Perempuan dan Kenangan (Part 10)

Perempuan dan Kenangan (Part 10)

Perempuan dan Kenangan (Part 10)

Oleh: Cici Ramadhani

Wahai Langit
Tanyakan kepada-Nya
Mengapa Dia menciptakan sekeping hati ini?
Begitu rapuh dan mudah terluka
Saat dihadapkan dengan duri-duri cinta
Begitu kuat dan kokoh saat berselimut cinta dan ada

Mengapa Dia menciptakan rasa sayang dan rindu
Di dalam hati ini
Mengisi kekosongan di dalamnya
Menyisakan kegelisahan akan sosok sang kekasih
Menimbulkan segudang tanya
Menghimpun berjuta rasa
Memberikan semangat
Juga meninggalkan kepedihan yang tak terkira

Mengapa Dia menciptakan kegelisahan dalam relung jiwa
Menghimpit bayangan
Menyesakkan dada
Tak berdaya melawan gejolak yang menerpa

(Sayap-sayap Patah, Kahlil Gibran)

***

Cinta memang ajaib. Berkali terluka bahkan patah, namun atas nama cinta dia sembuh dengan sendirinya.

Aku sedang di rumah Aina, aku mau melamarnya. Aku gugup. Khawatir jika orangtuanya menolakku lagi.

Kubaca sekali lagi pesan WA yang dikirim oleh Arya. Baru sebulan lalu Arya bercerita dia ke rumah Aina untuk meminta restu hubungan mereka. Namun jangankan bicara, orang tua Aina bahkan tidak sudi bertemu Arya.

Apes bener. Saat perjalanan pulang dari pasar, tiba-tiba rantai sepeda motor Putra putus. Seperti pertanda, putus sudah harapan merajut kasih bersama Arya. Apa yang harus kubalas? Haruskah kuberi dukungan doa seperti selama ini yang kulakukan, ataukah mengabaikan kenyataan bahwa dia tak pernah memberiku kabar duka ini.

Jangan gugup. Bismillah, Insha Allah kali ini kamu diterima. Aku selalu mendoakan yang terbaik. Ah, tak kusangka kalimat itu yang kukirim. Mendoakannya? Benarkah aku tulus? Mengapa seperti mencabut duri yang tertusuk di ibu jari. Sakit. Tapi tetap harus dilakukan.

“Ra, motornya sudah selesai diperbaiki, tuh.” Ibu menepuk bahuku.

“Berapa, Pak?” tanyaku pada pemilik bengkel.

“Tiga puluh lima ribu,” jawabnya.

Aku mengeluarkan uang dari dalam dompet dan menyerahkannya. Selama lima belas menit perjalanan, pikiranku tersita pada Arya. Di benakku, terbayang dia sedang duduk bersitegang dengan orang tua Aina. Bagaimanapun aku jadi penasaran ingin tahu hasil pertemuan Arya ke rumah Aina. Tapi, aku tidak cukup punya keberanian menanyakannya.

***

Libur lebaran telah usai. Hari ini pertama masuk kantor setelah libur seminggu. Aku takut bertemu Arya, takut menghadapi kenyataan. Bukankah biasanya orang akan melakukan resepsi pernikahan di bulan baik ini?

Dua minggu berlalu, kabar yang kukhawatirkan tidak pernah terdengar. Namun, sikap Arya tidak seperti biasa. Dia menjaga jarak. Aku tak pernah tahu, dan tak pernah berani bertanya. Sampai kenyataan itu terungkap dengan sendirinya.

Kemarin, tanpa sengaja aku melihat wallpaper di layar ponselnya saat meletakkan berkas di atas meja kerjanya. Foto selfie Arya dan Aina berlatar laut. Sepertinya laut itu adalah tempat pertama kali Arya menciumku. Ironis sekali. Rian membawaku ke tempat itu, lalu aku membawa Arya ke sana. Kemudian, Arya mengukir kenangan di sana bersama Aina.

