#Kelas_Menulis_Lokit
Perempuan Bernama Sulastri
Oleh: Hassanah
Dia adalah perempuan yang aneh. Semenjak meninggalnya sang suami, tak pernah aku melihat dia menangis dalam pelukan seseorang. Selalunya, aku yang dia peluk erat-erat di saat suara jangkrik dan detak jam dinding terdengar berisik sekali. Sudah jelas dia ingin menangis setiap kali mertua atau tetangganya membicarakan kejadian nahas yang menimpa suaminya, atau ketika tayangan televisi memberitakan kematian prajurit di perbatasan, atau saat Ferdinand berkata sangat merindukan bapaknya, tapi dia tidak pernah menangis di depan mereka.
Pertama kali aku bertemu perempuan bernama Sulastri itu saat aku dan sahabatku, Timbul, membantu evakuasi korban banjir bandang di sebuah desa. Dia masih usia remaja saat itu. Kulitnya kecokelatan dengan rambut ikal sepinggang. Ketika dia tersenyum seusai mengantar seceret kopi di kamp peristirahatan khusus pasukan loreng, gigi ginsulnya membuat Timbul menepuk-nepukkan aku pada paha kerasnya. Sementara itu, Sulastri akan menyelipkan anak rambutnya sembari pamit undur diri.
Setahun setelah pertemuan itu, Timbul membawaku mengunjungi rumah orang tua Sulastri. Dia meletakkan aku di atas meja dengan senyum yang biasa dia tampilkan saat menyapa koleganya, di samping asbak rokok yang penuh puntung rokok, duduk tegap bak menghadap atasan, lalu mengutarakan maksud kedatangannya. Tapi sepertinya aku tak banyak menolong. Timbul pulang dalam hening, dengan wajah seperti habis ditegur Komandan Tiyo.
Hari ini adalah hari libur yang kelima kalinya, saat aku bersama Timbul kembali mengunjungi rumah dengan pintu kayu yang dihisai liuk-liuk ukiran naga itu. Rumah yang setiap kali aku diletakkan di atas meja, di samping asbak puntung rokok, wajah serius seorang Timbul yang duduk tegap dengan kedua tangan diletakkan di atas paha diperlihatkan, juga suara tegasnya yang hendak meminang Sulastri terdengar.
Aku pun teringat ucapan Kapten Seno, sebelum libur ketiga yang selalu digunakan Timbul untuk mengunjungi Sulastri, yang mengatakan bahwa jika percobaan kali ini gagal juga, sahabatku itu semestinya tahu diri saja. Tapi dia adalah Timbul sahabatku. Setelah menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti mengapa bapak Sulastri bertanya demikian, akhirnya lelaki berkulit kuning langsat itu mengukir senyumannya yang lain. Persis seperti ketika dia mendengar kabar bahwa adik perempuannya diterima di kampus ternama Indonesia.
Setelah perjuangan yang panjang, kini sahabatku tidak lagi membujang. Aku masih mengingat dengan jelas hari-hari yang kata orang adalah hari bahagia Timbul dan Sulastri. Di saat mereka pulang dari gereja, ketika mereka menari tor-tor bersama, ketika Timbul meninggalkan aku di ruang tamu dan dia membawa Sulastri ke dalam kamar, ketika dia berlari dengan tergesa-gesa dan menerobos masuk ke dalam rumah untuk menemui putra pertamanya, dan ketika dia berfoto bersama keluarga kecilnya di hari wisuda TK si Ferdinand.
Aku senantiasa ikut dalam segala momen-momen itu. Dan aku tidak pernah menyangka, akan ikut menyaksikan apa yang pernah salah satu temanku ceritakan setelah aku dan Timbul mengunjunginya di rumah duka, yaitu melihat langsung sebuah peluru menembus kulit sahabatku. Timbul meregang nyawa dalam misi menjaga perbatasan wilayah paling timur Indonesia dari serangan komplotan bersenjata.
***
Sulastri itu perempuan aneh. Dia tidak menikah lagi walau usianya masih muda. Wajahnya masihlah ayu walau mulai jarang tersenyum. Tubuhnya indah terawat walau hari-harinya dihabiskan mencari nafkah. Tapi, pinangan laki-laki dari mana saja tak pernah dia terima. Bahkan kini Ferdinand telah diwisuda dari sekolah militer pula. Keputusan yang sangat berat untuk dia ambil pastinya.
