Perempuan dan Kenangan (Part 11)
Oleh: Cici Ramadhani
“Cinta adalah senjata untuk menghadapi keterasingan jiwa dan perasaan kesepian.” ( Eric Frume)
Seberapa besarnya aku dan Arya pernah mencoba menjaga jarak, tapi itu membuat kami semakin terikat. Seperti saling mengisi ruang kosong di bilik lain hati ini. Begitulah yang kami rasakan. Tanpa kata, hanya perbuatan berbentuk perhatian dan kepedulian. Ataukah hubungan ini hanya sebuah pelarian? Entahlah.
Aku merapikan rambut yang sedikit berantakan. Dengan tubuh setengah tak berdaya, aku menemui Arya duduk berseberangan di ruang tamu. Aku menyerahkan alat itu padanya dengan rasa yang entah bagaimana. Kemarin Arya mengatakan dugaannya melalui telepon, kemungkinan aku positif hamil. Aku yang tidak percaya menyangkalnya, karena aku memang biasa mengalami masa datang bulan yang tidak teratur. Aku juga memiliki riwayat sakit asam lambung yang tinggi. Akan tetapi, sudah berhari-hari aku meminum segala obat lambung, rasa mual dan muntah tak kunjung hilang. Sampai malam tadi Arya datang membawa bungkusan buah yang di dalamnya terdapat juga alat tes kehamilan. Aku sudah mengikuti segala petunjuk yang ada, dan tak kusangka hasilnya dua garis.
“Jadi, sekarang bagaimana?” tanyaku.
“Sudah kuduga,” ucap Arya sambil terus memandangi hasil tes pack di tangannya. Raut wajahnya antara kesal, sedih dan pasrah. Mungkin sama seperti yang kurasakan. Arya hanya diam dalam waktu yang cukup lama, entah apa yang ada di pikirannya. Hatiku terasa hancur, tak kusangka ini akan terjadi. Padahal kami melakukannya hanya sekali. Entah bagaimana awalnya itu bisa terjadi, kami menghabiskan malam tahun baru bersama.
“Anak ini–kita buang saja,” kataku terbata.
Arya yang sedari tadi menunduk sambil memain-mainkan kunci motornya seketika mengangkat kepala. Mata kami beradu pandang. Namun, Arya tak juga mengatakan apa yang ada di benaknya. Hanya raut wajahnya saja yang berbicara.
“Aku tahu, kamu tidak menginginkannya. Anak ini tidak akan menjadi penghalang masa depanmu.” Bibirku bergetar menahan tangis. Aku menghela napas, terasa begitu sesak menyelimuti dada. “Secepatnya kita selesaikan masalah ini. Setelah itu jangan pernah menemuiku lagi. Aku mengikhlaskan semua yang telah terjadi.” Perlahan buliran bening jatuh membasahi pipi, semakin lama semakin deras. Pertahananku roboh, tubuhku berguncang menahan isak tangis yang ingin bersahutan seirama air mata yang mengalir. Jauh di lubuk hati, aku ingin Arya mempertahankan darah dagingnya. Aku ingin mendengar dia menyangkal keputusanku. Namun, Arya hanya diam. Diamnya menyadarkanku bahwa janin ini sama tak berharganya dengan seorang Kinara Larasati. Pelukan hangat dan kata-kata menenangkan yang kuharap tak pernah kuterima darinya.
“Maafkan aku, Ra.” Hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari bibirnya setelah tangisku mereda.
“Hanya satu yang kuminta, temani aku melewati ini semua. Setelah ini berakhir, pergilah, jangan pernah kembali. Aku takkan pernah mengusikmu lagi. Anggap ini mimpi buruk, anggap kita tak pernah bertemu. Aku akan mencoba ikhlas, sungguh ….” Suaraku bergetar, menahan perihnya kenyataan hidupku.
***
Arya membawaku ke rumah kontrakannya. Beberapa temannya ada yang pulang kampung. Kami menunggu hingga Magrib berlalu. Tepat jam tujuh malam kami bergerak menyusuri jalanan. Arya mengatakan akan membawaku ke rumah tukang urut, “Semoga nenek itu mau mengurut perutmu.”
