Perempuan dan Kenangan (Part 2)

Perempuan dan Kenangan (Part 2)

Perempuan dan Kenangan (Part 2)
Oleh: Cici Ramadhani

Dengan terpaksa, aku turun dari dari motor matic kesayanganku, enggan melangkah melihat Alam sedang duduk menungguku di teras rumah. “Padahal sudah hampir larut malam, mengapa dia masih menunggu?” rutukku kesal dalam hati.

“Adek sudah pulang?” sapanya saat aku mendekat.

“Kenapa Mas masih di sini? Aku, ‘kan udah bilang malam ini lembur,” ucapku sinis. Ini pun menjadi alasanku tidak nyaman bersamanya. Alam selalu memaksa ingin bertemu walau kukatakan lelah setelah bekerja seharian. Ah, namun kusadari sejak awal perasaanku tidak ada untuknya, sehingga segala tingkahnya membuatku jengah dan kesal tak berkesudahan.

“Padahal, Mas ingin ngajak makan malam di luar.” Alam melihat jam di pergelangan tangan kirinya. “Kita harus bicara, Dek.”

“Tak ada lagi yang harus kita bicarakan. Keputusanku sudah bulat.” Aku memalingkan wajah ke sembarang arah. Berusaha menyembunyikan rasa marah karena Alam terus saja memaksa meminta penjelasan atas pesan yang kukirim kemarin malam.

“Apa Mas melakukan kesalahan sampai Adek kelihatan begitu kesal?”

“Pulanglah, Mas. Apa kata tetangga melihat ada lelaki di rumah kontrakan gadis-gadis larut malam begini.” Aku masih berusaha menahan emosi, mengusirnya dengan halus.

Alam bangkit dari duduknya, melangkah semakin mendekat, sedang aku mundur beberapa langkah. “Terima kasih atas waktu Adek selama ini,” ucapnya penuh kecewa dan melangkah pergi meninggalkan rumah.

Aku menghempaskan tubuh di kasur. Berusaha memejamkan mata, menepis penat yang ada. Mengapa ini begitu sulit terasa? Tanpa diminta, linangan air mata membasahi pipi. Sekelabat bayangan Arya muncul dalam ingatan. Dia pria yang kucinta selama tiga tahun, mengapa begitu tega mengajarkanku rasa sakit yang begitu dalam. Bahkan ketika menyadari ada hati lain yang terluka olehku, aku turut merasakan sakitnya. Apakah saat itu kau merasa yang kurasa saat ini? Satu tahun yang lalu, kamu juga memutuskan hubungan kita melalui pesan singkat. Memintaku untuk tidak menemuimu lagi. Memintaku melupakan semua yang pernah terjadi. Mengapa? Mengapa segampang itu olehmu mengakhiri segalanya?

“Aku seperti seorang pengemis cinta di hadapanmu. Mengiba untuk kau kasihi. Berharap kita masih bisa bersama saat kau telah lelah bertahan.” Kata-kataku lirih dibawa angin malam itu. Malam tanpa sinar rembulan maupun kerlip bintang yang bertaburan. Malam itu, tak seperti malam sebelumnya saat kita masih bersama menjalin kisah asmara. Sakitnya sungguh perih, padahal luka itu tak berdarah hanya membekas. Kenyataan cintaku yang sedari awal penuh terjal dan berliku. “Aku pasti terlihat menyedihkan, sekarang,” ucapku tertunduk. Air mataku seakan berdesakan ingin keluar namun aku berusaha tetap tegar, padahal hati terasa hancur.

“Aku gak pernah menganggap Rara mengemis cintaku. Sungguh …. Jangan anggap dirimu menyedihkan seperti itu.” Terdengar nada penyesalan dalam ucapan Arya.

Apakah dia kini luluh seperti sebelumnya? Kurun waktu satu tahun, entah sudah berapa kali Arya menyerah memperjuangkan hubungan ini.

“Ayah dan Ibu tidak menyetujui hubungan kita,” ucap Arya seminggu setelah pertemuanku dengan kedua orang tuanya.

“Ayahmu juga?” tanyaku tak percaya.

Arya mengangguk. Dia terlihat frustasi akan keputusan kedua orang tuanya. Bukan pertama kali bagi Arya hubungan percintaannya ditentang orang tua. Namun, kini terlihat begitu sangat sulit.

“Kupikir ayahmu menyukaiku, kami berbincang sedikit saat menonton televisi.” Aku menghela napas dengan kasar.