“Bapak dengar, Pak Arya sudah melamar kekasihnya,” ucap Pak Prapto ketika aku mengecek stok barang di gudang. Pak Prapto menjabat sebagai Kepala Gudang.

Aku menghentikan sejenak kegiatanku, serasa lemas sendi-sendi jariku. Harusnya berita ini tidak mengejutkan, bukankah sebelumnya Arya juga sudah mengabariku. Tapi, tak kusangka berita ini juga diketahui oleh Pak Prapto.

“Kamu juga sudah dengar?” tanyanya kemudian.

“Sudah–Pak,” jawabku terbata.

“Bapak tau kalian dekat, semua juga bisa lihat. Memang wajar, karena kalian masih sama-sama single. Tapi, kalau Pak Arya sudah melamar kekasihnya, tandanya dia sudah serius. Kemarin, saat selesai dinas luar, Bapak iseng nanyain hubungan Pak Arya dengan kamu. Katanya kalian cuma teman dan Pak Arya sudah melamar kekasihnya. Bapak bicara seperti ini karena merasa sebagai yang paling tua di kantor ini, Bapak berkewajiban mengingatkan jika ada yang salah. Bapak cuma gak mau kamu lebih terluka dan meminta Pak Arya untuk tidak memberikan harapan padamu,” ucap Pak Prapto hati-hati.

Aku menunduk, berusaha menahan air mata yang seakan berdesakan ingin keluar. Andai Pak Prapto adalah Ayah kandungku, mungkin aku akan meluapkan kesedihan dalam pelukannya. Yang dikatakan Pak Prapto memang benar, di sini aku yang lebih terluka.

Pak Prapto adalah karyawan tertua di kantor. Sifatnya yang ramah dan bijaksana membuat semua orang menghormatinya, termasuk Arya.

Kini aku harus mengahadapi kenyataan pahit, merasakan hari-hariku kini tanpa Arya. Bodohkah aku? Mungkin iya. Aku merasakan cinta yang tersesat. Tak tahu lagi kemana hati ini berlabuh. Aku merasa patah hati. Teringat segala kebersamaan setahun ini bersama Arya. Aku rela dijadikan yang kedua, namun mengapa aku tak rela jika akhirnya dia lebih memilih Aina?

***

Seharian aku hanya meringkuk di kasur. Entah mengapa tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Padahal aku sudah meminum obat yang diberikan Ayu–adik kos penghuni kamar sebelah–namun rasa sakitnya belum juga hilang.

Dering nada ponsel membuatku harus segera bangkit dari atas kasur. Dengan gontai kuraih ponsel yang tergeletak di atas lemari pakaian. Tertulis nama Arya memanggil. Mau apa lagi dia? Sampai kemarin saat kami hanya berdua seusai rapat di kantor, dia tak mengatakan apa pun padaku.

“Halo,” kataku setelah menekan tombol hijau.

“Kamu di kos?” tanya Arya dari seberang.

“Ya,” jawabku singkat.

“Bentar lagi aku sampai, tunggu aku.”

Belum kujawab, Arya sudah memutuskan sambungan.

Tak sampai lima menit terdengar suara Arya dari balik pintu. Dengan lemas aku beranjak membukakan kunci pintu untuknya. Aku mempersilakannya masuk. Ini pertama kali Arya masuk ke kosanku.

“Kok, sepi?” tanyanya setelah duduk di sofa tamu.

“Pada pulang kampung,” jawabku datar.

Arya mengangguk paham. “Gimana keadaanmu? Sudah lebih baik?”

“Lumayan.” Jujur aku merasa sedikit lebih baik setelah melihat Arya.

“Kupikir mungkin Rara enggak berselera kalau makan nasi jadi kubawakan bakso dan air kelapa muda.” Arya menyerahkan dua bungkusan plastik yang dibawanya. “Makan sekarang, mumpung masih panas,” ucapnya lagi.

