Perempuan dan Kenangan Part 4

Perempuan dan Kenangan Part 4

Perempuan dan Kenangan Part 4
Oleh: Cici Ramadhani

“Terima kasih ya, Mas, udah mau jagain motorku,” ucapku ketika menerima kunci dari Mas Haikal.

“Jangan sungkan, teman Diana, ‘kan temanku juga.” Senyum terkembang di wajahnya, memperjelas lesung di kedua pipinya. “Kamu mau minum apa? Biar aku buatkan,” tawarnya ramah.

“Oh, gak usah, Mas. Terima kasih. Aku lagi buru-buru.” Aku melihat jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul sebelas siang. “Aku pamit ya, Mas. Sekali lagi, terima kasih.”

Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi. Lumayan, jalanan di hari Minggu tidak terlalu padat seperti hari kerja sehingga aku lebih cepat sampai di rumah.

“Kamu gak pulang tadi malam?” selidik ibu saat kucium dengan takzim punggung tangannya.

“Iya, Bu. Rara tidur di rumah Kak Diana. Tadi malam acara syukurannya Nayla selesainya hampir larut malam.” Kurebahkan diri di kasur, meluruskan pinggang.

“Icha bilang, kamu memang jarang di rumah. Benar, begitu?” Ibu duduk di kasur Icha yang letaknya bersebelahan dengan kasurku.

Aku duduk menghadap Ibu, bersandar pada dinding kamar. “Bu … Rara, ‘kan kerja. Setiap hari pulangnya sore, kadang juga malam kalau harus lembur. Itu pun, cuma sampai jam delapan malam, Bu. Nah, kalau hari Minggu gini, Rara jalan sama teman-teman. Di rumah juga ngapain, coba?” Aku berdiri mengambil air mineral yang selalu tersedia di atas lemari pakaianku. Perdebatan ini pasti akan panjang, tenggorokanku perlu dibasahi sebelum akhirnya benar-benar kering.

“Kamu gak capek? Harusnya hari libur kamu istirahat di rumah, bukan keluyuran. Ibu takut kamu bergaul lama-lama sama Diana.”

Aku menautkan alis, “Kenapa?”

“Takut kalian menyimpang, jadinya lesbian!”

Aku tergelak mendengar perkataan Ibu. Sejauh itukah beliau mengkhawatirkanku.

“Ya Allah, Ibuku sayang.” Aku bergelayut manja pada lengannya. “Rara masih normal, Bu. Kak Diana juga. Kami hanya belum dipertemukan dengan jodoh yang tepat.”

“Ibu takut, kamu jadi keenakan sendiri seperti Diana. Lihat, umurnya sudah mau kepala empat tapi belum juga menikah. Perempuan kalau sudah berumur, susah dapat jodohnya.” Terlihat kekhawatiran di mata tua itu.

Padahal baru tiga bulan ini aku merasa nyaman setelah lepas dari Alam, namun kini realita kembali hadir. Ibu masih menginginkanku untuk segera mengakhiri masa lajang.

“Bentar lagi Bapakmu jemput, kita ziarah ke makam Nenek Kakekmu.”

“Kok, tiba-tiba? Biasanya, ‘kan, ziarah itu sebelum puasa atau pas lebaran.”

“Ada yang bilang sama Ibu, kalau kamu mau segera dapat jodoh kita harus ziarah ke makam orang tua Bapakmu. Kirim doa, minta restu karena dulu Ibu dan Bapakmu menikah, ‘kan, gak direstui. Ibu sudah jelaskan itu sama Bapakmu juga, dan kebetulan Bapakmu di sini jadi sekalian Ibu susul.”

“Oalah … Bu, Bu. Itu tahayul, jodoh itu udah disiapkan Allah.”

“Tapi tetap harus usaha dan berdoa. Pokoknya segala ritual harus selesai hari ini.”

Aku melongo, heran. Ritual apa yang dimaksud Ibu? Di zaman moderen ini, haruskah aku mundur ke peradaban silam? Aku menggelengkan kepala berulangkali. “Bu, Rara gak mau yang aneh-aneh ya. Dosa syirik itu gak terampunkan, loh, Bu.” Kini giliran aku yang penuh kekhawatiran. Sebagai anak, bagaimanapun aku tetap harus meluruskan hal yang salah pada orang tua.

“Ini gak syirik. Tetap kita bermunajatnya sama Allah. Udah, gak usah mikir macam-macam, yang penting kamu ikutin aja apa yang Ibu bilang. Percaya sama Ibu. Sekarang cepatan mandi, siap-siap. Bentar lagi Bapakmu jemput, kita sekalian makan di luar aja.” Ibu keluar kamar, meninggalkanku dengan berbagai tanda tanya.

Setelah makan siang, aku dan kedua orang tuaku melakukan ziarah ke makam Nenek Kakek yang jaraknya sekitar tiga puluh menit dari rumah. Bersyukur, cuaca hari ini sangat bersahabat, matahari tertutup awan sehingga panasnya tidak membakar kulit. Ibu menangis tersedu di depan pusara Nenek. Bapak juga menunduk sedih. Entah apa yang berkecamuk di pikiran mereka kini. Namun, yang kutahu pasti Ibu sedih karena pernikahannya dengan pria yang dicintainya tidak berakhir bahagia. Betapa Nenek dulu sangat menentang pernikahan mereka, hingga akhirnya Bapak memilih menikah lagi dengan wanita pilihan Nenek.