Saat itu aku belum menyiapkan mental untuk bertemu kedua orang tua Arya. Namun, dia bersikeras membawaku ke rumah orang tuanya. Aku takut, ibunya tidak merestui seperti saat Arya bersama Aina. Sampai-sampai gelas berisi air putih di atas meja tertumpah, kerena aku terlalu gugup makan semeja dengan ayah-ibunya Arya.

“Kali ini, Ayah yang lebih bersikeras menentang hubungan kita,” ucapan Arya menghentikan ingatanku tentang orang tuanya.

Aku menatap Arya lekat, menajamkan pendengaran. “Ayah bilang apa?” tanyaku penasaran.

“Alasan mereka tidak masuk akal. Bagi mereka, secara fisik kamu tidak pantas bersanding denganku. Ayah bilang, kita berteman saja. Ayah dulu juga banyak teman perempuan. Jangan terburu-buru memutuskan untuk menikah.”

Aku memejamkan mata, berusaha agar air mata itu tidak akan tertumpah. Bukankah sedari awal sudah terbayang betapa susahnya mendapatkan restu dari orang tua Arya? Banyak alasan bagi orang tua demi kebaikan anaknya, sekali pun alasan itu terdengar tidak masuk akal. Tak sedikit pun rasa benci hadir untuk orang tua Arya yang menganggapku tak layak bersanding dengan putra bungsu mereka yang memiliki tubuh atletis, berwajah tampan, dan mapan, dibandingkan denganku yang bertubuh mungil dan hanya memiliki wajah biasa-biasa saja.

“Bukankah kita yang menjalaninya? Mari kita sama-sama berjuang, mempertahankan hubungan kita, sambil berusaha meyakinkan kedua orang tuamu bahwa kau bahagia bersamaku,” kataku optimis. Mungkin saja dengan melihat anak mereka bahagia dengan pilihan hidupnya membuat restu itu turun. Bukankah manusia tidak boleh berhenti berharap? Hanya saja harapan terhadap manusia lebih sering mengecewakan karena tidak sesuai kenyataan.

Arya bergeming. Ada keraguan di matanya. Aku tahu jalan ke depan tidak lagi mudah karena penolakan itu sudah jelas di depan mata.

“Kenapa, Kakak nangis?”

Suara Icha–teman sekamarku–membuatku sadar dari kenangan setahun silam. Aku mengusap air mata dengan punggung tangan, dan memutar tubuh menghadap tembok kamar. Apakah isak tangisku membangunkan Icha? Padahal aku sudah berusaha tidak menimbulkan suara.

“Kakak terlalu sering menangis untuk Mas Arya. Setahun sudah berlalu, loh, Kak. Dia juga di sana enjoy jalani hidupnya. Kakak juga harus move on.”

Nasihat Icha membuatku tertohok. Dua tahun hidup sekamar membuatnya mengerti akan diriku hanya dengan membaca gaya tubuhku. Dia tahu benar untuk siapa air mata ini walau aku tak pernah bercerita tentang kisah patah hatiku. Mungkin saja, kemarin Ibu banyak bercerita padanya saat kutinggal bekerja seharian.

“Shalat tahajud dulu, Kak, biar hati lebih tenang. Hanya Allah satu-satunya tempat terbaik untuk berkeluh kesah. Jika Mas Arya memang jodoh terbaik, pasti Allah mengembalikannya pada Kakak. Namun, jika tidak Kakak harus segera belajar mengikhlaskannya.”

Icha, gadis sederhana yang baru berusia dua puluh tahun. Namun, dia memiliki pandangan hidup yang lebih dewasa dibanding usianya. Mungkin karena dia belum pernah merasakan patah hati sehingga lebih gampang berucap dari pada bertindak. Namun, sedikit pun aku tidak merasa sakit hati atau marah, karena nasihatnya adalah kebenaran, dan tentunya ia mengatakannya karena rasa peduli terhadapku.

Terdengar suara pintu kamar terbuka. Icha keluar kamar, mungkin dia ingin menunaikan salat di sepertiga malam. Aku beruntung, dalam keterpurukan batin masih dikelilingi orang-orang yang beriman, yang selalu mengingatkanku dalam kebaikan. Jika aku bergaul dengan orang yang salah, mungkin aku kini terjerumus dalam lubang dosa. Memang benar, sangat penting bagi kita untuk pintar-pintar memilih teman, karena teman juga bisa menentukan masa depan kita. (*)

Cici Ramadhani, menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply