satu dari sekian hal yang menjadi objeknya. Kekerasan, kekejaman, pengabaian adalah bentuk dari ketimpangan yang mereka terima.
Semua ketimpangan ini biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa masalah. Ekonomi menjadi salah satu pemicunya. Perempuan yang sering disebut-sebut hanya sebagai tulang rusuk, tapi nyatanya sering kali jadi tulang punggung. Belum lagi kekerasan (baik fisik maupun verbal) yang sering kali diterima dari orang-orang terdekat mereka. Lalu, bagi mereka yang tak selalu kekurangan secara finansial, pun memiliki masalah lainnya, tidak jauh dari urusan ranjang. Tak terbangunnya komunikasi semakin memperburuk keadaan. Perempuan yang sungkan berdiskusi memilih alternatif untuk membangun hubungan baru. Namun, walau begitu tetap tak membuat perempuan itu membaik. Ia yang masih terikat dalam hubungan sah. Tentu tak akan mudah. Permasalahan stereotip juga akan sangat mengganggu.
Ketika saya membaca buku ini, saya seperti sedang dibawa menyelami jiwa perempuan-perempuan itu. Jiwa-jiwa mereka yang kesepian dan terlantar, tubuh-tubuh mereka yang terluka, juga mereka yang ingin berontak, ingin merdeka. Mereka ingin didengar, tapi tak tahu caranya memulai pembicaraan. Mereka ingin dipahami, mereka ingin dihargai, tapi tak paham caranya.
Salah satu kisah yang cukup menyentuh bagi saya adalah kisah Amira, Citra, Hesti dan Nisa (Kitab #11) Mereka dari latar belakang yang berbeda dan hidup seatap, di sebuah asrama yang berada di lantai dua sebuah Restoran di Korea. Amira bertemu Nisa tak lama setelah ia kabur dari suaminya yang menikahinya saat Amira berusia 13 tahun. Nisa mengajaknya tinggal di asrama tersebut. Lalu, kisah Citra yang sewaktu SMP dicabuli gurunya hingga hamil, sedangkan Hesti yang sejak dulu taat beragama dan memiliki suami taat beragama pula, namun suaminya memiliki anak di mana-mana. Kehidupan di asrama tak seperti yang diharapkan Amira. Semua pilihan pasti mengandung konsekuensi. Berada di asrama Korea itu mengandung banyak konsekuensi yang mesti mereka terima dan masing-masing dari mereka memiliki cara sendiri dalam menghadapi segala yang terjadi di asrama tersebut.
Melalui buku ini pula, Laksmi seperti mengarahkan pembaca untuk ikut menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Atau paling tidak, menumbuhkan rasa empati.
Hampir di semua kisah, kita akan disuguhi dengan istilah-istilah dan adegan yang bagi beberapa orang mungkin cukup mengganggu. Jadi, saya sarankan buku ini cukup jadi konsumsi mereka yang usianya di atas 21 tahun.
Kovernya juga menarik, berisi gambar siluet perempuan-perempuan dengan warna dan jenis rambut yang berbeda, pakaian yang berbeda warna pula. Ada yang bergincu, ada pula yang tampak sederhana tanpa riasan dan perhiasan, menandakan para perempuan itu berasal dari latar belakang yang berlainan. Warna kover yang dominan kuning mencerminkan aura kehangatan yang diinginkan oleh para perempuan. Yakni, mereka ingin hidup dalam suasana penuh kehangatan, perhatian, dan penghargaan.
Dan saya yakin ini semua yang diinginkan oleh semua perempuan.
Banjarnegara, 27 Mei 2024
Aryati, penyuka hitam dan ungu yang masih sering baca ketimbang nulis.
—
Komentar juri, Imas Hanifah:
Kutipan di awal review ini seperti panah yang melesat tepat ke sasaran. Saya langsung ingin membaca paragraf selanjutnya dan semakin merasa bahwa Kitab Kawin merupakan salah satu kumpulan cerpen yang harus saya baca.
Saya suka ketika Aryati menyinggung mengenai sarannya tentang ketentuan usia 21 tahun, syarat yang memang sebaiknya ditetapkan bagi yang ingin membaca buku ini, serta pendapatnya mengenai kover buku yang masih memiliki kaitan dengan cerita-cerita di dalamnya.
Event review buku ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.