Perempuan dan Kenangan Part 15
Oleh: Cici Ramadhani
Memikirkan bahwa aku akan bersamamu esok hari, Memberi aku kekuatan untuk melalui hari ini.
Tubuhku bergerak mengikuti irama dangdut yang diputar tetangga belakang rumah. Serasa bunga bermekaran di musim semi. Aku bahagia membayangkan Arya mengejar mobil yang kunaiki tadi pagi. Kemudian Arya memintaku duduk di sebuah ayunan yang ada di pinggir lapangan. Dia mengabadikan fotoku. Katanya, agar dia bisa melihat wajah lucuku karena kepala tertutup topi dari jaket hoodie yang kugunakan.
Ah, Arya. Apa kamu pikir, aku tidak bercermin sebelum menemuimu?
Aku merasa wajahku terlihat biasa saja, hanya mungkin terlihat lebih kecil, ya? Aku melihat-lihat kembali wajahku dari layar ponsel. Aku seperti anak kecil kesenangan bermain ayunan.
Baru tadi pagi bertemu, malam ini Arya ngapel lagi. Kami memilih duduk di halaman depan rumah. Beratapkan langit di bawah cahaya rembulan membuat suasana terasa romantis.
“Istri Mas Ari melahirkan tadi sore. Karena anak pertama operasi sesar, jadi yang kedua ini juga operasi. Tadinya aku pengen ajak Rara, sekalian kenalan sama Ibu. Namun melihat kondisi Rara, aku takut Rara nggak mau.” Arya melihat tubuhku yang terbalut jaket hoodie abu-abu.
“Mana mungkin aku bertemu keluargamu dalam kondisi seperti ini.”
Aku menunduk, memperlihatkan bagian perutku, membayangkan wajahku yang kuyu. Tiga hari pascakeguguran, rasa percaya diriku turun drastis. Aku merasa bentuk tubuhku berubah dan aura wajahku meredup. Tentu itu hanya perasaanku saja, karena tidak satu pun anak kosan mengeluhkan perubahan bentuk tubuhku.
“Mbak Indah mau dilamar,” ucap Arya membuyar lamunanku.
“Alhamdulillah,” ucapku penuh syukur. “Kamu baru dikabari?”
“Iya, tadi sore. Terus Ibu bilang, ‘bawa lagilah ke rumah perempuan yang cantik itu’. Kujawab, sudah terlambat. Aina sudah mau menikah dengan orang lain.” Arya tersenyum miris menceritakan percakapannya dengan ibunya di rumah sakit.
Saat ditinggal menikah oleh kekasih hati, malah restu Ibu baru turun. Lagi, muram di wajah Arya tertutup oleh pekatnya malam. Andai waktu bisa di putar kembali, tetapi sayang waktu terus berputar maju. Yang tersisa hanyalah sebuah kenangan. Kenangan tentang pahit getirnya mencintai dan dicintai.
“Saat aku terakhir komunikasi dengan Aina, dia menanyakan siapa perempuan yang dekat denganku. Saat kujawab, dia bilang akhirnya aku juga bersama dengan teman kerjaku, seperti dia dengan calon suaminya.”
Ada kepedihan dari tiap kata yang Arya ucap. Bagaimanapun juga melupakan cinta yang dipelihara selama tiga tahun bukanlah perkara mudah. Apalagi Aina benar-benar memutuskan tali silaturahmi di antara mereka demi menjaga perasaan pasangannya. Memang sangat jarang terjadi hubungan percintaan kandas, dilanjut dengan pertemanan demi menjaga tali silaturahmi.
Dari awal kebersamaan kami, Arya hanya membutuhkanku sebagai pendengarnya. Bahkan sampai detik ini, aku ada di tengah usahanya move on dari sang mantan. Namun, tak tahukah dia bahwa aku cemburu, sedih, marah, juga bahagia? Semua rasa kini berkumpul jadi satu, terpendam di dasar hatiku.
“Kapan pestanya Mbak Indah?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Bulan depan. Kali ini, Ibu nggak menolak yang datang melamar mengingat usia Mbak Indah, walau tetap mengeluh calon mantunya memiliki warna kulit yang gelap.”
Serentak senyum terkembang menghiasi wajah kami berdua. Aku membayangkan sehitam apa suami Mbak Indah.
***
Sebulan sudah berlalu. Aku berharap Arya mengajakku pulang kampung menghadiri pesta pernikahan Mbak Indah dan memperkenalkanku pada keluarganya. Kenyataannya, itu tak pernah terjadi. Bahkan usai kembali dari kampung, Arya bercerita bahwa dia ingin bernyanyi di atas panggung. Arya mulai bersenandung pelan penggalan reff lagu berjudul Kehilangan milik Firman. Aku tahu lagu itu adalah ungkapan perasaan Arya pada Aina. Lagu adalah ungkapan jiwa. Banyak orang menyukai suatu lagu karena dianggap penuh arti dan sesuai dengan penikmatnya atau terdapat kenangan dalam lagu tersebut.
“Kenapa? Kok nggak nyanyi aja kalau memang pengen nyanyi lagu itu.” Rasa penasaran tak bisa kubendung.
“Aku nggak seberani kamu, nyanyi di atas panggung dilihatin banyak orang. Sampai tamu udah sepi pun aku tetap nggak jadi nyanyi.” Senyum tersungging di bibirnya.
“Ya udah, kita karaokean aja, yuk, besok. Tempatku dan teman-teman kerja, Sabtu lalu karaokean murah.”
“Oke, besok sore aku jemput jam empat.”
Saat Arya pulang kampung lima hari yang lalu, aku dan beberapa teman kerja menghabiskan waktu di tempat karaokean. Aku yang hobi bernyanyi, sangat suka ketika berada di tempat ini berjam-jam.
***
Ini pertama kalinya aku mendengar suara Arya bernyanyi. Dia melompat mengikuti video lagu berjudul Beraksi milik band Kotak. Dia semakin terlihat sempurna di mataku. Selain tampan, pintar, suaranya juga lumayan bagus. Lagu selanjutnya, Arya memilih duet.
Lagu Arti Cinta dan My Heart dari Acha dan Irwansyah. Aku menyadari perasaan ambigu Arya dari lagu-lagu yang dia nyanyikan. Satu jam telah berlalu, sebagai lagu penutup aku memilih lagu dangdut, Pacar Lima Langkah. Arya, pacar lima langkahku yang tiap rindu aku bisa bertemu. (*)
Cici Ramadhani, menyukai literasis sejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com