Jalan ini belum pernah kulalui. Hanya satu yang kuingat, kami melewati jembatan yang di pinggirannya banyak dipenuhi penjual durian. Arya bertanya kepada beberapa orang tentang alamat yang diterimanya dari seorang teman.
“Kenapa mau dibuang?” tanya Nenek itu saat aku dan Arya masuk ke dalam kamar yang minim cahaya. Mungkin bola lampunya sengaja dipilih yang cahayanya tidak terang.
“Kami baru menikah, Nek. Dan masih ingin berkarir,” jawabku bohong. Kusadari dosaku semakin bertambah, banyak orang yang kubohongi kini. Tapi itu semua kulakukan karena Arya hanya memilih diam, dan itu bukanlah penyelesaian masalah.
“Kalau Nenek membantu kalian, Nenek ikut berdosa. Masa kalian tidak merasa sayang membuangnya?” ucap Nenek itu sambil meraba-raba perutku. “Kemungkinan anak kalian ini laki-laki, karena janinnya berada di sebelah kiri.”
“Tolong saya, Nek. Nenek urut saja perut saya. Kalau sekarang, saya belum siap punya anak,” kataku memohon.
“Kalau belum siap, kenapa kalian menikah?” tanyanya menatapku yang berbaring di hadapannya.
“Karena kami saling mencintai, tapi untuk punya anak saya belum siap. Saya masih mau berkarir. Mungkin dua tahun lagi saya baru siap punya anak,” kataku berusaha meyakinkan.
Nenek itu membuang napas perlahan, sepertinya beliau berat mengambil keputusan. “Ini Nenek lakukan dengan niat membantu kalian, tidak bermaksud lain,” katanya kemudian. Nenek itu mulai memutar-mutar perutku dengan tangannya, menekan dari atas ke bawah. Aku menggenggam erat tangan Arya karena menahan sakit. Arya hanya diam, sesekali dia menatap layar ponselnya. Sejak mengantre di ruang tamu tadi, dia terus asyik dengan gawainya. Mungkin sedang berkirim pesan dengan Aina, atau mencari informasi alternatif lain untuk menggugurkan janin ini. Entahlah, aku tidak ingin bertanya. Aku takut, salah satu jawabannya melukai hati kecilku.
Arya benar-benar ingin menjatuhkan janin ini. Sehabis urut, dia membelikan banyak durian. Beberapa diberikan pada teman satu rumahnya. Saat menikmati durian itu, tiba-tiba aku merasa mual dan mau muntah. Namun, Arya menahanku agar aku tidak memuntahkannya. Ah, dia tak pernah merasa jadi aku. Hanya aku seorang yang menahan sakit ini. Sungguh, aku ingin ini semua cepat berlalu.
Tiga hari kemudian, Arya kembali mengantarku urut. Sebelumnya aku telah meminum ramuan memperlancar datang bulan. Reaksi ini lebih dahsyat dari urutan si Nenek. Sepanjang jalan perutku terasa seperti diputar. Hawa panas sampai terasa di tenggorokan. Saat Nenek melakukan tugasnya, tiba-tiba aku ingin muntah. Aku segera berlari ke dapur dan muntah di wastafel. Arya tak kalah panik saat melihatku muntah darah. Arya terus mengelus tengkukku.
Rupanya Nenek pun mengikuti kami ke dapur dan memperhatikan. Nenek memberikan segelas air putih pada Arya. “Suruh kumur-kumur, lalu minum.”
Aku melakukan apa yang Nenek katakan. Perut dan tenggorokanku terasa terbakar.
“Lebih baik kalian pulang saja, Nenek tidak mau lagi melakukannya,” ucap Nenek sambil berlalu.
Aku mengejar Nenek ke dalam kamar, “Nek, tolong saya.” Aku terus mengiba di hadapan wanita lanjut usia ini.
Nenek memalingkan wajahnya, “Nenek takut dosa, seharusnya kalian juga begitu ….”
Aku menangis terisak, merasa putus asa. Arya merogoh kantongnya dan menyalami Nenek.
“Nenek enggak mau terima uang kalian, sudah cepat pergi,” usirnya.
Arya menarik tubuhku, menuntunku berjalan dalam rangkulannya. Aku menyembunyikan wajahku di dada bidangnya. Apa yang harus kulakukan kini? (*)
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com