Ferdinand sama kerasnya dengan Timbul. Watak mereka serupa. Jika sudah bertekad, tidak ada yang bisa menghalanginya. Mau tidak mau, Sulastri mengizinkan Ferdinand melanjutkan sekolah ke akademi militer daripada melihatnya murung dan tidak mau menyelesaikan jenjang pendidikan wajibnya.
Sulastri pernah bercerita kepadaku, saat setelah Ferdinand memeluk dan menciumnya bahagia serta berjanji akan menjaga diri dalam dedikasinya, lalu dia berangkat sekolah dengan semangat empat-lima. Perempuan yang urat-urat tangannya menonjol itu mengusapku perlahan. Dia berkata bahwa suatu saat dia pasti akan menyesali keputusannya tersebut. Tidak ada suara jangkrik atau detak jam dinding yang berisik saat dia bercerita. Dan dia tidak menangis seperti biasanya.
Di suatu pagi yang diselimuti hujan deras, untuk pertama kalinya Ferdinand datang menghampiriku. Wajahnya semakin mirip dengan sahabatku. Tubuhnya tinggi dan atletis seperti Timbul saat muda dulu. Benar kata Sulastri, dia seperti fotokopi hidup dari Timbul Simbolon yang suka mendendang lagu.
Ferdinand tidak bicara apa-apa. Tapi dari tatapan matanya, aku bisa melihat kerinduan memenuhi pandangannya. Sangat jelas sekali. Dia pun menurunkan aku dari gantungan dan mengusap-usapku entah berapa kali. Sebelum dikembalikannya aku ke tempat semula, dia menciumku lama seolah-olah tengah meminta restu, atau hanya melepas rindu, atau mungkin sekadar menghidu aroma tubuhku. Aku hanya menebak-nebak saja.
Setelah kepergiannya, sudah dua kali aku mendengar lagu Baling-baling Bambu dari televisi di rumah sebelah. Itu tayangan kartun favorit Ferdinand ketika kecil dulu. Aku bahkan sampai hafal setiap lirik lagunya. Hanya saja, sore di hari yang sama saat aku mendengar lagu itu diputar, Sulastri buru-buru keluar kamar dan menyalakan televisi. Raut wajahnya tidak biasa, mirip ketika aku bertemu dengannya pertama kali setelah pulang dari Timur. Suara televisi itu menyebutkan bahwa sebuah kapal selam tenggelam kala melakukan latihan militer dan Sulastri terduduk seketika.
Hari-hari berikutnya menjadi sangat hening. Sulastri tidak pulang dalam saat jarum jam dinding sudah berputar entah berapa kali. Aku hanya terus menebak-nebak, tapi tak satu pun tebakanku berbuah hasil. Sampai suatu siang, saat Sulastri pulang, dia masuk tergesa-gesa dan menuju kamarnya, lalu kamar Ferdinand, lalu ke kamarnya lagi. Bolak-balik sampai tiga kali. Ketika dia sudah mengganti pakaiannya, tubuhnya berdiri tepat di depanku tanpa mengucapkan apa-apa. Wajahnya tampak lebih tirus dari sebelumnya. Matanya cekung, bibirnya pucat dan pecah-pecah, serta air matanya yang mengalir tiba-tiba. Dia pun pergi lagi setelah berdiam diri cukup lama.
Sebulan setelah itu, aku tidak lagi sendiri. Entah bagaimana kejadiannya, Sulastri tidak bercerita apa-apa dan kini memberiku teman. Aku mengenalnya. Itu adalah baret milik Ferdinand. Dan kini Sulastri tidak aneh lagi. Dia menangis setiap kali orang datang berkunjung ke rumah ini, setiap kali tayangan kapal tenggelam muncul di televisi, atau setiap kali dia duduk sendirian di atas kursi.(*)
Bumi Lancang Kuning, 17 Juli 2022
Hassanah, seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Seorang penulis amatiran yang suka bermimpi dengan sangat percaya diri. Penyuka petrikor dan aroma kopi.
Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com