Aku menghela napas dengan kasar. Tak banyak jejak kenanganku akan sosok Nenek, sehingga untuk sekedar menitik air mata sedih atau rindu pun tak ada. Aku cuma punya satu kenangan tentang beliau saat Bapak membawaku ke rumah Nenek. Beliau pernah memberikanku celak yang biasa digunakannya. Masih bisa terbayang di benakku bentuk unik celak itu. Aku, Kinara Larasati, cucu dari anak kesayangan Nenek. Semoga Allah mengampuni segala dosa Nenek. Doakan aku segera mendapatkan jodoh yang terbaik. Doaku dalam hati di depan pusara yang bertuliskan Kardiem binti Mahmud.

“Pak, kita foto bertiga yuk,” ajakku saat duduk di teras rumah setelah berziarah. Tanpa mendengarkan jawabannya, aku memanggil Icha, memintanya untuk mengambil foto beberapa kali.

Kupandangi hasil jepretan Icha di layar ponselku. Hanya aku yang tersenyum sementara Bapak-Ibu yang masing-masing berada di sisiku memasang wajah datar.

“Kalau gak ada lagi yang perlu dilakukan, Bapak pulang sekarang.” Bapak bangkit dari duduknya.

“Bapak langsung pulang ke kampung?” tanyaku heran.

“Iya, besok, ‘kan Bapak kerja.” Bapak mengulurkan tangannya, kucium dengan takzim.

“Mas pulang,” pamitnya pada Ibu. Ibu hanya mengangguk.

“Hati-hati di jalan ya, Pak.” Aku melambaikan tangan sampai mobilnya tak lagi terlihat di perempatan gang.

“Ayo, kita pergi sekarang,” ucap Ibu.

“Kemana, Bu? Kita, kan baru pulang.”

“Ke masjid, mengumpulkan air. Ayo, cepat. Sekalian nanti shalat di masjid aja kita.” Ibu menenteng dua botol bekas air mineral berukuran 1,5 liter dalam plastik kresek.

Aku menurut saja, berjalan dengan gontai menuju motor yang terparkir di halaman.

Aneh rasanya mengumpulkan air dari tujuh masjid. Siapakah yang pertama kali mengumandangkan ritual aneh ini. Aku saja yang tinggal di kota tetap harus melakukan ritual ini, bagaimana nasib gadis-gadis desa yang tinggal di pelosok. Apakah mereka mengalami hal sama denganku demi mendapatkan jodoh? Berkali-kali aku menghela napas. Setelah dikhawatirkan menyimpang, aku tak ingin dianggap anak durhaka jika tak menurut segala ritual yang dipersiapkan Ibu.

“Ra,” panggil Ibu dari kamar mandi.

“Ya, Bu?” Aku melihat ke dalam kamar mandi. Satu ember besar air berisi bunga-bunga. Jangan-jangan Ibu memintaku untuk mandi kembang. Aku menggaruk kepala yang tak gatal.

“Kamu angkat baskom ini ke depan.” Ibu menunjuk sebuah baskom yang berisi kembang di dekat kakinya.

Aku mengikuti ibu– yang menenteng baskom kosong dan sebuah gayung–berjalan ke depan.

“Letak di sini. Terus ambil kursi plastik yang di teras, bawa masuk ke dalam,” perintahnya lagi.

Ibu duduk di kursi yang kusediakan. “Kamu, sungkeman sama Ibu sambil cuci kaki Ibu.”

Kuambil air kembang segayung kemudian mulai membasuh kedua kaki Ibu. Mendung mulai terasa di mataku. “Ibu, maafkan segala dosa Rara. Rara belum bisa membahagiakan Ibu, Rara cuma bisa buat Ibu khawatir. Maafkan Rara, Bu. Rara banyak buat dosa. Doakan Rara, Bu agar dipermudah dalam menemukan jodoh.” Aku terisak memeluk kaki Ibu.

Ibu mengelus-elus rambutku. “Ibu memaafkan segala kesalahanmu, Nak. Ridho Ibu selalu menyertaimu. Semoga tahun ini kamu segera menemukan jodohmu,” suaranya serak.

Aku menyingkirkan baskom yang menampung air cucian kaki Ibu. Kucium punggung kedua kakinya dan memeluk erat tubuh ibuku tercinta.

Setelah beberapa saat kami hanyut dalam tangis, Ibu melepaskan pelukan. “Sekarang kamu Ibu mandikan pakai air kembang tujuh rupa yang sudah Ibu campur dengan air tujuh masjid.”

Ibu memandikanku dengan terus melafalkan doa dalam hati. Sebagaimana pesan Ibu sebelumnya, aku juga harus menyelaraskan doa. Meminta agar dimudahkan dalam mendapat jodoh. Antara percaya dengan tidak, tapi aku melakukan semua ritual yang Ibu perintahkan. Apa pun hasilnya, aku pasrah. (*)

Cici Ramadhani, menyukai literasisejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply