Perempuan dan Kenangan Part 5

Perempuan dan Kenangan Part 5

Perempuan dan Kenangan Part 5
Oleh: Cici Ramadhani

Sebelum pulang, aku sengaja mengajak Ibu menikmati sate Madura dan air kelapa muda–favorit kami–di kaki lima depan stasiun.

“Ra, Ibu dengar dari Putra, Karim belum menikah. Coba kamu ke rumahnya, lihat keadaan Ibunya. Semoga melalui Ibunya kalian bisa berjodoh,” ucap Ibu setelah menandaskan air kelapa mudanya.

Seolah sehati, tadi malam aku terkenang Bang Karim, siang ini giliran Ibu yang teringat padanya. Namun, aku tidak memiliki harapan setinggi Ibu, menjadikan Bang Karim sebagai suami.

“Kamu, kok diam aja? Tidak apa-apa sesekali perempuan mengambil langkah, namanya juga usaha. Kamu harus ingat– umurmu–bukan lagi anak remaja.”

“Bu, beginikah rasanya Rian saat Rara dulu memutuskan hubungan dengannya? Rara merasa telah mendapat karma. Arya meninggalkan Rara dan patah hati sampai sekarang.” Terkenang akan luka hati, tiap kali Ibu membahas tentang jodoh untukku.

Ibu menatap penuh iba, “Bersyukurlah jika memang kamu mendapatkan balasannya sekarang, daripada setelah menikah, itu akan lebih menyakitkan.”

Aku terdiam cukup lama, mencoba merenungkan apa yang Ibu ucapkan.

“Menikah tanpa restu orang tua penuh resiko, mertuamu bisa saja dengan segala cara menghancurkan pernikahan kalian, apalagi jika cintanya setengah-setengah. Cinta itu bisa berubah. Mungkin sekarang kamu masih mencintai Arya tapi jika nanti kamu temukan lelaki yang lebih baik, cintamu padanya akan sirna,” Ibu menggenggam jemariku.

Aku mengerti, Ibu mengatakan apa yang menjadi pengalamannya. Dalam hukum negara, Ibu masih sah menjadi istri Bapak. Dulu, Ibu bersikeras mempertahankan rumah tangganya–rela di madu–beralaskan cinta. Namun, setelah aku dan Putra beranjak remaja, cinta itu sirna. Bagaimana tidak, Bapak hanya pulang seminggu sekali, seolah-olah Ibu yang menjadi istri kedua.

“Hidup tidak bisa hanya bermodalkan cinta. Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi dengan materi. Jika Ibu melepas Bapakmu sekarang, pengorbanan Ibu selama enam belas tahun pernikahan akan sia-sia. Kalian akan kehilangan hak sebagai anak. Bapakmu akan lepas tangan dalam menghidupi kalian. Jalan hidup kalian masih panjang, terutama Firman.”

Masih jelas dalam ingatanku bagaimana sendunya Ibu mengatakan itu semua saat aku bertanya mengapa Ibu masih bertahan tiap kali Bapak pulang dalam keadaan marah bahkan main tangan. Saat itu aku masih memakai pakaian putih abu-abu. Bapak seolah ingin lepas tangan akan kehidupan kami. Bapak berang mengapa Ibu bisa kecolongan–hamil Firman. Aku pun tak luput dari sasaran amarahnya jika membela Ibu. Dianggap melawan, pipi ini pernah merasakan cap tangannya bahkan hingga membuat anting-antingku lepas. Pernah juga gelas berisi teh manis panas dilemparkan mengenai kakiku. Keadaan rumah menjadi kacau, hingga merubahku menjadi seorang introvert. Bahkan aku sampai mengabaikan Rayyan–cinta pertamaku. Walau berbeda sekolah, namun aku tak punya muka untuk terus menjalin cinta dengannya. Itu semua karena Bapak pergi meninggalkan kami. Bapak tak pernah lagi ke rumah. Datang sebulan sekali, hanya untuk mengantarkan sebagian gajinya karena sebagian lagi digunakan untuk istri muda. Untuk memenuhi kebutuhan lainnya, Ibu harus berjualan gorengan sambil memomong Firman.

“Hampir semua jalan di kota ini pernah Rara lalui bersama Arya. Arya beberapa kali mengantar Rara ke stasiun.” Pandanganku menerawang jauh ke jalanan.

“Kalau tinggal di kota terasa berat, kamu pulang saja ikut Ibu.”

“Mau kerja apa Rara di kampung, Bu? Dulu saat menghindari Arya, Rara udah coba masukin lamaran kerja di sana tapi setelah interview gak di panggil lagi. Rara gak mau kalau harus menganggur. Rara gak mau jadi beban Ibu dan Putra. Walau belum bisa membahagiakan, setidaknya Rara tidak menyusahkan.”

“Kalau di kampung, mungkin kamu bisa lebih dekat dengan Karim. Dia sudah lama mengenalmu, mengenal latar belakang keluarga kita juga. Kamu juga sudah kenal keluarganya–”

“Tidak semudah yang Ibu bayangkan,” potongku. “Jika Bang Karim memang menyukai Rara, seharusnya dari dulu dia melamar Rara, menjadikan istri. Standar menjadi calon istrinya terlalu tinggi, Bu. Rara tidak memenuhi itu. Baginya Rara hanya gadis cantik,” setidaknya hanya itu yang pernah kudengar pujian darinya.