Aku tidak cukup punya tenaga untuk membantahnya. Arya punya seribu cara agar aku menurutinya. Begitulah dia yang kukenal selama ini. Lagipula sejak pagi perutku memang belum terisi. Kuputuskan segera melangkah menuju dapur dan kembali membawa mangkuk dan dua gelas kosong. Arya menuangkan bakso dan air kelapa muda.

“Makanlah. Jangan terlalu pedas, ya. Aku takut perutmu enggak kuat.” Arya menyodorkan mangkuk yang berisi bakso di hadapanku.

Entah mengapa bakso yang bercampur mi instan itu menggugah selera. “Terima kasih, ya,” ucapku tulus. “Kita makan sama-sama, yuk,” tawarku.

“Aku sudah makan, ini aku bawa khusus buat kamu,” katanya tersenyum. Arya kembali bersandar pada dinding sofa.

Aku mulai memasukkan mi dan bakso yang sebelumnya kuberi saos dan cabai sedikit ke dalam mulut.

“Kenapa enggak dihabiskan?” Alis mata Arya bertautan ketika melihat aku tidak lagi melanjutkan makan.

“Aku kenyang,” jawabku bohong. Rasa baksonya tidak seenak penampilannya, meski entahlah, mungkin lidahku yang terasa pahit karena sedang sakit.

“Aku–tidak jadi bertunangan dengan Aina,” ucap Arya terbata. Ada getir pada suaranya. “Bulan lalu aku berhasil menemui orang tuanya. Namun saat kusampaikan maksud kedatanganku, orang tuanya dengan tegas menolak,” kalimatnya terhenti. Arya berusaha mengatur napasnya yang terasa berat.

Entah mengapa, walau terasa pilu aku tetap menajamkan pendengaran. Menanti tiap kata yang keluar dari mulutnya.

“Tidak ada istilah tunangan dalam keluarga mereka. Jika aku memang serius, orang tua Aina memintaku membawa kedua orang tuaku untuk melamar Aina secara resmi.”

“Bukankah itu pertanda baik?” potongku.

“Masalahnya, kedua orang tuaku mau Mbak Indah menikah terlebih dahulu. Atau paling enggak, aku harus selesai S2,” ucapnya sedikit kesal.

Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Kedua orang tua Arya dan Aina sama-sama keras. Dua tahun mereka bertahan, namun restu tak pernah datang. Siapakah yang harus disalahkan dalam situasi ini?

“Kamu sendiri bagaimana dengan Rian?” tanya Arya mengalihkan pembicaraan.

Ini kali pertama dia bertanya tentang hubunganku dengan Rian.

“Terkadang perlu memberi kejutan pada Rian, dengan tiba-tiba Rara mengunjunginya. Dia pasti sangat senang dan membuat hubungan kalian semakin erat.”

Mendengar Arya berkata seperti itu, aku malah merasa dia sedang menceritakan dirinya.

“Itu enggak akan pernah kulakukan. Hubungan kami sudah berakhir.” Kuteguk air kelapa muda yang tersisa separuh.

“Benarkah? Kapan? Kenapa?” Wajahnya penuh tanda tanya.

“Satu-satu, dong, nanyanya. Tapi aku jawab besok-besok aja, ya. Aku mau istirahat. Lagian ini udah mau Magrib, kamu enggak mau pulang?”

“Eh, cerita dulu. Kalau aku tiba-tiba mati penasaran, gimana?”

Aku tak menghiraukannya. Aku berjalan ke arah pintu, secara halus memintanya untuk segera pulang.

Arya segera bangkit dan keluar rumah. Dia aku berbalik dan tatapannya … entahlah, sulit diartikan. Dengan tersenyum jahil kujulurkan lidah padanya. Aku tak ingin memberitahunya bahwa alasanku berpisah dengan Rian adalah dia. Ya, seorang Arya telah mencuri hatiku. Sehingga aku tak lagi bisa bersama dengan seorang yang tidak kucintai. (*) 

Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

Editor: Evamuzy

Sumber Gambar: Pinterest.com

Leave a Reply