“Berusahalah dulu, mungkin kali ini terbuka hatinya. Buktinya, sampai sekarang dia juga belum menikah,” Ibu bersikukuh.

Aku bergeming, membantah bukanlah solusi. Dan aku tahu, Ibu paling tidak suka dibantah anaknya. Tak ingin menyulut murka–Allah sangat cepat mengabulkan kata-kata yang keluar dari mulut seorang Ibu–aku mengangguk pasrah.

Matahari masih gagah dengan sinarnya. Teriknya tak jua menyurutkan para pengguna jalan. Riuh suara deru mesin bersahutan dengan suara pengamen jalanan. Segera kukeluarkan lembaran uang pecahan dua ribuan. Setelah mengucapkan terima kasih, bocah dengan suara cempreng itu beranjak ke tempat makan lainnya.

“Bu, biarkan Putra menikah.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Setidaknya bukan hanya pernikahanku saja yang harus Ibu pikirkan.

Ibu menautkan kedua alisnya, “Putra bicara apa padamu?”

“Gak ada. Cuma kemarin, Rara baca status Nisa. Sambil nunggu, pengen ambil S2 tapi gak diijinkan. Mereka terlalu lama pacaran, dari pada jadi dosa, mending disegerakan. Rara ikhlas jika harus dilangkahi.”

Ibu diam, pandangannya kosong.

“Kasihan Putra–sudah sejak dua tahun lalu dia ingin menikah–terlebih Nisa. Mereka sudah menabung bersama untuk pernikahan, Bu. Tidak jadi masalah bagi Rara jika mereka mau menikah duluan.”

“Putra masih muda, menunggu beberapa tahun tidak akan jadi masalah. Sementara kamu, umurmu sudah pantas untuk menimang bayi.” Ibu menarik napas panjang.

“Tapi mengorbankan mereka itu sangat tidak adil,” protesku.

Aku dan Putra hanya selisih umur dua tahun. Sebentar lagi pangkatnya menjadi sersan satu. Setelah lepas ikatan dinas, dua tahun lalu dia mengatakan ingin menikah.

“Mbak, kapan Mas Arya rencana meminang Mbak?” tanya Putra di seberang sana.

Aku tercengang, setelah ditodong Ibu dengan pertanyaan yang sama beberapa pekan sebelumnya, kini pertanyaan itu meluncur dari mulut adikku. “Mbak gak tau, emangnya kenapa?”

“Jangan lama-lama pacaran, cepat suruh Mas Arya lamar. Kalau gak, Putra duluan nih nikah sama Nisa,” gertak Putra.

“Enak aja, Mbak gak sudi dilangkahi. Emang kamu udah punya uang buat ngelamar anak orang?” tanyaku kesal.

“Udah, dong,” jawabnya penuh percaya diri. “Untuk isi kamar, sudah siap. Putra tempah kayu jati.”

“Tunggulah Mbak duluan yang nikah,” kataku sedih.

“Makanya, cepat ajak Mas Arya nikah. Orang tua Nisa udah nanyain Putra terus, kapan ngelamar Nisa. Segerakan tahun ini, Mbak.” Putra mengakhiri panggilan.

Pedih merayap sukma. Membayangkan adik duduk di pelaminan, sementara aku hanya jadi bahan perbincangan orang kampung. Orang tua mana yang tidak mendesak kekasih anak perempuannya untuk segera menikah. Dilihat dari pekerjaan, Putra sudah terjamin–seorang Bintara TNI. Dilihat dari usia, banyak angkatan yang menikah di usia muda. Namun, berbeda denganku. Kisah cintaku dengan Arya tak semulus Putra dan Nisa. Tiga tahun menjalin cinta tak juga menemui harapan untuk bersama dalam ikatan pernikahan.

“Sudah jam berapa ini?” Suara Ibu memecah lamunan.

Aku melirik arloji di pergelangan tangan, “Lima belas menit lagi kereta Ibu akan berangkat. Ibu mau masuk sekarang?”

Ibu mengangguk. Kami beranjak dari tempat makan menuju pintu peron. Aku menyerahkan tas jinjing Ibu yang berisi pakaian karena aku tidak bisa mengantar Ibu sampai ke dalam.

“Jangan pikirkan Putra, paling tidak kita tunggu sampai akhir tahun ini. Kalau jodohmu tak juga datang, terpaksa Ibu mengijinkan mereka melangkahimu.” Ada nada sedih dalam kalimat Ibu.

“Sungguh, Bu. Rara tidak apa-apa jika sampai itu terjadi,” kataku tulus–meyakinkan.

“Tunggulah. Terus berdoa dan berusaha. Buka hatimu untuk cinta lain. Lupakan Arya,” tegasnya.

Kupandangi tubuh Ibu yang menghilang ditelan gerbong kereta. Lupakan Arya. Bagaimana caranya aku bisa melupakannya. Terlalu banyak kisah terukir antara kami. Aku harus mulai dari mana menghapus jejaknya. (*)

Cici Ramadhani, menyukai literasisejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply